Pengangguran
Terdidik dan Radikalisme
Zuly Qodir ; Sosiolog
Fisipol UMY; Peneliti Senior Maarif Institute Jakarta
|
KOMPAS, 03 Juni 2015
“Tingkat pengangguran terbuka Indonesia berdasarkan pendidikan
yang ditamatkan cukup membahayakan." (Fasli Djalal, 27 April 2015)
Harian Kompas pada 4
Mei 2015 merilis data terkait pengangguran terdidik berdasarkan paparan Prof
Dr Fasli Djalal, mantan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional.
Fasli yang juga mantan
Wakil Menteri Pendidikan Nasional mengingatkan perlunya memikirkan ulang
pendidikan tinggi bagi anak Indonesia agar diserap industri. Ia menggugat,
apakah masih perlu mendidik semua anak selama empat tahun di perguruan tinggi
atau cukup memberikan pelatihan bersertifikat internasional enam bulan agar
mereka bisa langsung bekerja di sejumlah negara.
Pemikiran ini perlu
mendapatkan respons yang serius dari pelbagai pihak terkait kemungkinan bonus
demografi yang akan terjadi tahun 2028-2030, di mana 65 juta usia terdidik
akan bertebaran mencari pekerjaan.
Menjadi ancaman
Pengangguran terdidik
mencakup mereka yang berusia 15-29 tahun dengan tingkat pendidikan SMA
17,77%, SMK 10,18%, diploma 3,22%, dan universitas/D-IV 7,94%. Data ini
memberikan gambar yang sangat terang bahwa jumlah pengangguran terdidik
benar-benar menjadi ancaman terkait angka pengangguran di Indonesia. Jumlah
pengangguran terdidik akan menjadi beban negara ini.
Kita tidak bisa
berpangku tangan memperhatikan besarnya angka pengangguran terdidik dalam
masa 10-20 tahun mendatang. Saat ini saja, berdasarkan data tahun 2013, kita
telah menyaksikan bahwa persoalan tenaga kerja yang terserap di lapangan
masih cukup rendah dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja terdidik tingkat
SMA/SMK 9,60%, SMK 9,88%, diploma 6,21%, dan universitas 5,91%.
Memperhatikan jumlah
pengangguran yang cukup besar, maka kita tidak boleh membiarkan hal ini
terjadi karena tidak hanya menjadi "beban sosial" negara, tetapi
juga keluarga. Perlu pemikiran dan jalan keluar yang implementatif terkait
jumlah pengangguran terdidik yang membeludak itu.
Bahaya radikalisme
Usia muda adalah usia
yang produktif dan "bimbang" untuk bertindak sehingga gampang
tersulut bisikan atau hasutan yang datang dari berbagai pihak, termasuk
"hasutan dari doktrin keagamaan atau ideologi tertentu". Ideologi
tertentu tersebut salah satunya adalah ideologi radikal yang datang dari
agama sehingga kaum muda mudah tergiur pada "ajaran jalan pintas"
untuk mengatasi kesulitannya.
Penelitian dalam
Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (Lakip) di Jakarta tahun 2012 memberikan
gambaran yang cukup memprihatinkan, di mana
sejumlah kaum muda bersedia terlibat dalam aksi kekerasan, mencapai
48,9%. Ketika ditanyakan apakah yang dilakukan Noordin M Top itu dapat
dibenarkan, 14,2% siswa menyatakan dapat membenarkan.
Mendasarkan pada
temuan Lakip tersebut, bisa kita lihat bahwa pada tahun 2012 gerakan
radikalisme meningkat tajam sampai ke tahap sangat mengkhawatirkan. Hal ini
perlu benar-benar mendapatkan perhatian negara ini jika tidak ingin
tindakan-tindakan radikal atas nama agama terus berkembang di Nusantara.
Oleh sebab itu,
pengangguran terdidik yang sebagian besar adalah usia SMA/SMK dan diploma
seperti ditunjukkan di atas perlu segera ditanggulangi karena mereka tidak
segan untuk menjadi bagian dari aksi-aksi kekerasan yang mengatasnamakan
agama seperti sekarang telah terjadi.
Kita perhatikan
beberapa anak berusia muda-sebagian diduga datang sukarela dari Indonesia-
terlibat menjadi jemaah Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang melakukan
berbagai aksi kekerasan di kawasan Timur Tengah.
Peran keluarga
Salah satu institusi
sosial yang dianggap paling berpengaruh dalam membentuk pribadi kaum muda
kita adalah keluarga dan lingkungan sosial di mana mereka bergaul dan
bersosialisasi. Jika pergaulan dalam keluarga dan lingkungan mendukung untuk
berpikiran terbuka, optimistis, serta memiliki masa depan yang cerah, maka
kaum muda tidak akan dengan mudah "terjebak pada rayuan sesaat"
yang seakan penuh kepastian.
Namun, jika lingkungan
keluarga serta pergaulan sosial tidak mampu memberikan "rasa aman"
dari pelbagai macam ancaman kegagalan ke depan seperti pekerjaan yang tidak
pernah jelas, pendapatan yang sama sulitnya dengan hidup itu sendiri, dan
tempat tinggal ataupun sandang tidak pernah tergambar untuk didapatkan dengan
layak dan segera, maka yang ada dalam pikiran kaum muda adalah bagaimana
caranya mengakhiri hidup ini sesegera mungkin.
Apalagi jika ditemukan
"nasihat" yang sebenarnya menurut hemat saya adalah
"hasutan" bahwa orang yang susah, sengsara, dan tertindas akan
mendapatkan kenikmatan sempurna jika bersedia "berjihad" di jalan
Tuhan dengan menjadi martir.
Menjadi martir
(pejuang kematian) adalah jalan terbaik sebab hal itu lebih mulia di mata
Tuhan ketimbang hidup penuh dengan kesusahan, maka jika "hasutan
doktrin" seperti itu merasuk, kemudian diyakini sebagai "ajaran
Tuhan" oleh kaum muda, maka kaum muda akan berbondong-bondong menjadi
"martir" dengan cara melakukan bunuh diri massal ataupun berjibaku
"membunuh pihak lain" yang dianggap membuat sengsara.
Di sinilah peran
institusi keluarga dan pergaulan demikian penting serta berpengaruh terhadap
jiwa muda yang bergelora dan penuh semangat. Jiwa muda harus diperhatikan
untuk menjadi pemimpin masa depan, sekalipun saat ini mungkin dalam kesulitan
sosial ekonomi karena kondisi Indonesia memang sedang rapuh.
Keluarga harus berani
mendidik anak-anaknya yang masih berusia muda menjadi "pejuang masa
depan" dan "pejuang kehidupan", bukan "pejuang
kematian" alias menjadi martir.
Kaum muda kita
membutuhkan dorongan dari keluarga dan institusi sosial untuk menjadi sosok
yang berpikiran dan bertindak "berani untuk hidup", bukan hanya
"berani untuk mati", sebab jihad yang sesungguhnya adalah jihad
untuk menghidupkan diri sendiri sekaligus menghidupkan orang lain.
Jihad kemanusiaan
Inilah jihad
kemanusiaan, jihad yang sesungguhnya, bukan jihad dipahami sebagai
"jalan kematian sesaat" menjadi pengantin bom yang membunuh sesama
umat manusia.
Kita perlu
memperhatikan kaum muda terdidik kita agar "selamat dari hasutan"
doktrin agama yang direduksi sekadar menjadi doktrin radikal yang mendorong
mereka untuk berani mati, bukan mendorong kaum muda untuk berani hidup.
Kesalahpahaman
penafsiran harus segera diluruskan oleh keluarga dan institusi sosial
lainnya, termasuk jemaah pengajian ataupun tahlilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar