Peneguhan
Peran Ormas Islam
Singgih Tri Sulistiyono ; Dosen
Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Diponegoro; Ketua DPW
LDII Provinsi Jawa Tengah
|
SUARA MERDEKA, 30 Mei 2015
Bagi Indonesia,
konflik internasional dan dampak negatifnya sudah dirasakan sejak
berabad-abad lalu ketika ”kepulauan” Indonesia menjadi contesting ground di
antara negara kapitalis dan imperialis. Bangsa Portugis, Spanyol, Belanda,
Inggris, dan sebagainya saling bertempur memperebutkannya.
Konflik tersebut
menyeret masyarakat Indonesia ke dalam konflik yang juga berdimensi
internasional. Setelah memasuki abad XX, Indonesia menghadapi babak baru
dalam konflik internasional terkait kemunculan berbagai ideologi politik
dunia, yaitu nasionalisme, sosialismekomunisme, kapitalisme-liberalisme, dan
Pan-Islamisme. Indonesia mengalami perubahan peta konflik, baik antara
masyarakat sebagai bangsa terjajah dan kekuatan kolonial Belanda, maupun di
antarelemen masyarakat Indonesia.
Pada masa
kolonialisme, nasionalisme mampu mengatasi konflik internal bahkan jadi
kekuatan penggerak utama melawan penjajah. Saat ini pun ketika bangsa
Indonesia menghadapi berbagai persoalan kebangsaan dan masalah sebagai dampak
konflik internasional seperti radikalisme dan terorisme, banyak orang
berharap nasionalisme bisa kembali mengatasi.
Namun realitasnya
tidak mudah dilakukan. Dalam kaitan itu perlu ada nasionalisme wujud baru
yang bisa disebut neonasionalisme. Dalam konteks ini, ormas Islam memiliki
peluang besar untuk berkontribusi. Dalam hubungan itulah, perlu ada gerakan
neonasionalisme bagi Indonesia pada Millennium III ini.
Dengan mencermati
perkembangan dan perubahan lingkungan strategis, ormas Islam di Indonesia
perlu memosisikan peran, fungsi, dan tanggung jawabnya secara tepat. Jika
keliru maka akan blunder dalam mewujudkan visi, melaksanakan misi, dan
mencapai tujuan. Dalam konteks ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama; visi utama
ormas Islam semestinya terimplementasikannya ajaran Islam (yang bersumber dari
Alquran, hadis, dan ijtihad ulama) dalam kehidupan masyarakat dengan
keyakinan bahwa ajaran Islam merupakan rahmat bagi seluruh alam. Dengan
demikian melalui cara hikmat/bijak, kehadiran Islam dapat dapat menyejukkan
masyarakat.
Artinya, dapat membawa
masyarakat dari alam kegelapan menuju ke arah alam yang penuh cahaya (min dzulumat ila nur). Dengan visi
seperti itu maka misi utama yang bisa dilaksanakan adalah mendakwahkan ajaran
Nabi Muhammad sebagai gerakan pembebasan baik secara uhrawi (akhirati) maupun
secara duniawi.
Respons Cerdas
Kedua; ormas Islam
harus mampu merespons secara cerdas dinamika lingkungan strategis di
sekelilingnya. Ketiga; dalam konteks proxy war, ormas Islam harus cerdas
supaya tidak dijadikan boneka atau tunggangan oleh kekuatan-kekuatan lain
yang destruktif. Jika ormas Islam lengah, tidak mustahil akan mengalami
penghancuran diri.
Penghancuran antarumat
Islam justru didesain oleh kelompok-kelompok kepentingan yang berasal dari
kekuatan neoliberalisme. Kekuatan neoliberalisme berhasil mencegah clash of civilization bukan dengan
cara beradab dan elegan melainkan dengan mendalangi penghancuran kekuatan
Islam di Irak, Aghanistan, Libia, Yaman, Syiria, dan sebagainya.
Dalam konteks
keindonesiaan, sudah waktunya umat Islam melalui ormas-ormas Islam menjadi
pelopor kebangkitan neonasionalisme Indonesia. Nasionalisme tersebut bukan
bersifat romantis semata-mata hanya menggunakan klaim-klaim historis untuk
menuntut loyalitas kebangsaan kepada seluruh elemen masyarakat.
Justru
nasionalisme yang penuh bertanggung jawab dan amanah para pemimpin untuk
menjamin kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan dalam masyarakat yang dirida
Allah Swt. Dengan begitu ormas itu bisa menjalankan perannya mewujudkan Islam
sebagai rahmatan lil alamin dengan mengaktualisasikan tabiat luhur: jujur,
amanah, kerja keras-hemat, rukun, kompak, dan bekerja sama dalam kebaikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar