Pemerintah Yang (Kurang) Berdaya
Rhenald Kasali ; Akademisi, Praktisi Bisnis dan Guru Besar Bidang
Ilmu Manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
|
JAWA POS, 19 Juni 2015
BAGI Anda yang kerap
bermobil dinihari hingga menjelang pagi, sesekali boleh stay tune di salah satu radio swasta. Di sana kita bisa mendengar
bagaimana rakyat mengomentari berbagai isu yang dilontarkan oleh pengelola
radio.
Senin lalu (15/6),
misalnya, mereka memberikan komentar soal rencana pemerintah untuk mengeluarkan
Perpres tentang Pengaturan Harga Pangan. Perpres ini menjadi penting
setidak-tidaknya karena dua hal. Pertama, lahirnya perpres ini merupakan
amanat UU No 4 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Kedua, kita memasuki Ramadan.
Anda tahu tradisi
Ramadan di negara kita, bukan? Meski ini sejatinya menjadi bulan yang tepat
untuk menahan diri, menahan hawa nafsu, celakanya tidak terjadi untuk
belanja. Bahkan, untuk bahan pokok sekalipun.
Itu sebabnya,
harga-harga selama Ramadan justru naik. Beberapa malah melonjak gila-gilaan.
Harga telur naik dari Rp20.000 menjadi Rp 22.000per kilogram. Harga ayam
potong dari Rp 38.000 menjadi Rp 45.000. Begitu pula harga daging sapi dari
Rp 90.000 menjadi Rp 110.000. Itu yang naiknya bisa kita bilang wajar.
Ada juga yang lebih
pas disebut melonjak. Contohnya, harga bawang merah dari Rp 20.000 per
kilogram menjadi Rp 35.000. Harga cabai keriting dari Rp 20.000 menjadi Rp
40.000.
Macan Ompong
Itulah realitas di
lapangan. Maka, ketika pemerintah mengeluarkan Perpres tentang Pengaturan
Harga Pangan –sementara harga-harga sejumlah bahan pokok sudah naik duluan–,
rasanya jadi menggelikan. Apalagi fenomena semacam itu tak hanya terjadi
setahun atau dua tahun belakangan, melainkan lebih dari belasan tahun. Begitu
terus, selalu berulang.
Selama Ramadan,
pemerintah menegaskan ingin mengendalikan harga pangan. Di lapangan,
kenyataannya harga-harga terus bergerak di luar kendali. Maka, tak heran
kalau komentar dari para pendengar di radio tadi terkesan pesimistis.
Apa bisa perpres tersebut
mengendalikan harga pangan? Jangan-jangan hanya menjadi macam ompong. Dan
jangan-jangan ada variabel yang belum kita sentuh. Jangan-jangan pula itu
adalah hak rakyat untuk menangguk untung dan konsumennya cuma ribut di mulut.
Toh, belanjanya naik terus.
Kita tahu, eksekutor
lapangan dari perpres tersebut adalah Kementerian Perdagangan. Instansi
inilah yang bakal mengecek sejauh mana pergerakan harga pangan di
pasar-pasar. Jadi, ini ibarat pertarungan antara aparat birokrasi dan para
pelaku pasar. Tetapi, ada juga sebagian di antara mereka yang berperan
sebagai spekulan yang mempunyai jaringan kuat.
Kali ini, nah, dengan
bekal perpres tadi, siapa yang bakal menjadi pemenangnya? Mudah bukan
menduganya.
Bayangkan saja begini.
Aparat birokrasi kita, para pegawai negeri sipil yang gajinya pas-pasan,
pukul 08.00 mungkin sudah masuk kantor. Tapi,masih banyak di antara mereka
yang tidak langsung kerja, melainkan mencari sarapan dulu entah di
kantin-kantin atau warung-warung. Selesai sarapan, mereka minum kopi sambil
merokok. Ngobrol santai. Ini bisa menghabiskan waktu sampai satu jam,
beberapa bahkan lebih.
Ritual berikutnya
masuk ke tempat kerja dan membaca surat kabar atau majalah. Lalu,ngobrol lagi
mengomentari berbagai hal yang dimuat di surat kabar. Pukul 10.00 mungkin
mereka baru mulai secara efektif bekerja.
Menjelang pukul 12.00,
mereka sudah sibuk memikirkan bakal makan siang di mana. Lalu, pukul 12.00
pergi makan siang dan kembali lagi ke kantor sekitar pukul 13.30. Setelah
bekerja sekitar dua jam, mereka siap-siap untuk pulang. Harus on time kalau tidak bisa ketinggalan
bus. Entah bus angkutan umum atau bus kantor.
Dengan pola perilaku
semacam itu, bagaimana mungkin aparat birokrasi kita mengimbangi lawannya,
rakyat pedagang dan spekulan, yang sejak dini hari –ketika kita masih
terlelap dalam mimpi– berada di pasar. Lalu, sebagian besar transaksi di
pasar-pasar juga sudah berlangsung ketika matahari mulai merangkak naik.
Sementara itu, pada
jam-jam tersebut, aparat kita baru bersiap-siap melakukan operasi pasar.
Mereka berkoordinasi dulu, kumpul-kumpul, dan mengecek apakah para wartawan
yang bakal diajak mengikuti operasi pasar sudah datang. Setelah lengkap, baru
mereka berangkat.
BUMN-BUMD Yang Bertarung
Kalau desain,
remunerasi, dan strukturnya seperti ini, birokrasi kita tak akan pernah
sanggup memenangkan persaingan dengan para spekulan yang lincahnya bukan
kepalang. Sekali lagi, tak akan pernah! Sejak kapan harga-harga sejumlah
bahan pokok turun, atau katakanlah stabil, semasa Ramadan? Tidak pernah,
bukan?
Aparat birokrasi kita
memang tak pernah didesain untuk bertarung di lapangan. Apalagi melawan para
pelaku pasar. Mereka tak punya energi dan motivasi untuk melakukannya.
Maka, mekanisme pasar
harus dilawan dengan mekanisme pasar. Pebisnis harus dilawan dengan pebisnis.
Itu baru sebanding. Jadi, jangan minta aparat birokrasi kita untuk bertarung.
Serahkan urusan tersebut ke BUMN-BUMN atau BUMD-BUMD kita. Biarkan mereka
yang bertarung. Kita punya Perum Bulog.
Mengapa kita tidak
memanfaatkan habis-habisan perusahaan umum itu untuk bertarung menghadapi
ulah spekulan. Jangan malah digembosi.
Sekali-sekali bolehlah
kita berharap pemerintah memberi kita THR dalam bentuk harga-harga bahan
pokok yang stabil. Syukur kalau bisa turun. Dan, kita tak akan lelah
berharap. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar