Pasca KAA dan Politik Ekspresif
Fachry Ali ; Salah
Seorang Pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha
|
KOMPAS, 22 Juni 2015
Senja itu, 22 Mei,
sebulan pasca peringatan Konferensi Asia Afrika Ke-60, saya lihat tiga bus
besar pengangkut turis domestik tersendat di Jalan Asia Afrika Bandung, Jawa
Barat. Sebelumnya, dua bus lain juga tepergok mata di Jalan Braga.
Sejak itu, Bandung
menampung lebih banyak turis lokal dan mancanegara. Pejalan kaki, gabungan
turis lokal, asing dan penduduk Bandung, membuat "garis semut",
sambung-menyambung dari trotoar Jalan Braga, Jalan Asia Afrika (AA), serta
berlanjut ke jalan dan Taman Cikapundung. Mereka bergerak membentuk garis
panjang tak terputus. Tiba-tiba, di mata saya trotoar itu tampak seperti catwalk
terpanjang di dunia. Di atasnya, 1.000 orang berlagak bagai
peragawan/peragawati di hadapan kamera telepon seluler. Gambar atau lukisan
besar tokoh mancanegara peserta KAA dan aneka warna atribut negara peserta
jadi latar belakang. Yang penat atau sekadar rileks memilih duduk di tangga
masuk Gedung AA atau gedung-gedung berdekatan lainnya.
Mungkin karena terlalu
malam, ketika saya melintas kembali pukul 21.00, pada 3 Juni bulan
berikutnya, bus-bus turis itu tak terlihat. Namun, barisan menyemut pengunjung
tampak tak berkurang. Menjelang dua bulan berlalu peringatannya, KAA masih
mampu menyedot massa.
Maka, saya umbar
penasaran atas salah satu obyek kerumunan massa: sebuah infografik yang
bercerita soal percakapan Popong, seorang penduduk Bandung, dengan Presiden
Mesir Gamal Abdul Nasser pada 1955. Nasser yang jangkung memaksa Popong
mendongak. Dengan spontan dia berkata, "Aduh
meni cangkeul (Aduh pegal sekali)." Nasser heran dan bertanya,
"What do you mean?" Popong menjawab, "That is a Sundanese language and the meaning is 'I'm so proud
of you''." Nasser, dalam cerita itu, senang dan menepuk-nepuk pundak
Popong. Kisah ini diakhiri dengan ucapan Popong, "Hapunten (maaf) Pak Nasser."
Globalisme Popong
Apakah tiap peringatan
KAA selalu menyisakan keramaian seperti ini? Seorang pegawai senior restoran
Hotel Homann yang mampu mengenali tiap asal negara turis asing menjawab,
"Tahun kemarin hanya ramai ketika acara." Lalu, apa arti keramaian
berkepanjangan ini dari segi, lagi-lagi, konseptual, yang punya pengaruh bagi
rakyat? Saya tak mampu menjawab. Apa yang dipantulkan kisah Popong di atas?
Walau infografik itu mendemonstrasikan campur baur teks Sunda dan Inggris,
kekacauan proses komunikasi tak tercipta. Yang saya lihat justru semburan
energi kreatif karena pembaca jadi terhibur. Maka, kita menemukan struktur
"Kabayanisme" di dalamnya ketika kesan "keagungan" sebuah
peristiwa (KAA) disajikan dalam bentuk canda. Nasser menjadi obyek candaan.
Namun, respek atas kebesaran presiden Mesir itu tetap utuh.
Dalam perspektif lain,
kisah ini mengungkapkan panggung simetris di mana peristiwa KAA, eksistensi
Popong dan Nasser menyatu dalam sebuah lanskap. Dan tiba-tiba
"lokalisme" Popong bersua dengan sosok "globalisme"
Nasser. Popong, sebagai representasi orang kecil Bandung, mungkin juga Jawa
Barat, seketika masuk dalam "orbit globalisme".
Integrasi orang kecil
ke struktur globalisme telah terjadi 100 atau 150 tahun sebelum KAA itu.
Untuk memproduksi komoditas ekspor, Van den Bosch melancarkan sistem tanam
paksa (1830- 1870). Ini berlanjut dengan revolusi perkebunan swasta sampai
1940-an. Revolusi ini berimplikasi struktural: basis ekonomi subsisten petani
beralih ke ekonomi uang. Ini menyebabkan ekonomi petani bergantung pada upah
tunai. Cucuran keringat petani lokal menjadi terkait pasang surut harga
komoditas ekspor di pasar dunia. Juga, seperti ditekankan Wertheim dalam Indonesian Society in Transition
(1956), nasib petani sendiri. Ketika Depresi Besar melanda dunia akhir
1920-an-1930-an, harga komoditas terjerembab. Upah merosot membuat petani
menerima pukulan terberatnya.
Namun,
"globalisme" ini berbeda dengan yang dialami Popong. Bukan saja
karena Popong tak harus mengayuh cangkul, atau menggigil ketakutan walau
hanya mendengar ledakan suara "Tuan Kulit Putih" perkebunan yang
dialami Ruki, tokoh dalam Coolie, novel Madelon Lulofs, terbit 1936,
melainkan ia juga rakyat yang merdeka dan, ini penting, sedang berada dalam the rising tide of color, menggunakan
frase L Stoddard. Struktur "Kabayanisme" Infografik dalam menggelar
kisah Popong-Nasser lebih mengungkapkan egalitarianisme antar-bangsa merdeka.
Di bawah Wali Kota
Ridwan Kamil, peristiwa peringatan KAA diterjemahkan ke dalam ekspresi
"keindahan". Dengan latar belakang seorang arsitek yang, antara
lain, memenangi hadiah pertama International
Design Competition Waterfront Retail Masterplan Suzhou, Tiongkok, dan International Design Competition Kunming
Tech Park, Kunming, Ridwan merebut momentum KAA untuk mengartikulasikan
imajinasi arsitekturalnya atas lanskap pusat kota Bandung. Berduyun-duyun
turis yang mengunjungi lokasi peristiwa KAA, dengan demikian, adalah
"semut" yang berhasrat akan "gula" keindahan dan
kenyamanan. Bukankah restoran yang terhampar di Jalan Braga sangat romantis
dan memanjakan pengunjung? Di sini, peristiwa politik (KAA), imajinasi
arsitektural dan bisnis berpadu.
Namun, Bandung yang
kian gemerlap itu juga "meta politik". Kemolekannya mendorong
partisipasi warga untuk memeliharanya, seperti tecermin dari hasil wawancara
pengajar komunikasi politik Universitas Padjadjaran, Evie Ariadne Shinta
Dewi, dengan juru parkir Braga, Ari alias Boy. Kelangsungan kemolekan kota,
yang sudah dirintis sejak Dada Rosada jadi wali kota, dengan demikian, telah
menjadi bagian "tanggung jawab politik" warga. Bersama pengurus RW
setempat, Boy bertanggung jawab menjaga kursi-kursi taman kota dan
ornamen-ornamen KAA.
Di sini, kesadaran Boy
yang mengidentifikasikan diri sebagai "warga Braga" tertransformasi
menjadi "warga AA". Bukankah ia menyatakan kebanggaannya karena
"turis asing kian bertambah dan menanyakan museum KAA?" Dalam
perspektif lebih "dalam", kemolekan kota bagi Ari adalah kewajiban
asasi bukan saja bagi pemerintah kota, melainkan juga rakyat kebanyakan.
Sebagai tuan rumah, bagaimana mereka bisa berbangga atas peristiwa
internasional, seperti KAA, tanpa menggelarnya di atas wilayah yang molek?
Meminjam frase imagined communities Benedict Anderson, kemolekan kota itu
wahana bagi Ari dan kawan-kawan untuk keluar dari "kepompong"
lokalitas dan bertaut dengan dunia yang lebih luas.
Politik drama
Refleksi politik luar
negeri apa yang bisa diambil melalui peringatan ke-60 tahun KAA Bandung?
Pertanyaan ini fundamental. Sebab, ketika KAA berlangsung 1955 dan
tahun-tahun berikutnya seusai perhelatan akbar itu, perspektif analisis
politik Indonesia kian bertumpu pada efek dan fungsi "politik
drama", atau "politik ekspresif", bukan "politik
riil", atas stabilitas politik domestik. Ini terjadi karena kemerdekaan
Indonesia ditandai dua hal pokok: revolusi politik dan absennya kontrol atas
sumber daya ekonomi. Sementara revolusi lebih memberi panggung kepada kaum
ideolog daripada teknokrat, absennya kontrol negara atas sumber daya ekonomi
secara struktural menghambat proses pembangunan kemakmuran material.
Maka, "petualangan"
politik lebih merupakan keharusan struktural, baik untuk mengakomodasi
ideolog sebagai pemimpin dominan maupun menciptakan exit strategy bagi
ketidakmampuan menciptakan kemakmuran ekonomi dalam waktu segera. Maka, yang
dominan adalah politik ekspresif. "Slogan-slogan, pergerakan-pergerakan
yang secara bertahap kian mengeras (crescendo),
monumen-monumen dan demonstrasi-demonstrasi yang mencapai intensitas hampir
pada tingkat histeris awal 1960-an," tulis Clifford Geertz dalam The Politics of Meaning (1972),
"sebagian didesain untuk membuat negara-bangsa tampak mempribumi".
Dalam membaca karya
Herbert Feith, The Decline of
Constitutional Democracy in Indonesia (1964), saya dapat merumuskan kesan
bahwa perhelatan akbar KAA 1955 itu "raungan kemarahan kolektif kaum
nasionalis AA atas sejarah penjajahan". Sejatinya, seperti juga
dikesankan Feith, KAA itu ekspresi politik luar negeri. Namun, pada waktu
yang sama, Feith tak menyembunyikan kesan pengaruh konstruktif legitimasi
pemerintahan Ali Sastroamidjojo pada tingkat domestik. Selain karena dukungan
negara-negara AA atas kasus Irian Barat, juga karena perhelatan global itu
membuktikan kemampuan manajerial bangsa ini. Kebanggaan yang lahir dari situ
mendorong konsolidasi politik domestik di bawah kontrol pemerintahan Soekarno
dan Ali Sastroamidjojo.
Feith konsisten dengan
pandangan terakhir ini karena di kemudian hari ia menciptakan frase the politics of economic decline.
Dalam tulisan Dynamic of Guided
Democracy (1963) yang kemudian diadaptasikan pada 1967 dengan judul
seperti frase di atas, ia mencandra the
politics of economic decline sebagai pengorganisasian perhelatan upacara
dramatis-simbolis untuk menemukan jalan keluar dari "krisis"
legitimasi politik domestik akibat kemerosotan ekonomi nasional. Dengan
memainkan politik simbolis pembangunan monumen nasional, Masjid Istiqlal dan
kunjungan luar negeri Soekarno yang mempertontonkan kekaguman pemimpin dunia
kepadanya, keterpesonaan rakyat tercipta dan persetujuan politik mereka atas
pemerintah dapat diraih meski ekonomi tak berkinerja.
Maka, dilihat dari
perspektif ini, kendati merupakan ekspresi politik luar negeri, untuk
sebagian, KAA 1955 itu cermin usaha pemerintah meneguhkan legitimasi
politiknya pada tingkat domestik sebagai kompensasi absennya kontrol atas
sumber-sumber daya ekonomi strategis. Setelah 60 tahun KAA berlalu, apakah
jenis politik luar negeri ekspresif ini masih efektif? Pertanyaan ini
penting. Pertama, karena struktur kejadian telah berubah. Gelora api revolusi
secara struktural telah "padam" dengan sendirinya. Periode
pemerintahan "teknokratik-otoritarian" Orde Baru selama tiga dekade
telah melahirkan kelas menengah pragmatis. Kedua, di dalam struktur baru itu,
kepemimpinan para ideolog menjadi terpinggirkan, bahkan seluruh parpol di
negeri kita tampil tanpa ideologi.
Ketiga, globalisme
yang tampil dewasa ini adalah jenis baru, yang, mengutip Philiph Cerny dalam Finance and World Politics (1993),
ditandai oleh the end of hegemonic era. Tiongkok dan India, dua negara besar
yang memberikan kewibawaan KAA 1955, bukan saja tak lagi mengidentifikasi
diri sebagai negara bekas jajahan, melainkan mulai menyatakan diri, terutama
Tiongkok, pesaing utama kekuatan kapitalis dunia, yakni AS. Semua ini membuat
peta kekuatan global berdasarkan aliran ideologis jadi tak relevan. Artinya,
"politik ekspresif" tak mendapatkan landasan struktural untuk
digelar.
Namun, di dalam
konteks politik luar negeri, jika pola "aksi global" mencerminkan
keadaan domestik dan/atau sebaliknya, Menlu Retno Marsudi harus melihat
cermat respons rakyat atas peringatan ke-60 tahun KAA ini. Wawan, pegawai
Hotel Hyatt Bandung, melihat kembalinya sosok Soekarno di balik derap langkah
pengunjung tanpa henti itu. Sunaryo, asal Kuningan dan pegawai Museum KAA
Bandung, di samping Soekarno, menemukan kembali sosok Ali Sastroamidjojo.
Sekitar 150.000 orang per tahun secara rutin jadi tamu museum itu. Bukankah
ini usaha kolektif menemukan dinamika sejarah "politik ekspresif"?
Jenis politik ini pastilah bersambung dengan sifat "meta politik"
keelokan pusat kota Bandung yang mentransformasikan kesadaran tukang parkir
Braga Ari alias Boy dan kawan sebagai orang yang merasa bertanggung jawab
atas kotanya sendiri.
Memanfaatkan frase
Mahmud Yunus (Kompas, 11/6), melalui "politik ekspresif" peringatan
KAA Bandung ini, diperoleh tanda-tanda di mana rakyat menemukan wahana
meredesain diri untuk menjadi "subyek", bukan sekadar obyek. Di
dalam proses demokratisasi yang kian berlanjut, bangkitnya semangat rakyat
menjadi "subyek" adalah materi politik luar negeri paling
substansial bagi Retno Marsudi untuk diartikulasi ke dunia global. Sebab,
kebangkitan semangat rakyat sebagai "subyek" ini bukan saja
berlangsung di tengah absennya para pemimpin besar berkecenderungan
otoriter-sesuatu yang secara diametral berbeda dengan masa KAA 1955 dan
periode-periode politik sebelum reformasi 1998-melainkan juga ketika struktur
the politics of economic decline Feith tak lagi berlaku. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar