Padang-Bukittinggi
Bre Redana ; Penulis kolom “Catatan Minggu” Kompas Minggu
|
KOMPAS, 28 Juni 2015
Salah satu yang sangat
menggairahkan di Sumatera Barat adalah makanannya. Perjalanan kali ini,
beberapa hari sebelum Ramadhan lalu, dimaksudkan untuk survei bagi proyek
pertunjukan ”Indonesia Kita” yang beberapa tahun terakhir rutin tampil di
Taman Ismail Marzuki. Bersama Agus Noor, sutradara dan penulis cerita, tak
ketinggalan pimpinan produksi Zulita dan asistennya Eka, dijemput oleh teman
baik, staf Balai Pelestarian Nilai Budaya Padang, Undri, kami menuju
Bukittinggi.
Persis sebelum
memasuki Bukittinggi, di antara ngarai dan lembah, kami berhenti di warung di
pinggir jalan. Di warung sederhana itu kami melihat bagaimana lamang dibuat.
Ketan dengan di dalamnya pisang dimasukkan dalam batang bambu dibakar di atas
kayu-kayu menyala. Pisang mengeluarkan buih dan aroma wangi. Kami
menikmatinya dengan kawa daun, minuman panas yang disedu dari daun kopi. Kopi
dari Seattle pun tak bakal mampu menandingi minuman hasil dari kearifan lokal
ini.
Orang setempat
berseloroh, kawa daun muncul karena proses kolonialisasi. Biji kopi dibawa
Belanda. Masyarakat setempat meminum daunnya. Entah benar atau tidak, namun
makanan-minuman jelas tak bisa dipisahkan dari proses kebudayaan.
Bahkan lahirnya
sivilisasi adalah karena makanan. Dengan ditemukannya api, manusia mulai
mengolah apa yang dimakannya. Itulah yang kemudian membuat manusia berevolusi
secara berbeda dibanding spesies lainnya.
Dalam proses pembentukan
kebudayaan, makanan mendahului bahasa yang baru muncul sekitar 100 ribu tahun
lalu. Sebelum bahasa muncul, manusia berkomunikasi dengan gerak, dengan tari.
Komunikasi terbatas pada kepentingan keberlangsungan hidup. Oleh karenanya,
seni yang berupa komunikasi dalamgerak itu pun, umumnya urusannya berhubungan
dengan kesuburan dan makanan.
Di Bukittinggi pula
kami bertemu anak muda yang sedang dengan gigih melakukan pendokumentasian
musik dan lagu-lagu lama. Menurut dia, lagu-lagu Sumatera Barat selalu
bersangkutan dengan geografi, makanan, dan kerajinan. Bukankah ini modal luar
biasa kalau dikaitkan dengan keinginan pemerintah menggalakkan pariwisata dan
ekonomi kreatif? Ia tunjukkan rekaman video olahannya. Salah satunya yang
pasti dikenal banyak orang adalah ”Bareh Solok”, tentang beras yang luar
biasa pulen dari daerah Solok.
Kesadaran seperti
inilah yang tidak terdapat di sebagian besar tempat di Indonesia. Di Sumatera
Barat, terasa perjuangan untuk memelihara kekhasan yang membentuk kebudayaan
mereka, termasuk sumber-sumber makanannya: beras dari Solok, kelapa dari
Pariaman, cabai dari Bukittinggi, dan seterusnya.
Mereka bendung desakan
modal besar dari luar. Anda tak akan menemukan jaringan supermarket semacam
Alfamart atau Indomart. Begitu pun jaringan studio film. Di Padang Anda masih
menjumpai gedung-gedung bioskop model lama, antara lain seperti bioskop Karya
di tengah keriuhan pasar. Kalau para sineas Indonesia mampu menyuplai
kebutuhan masyarakat di daerah-daerah dengan film-film yang bercita rasa enak
seperti makanan lokal, kemungkinan dunia film Indonesia akan berkembang
sehat. Problemnya, kata Agus Noor, semua sineas Indonesia ingin jadi seperti
Quentin Tarantino.
Di Bukittinggi kami
mengunjungi Sanggar Saandiko, pimpinan Edi Elmitos. Edi adalah guru kesenian
sebuah sekolah dasar. Masa mudanya dulu dia pemain band rock. Kini, dalam
sanggarnya, ia olah randai, silat, musik tradisional, menjadi tampilan
bersuasana kontemporer. Proses revitalisasi budaya yang sangat imajinatif.
Bukittinggi, kota di
ketinggian kurang lebih 950 meter di atas permukaan laut, sekitar dua jam
dari Padang, adalah kota yang cantik dan anggun. Andai lebih bersih, dia
bakal anggun luar dalam seperti Bung Hatta yang berasal dari situ.
Senja datang di
Bukittinggi, dan kabut pun turun dalam imajinasi kami. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar