Otentisitas
Republikanisme
Asep Salahudin ; Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren
Suryalaya, Tasikmalaya
|
KOMPAS, 10 Juni 2015
Tentu bukanlah tanpa alasan ketika kaum pergerakan the founding
fathers menjadikan republik sebagai haluan bernegara: bukan kesultanan,
kerajaan, khilafah, imamah, dan atau daulah. Dalam republikanisme terbayangkan
"publik" sebagai daulat utama, sebagai subyek penting seharusnya
tujuan bernegara digulirkan.
"Indonesia" yang diproklamasikan Soekarno dan Hatta di
Gang Pegangsaan Timur 56, Jakarta, sudah menyatu di dalamnya tentang hasrat
membangun konfigurasi keindonesiaan yang inklusif. Di mana di dalamnya
perjuangan politik, ekonomi, dan sosial harus dilandaskan di atas semangat
kesamaan (egalitarianisme), kebersamaaan (gotong royong), dan persamaan di
depan hukum, di atas hamparan realitas bangsa multietnik dan multireligi.
Atau, dalam ungkapan Hatta, "Indonesia secara umum sebagai lapangan
terbuka di masa depan, tempat setiap
orang akan berusaha dengan segala
tenaga dan atas segala kemampuannya."
Semangat yang sama digelorakan Bung Karno dalam "Pidato Lahirnya Pancasila"
yang secara menggebu-gebu memosisikan Indonesia dengan Pancasila-nya dalam
spirit etos imperatif kegotongroyongan dan persatuan. "Negara Indonesia, bukan satu negara untuk satu orang, bukan
satu negara untuk satu golongan... tetapi negara semua untuk semua."
Ditahbiskannya bahwa Pancasila itu dapat dipadatkan menjadi tiga sila
(Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi, dan Ketuhanan Yang Maha Esa), bahkan
bisa diringkas menjadi ekasila: Gotong Royong.
Demikian juga Syahrir menulis imaji keindonesiaan masa depan
yang gemilang dalam "Perjuangan
Kita". Si Bung Kecil ini bikin rute yang terang benderang bahwa
untuk menggapai semua itu, jalan yang harus ditempuh bukan sekadar
gelegar revolusi yang diimani tidak pernah selesai dan atau revolusi mental
yang sering berhenti sebatas retorika, mengawang-awang, dan hanya menjadi
jualan kaum demagog, melainkan "revolusi kerakjatan".
"Kerakjatan" yang ditulis Syahrir bukan rakyat
partisan, eksklusif dengan visi politik metafisik yang tak jelas juntrungnya,
melainkan "rakjat" sebagai pemilik sah bangsa ini. Rakyat lengkap
dengan daging, tubuh, akal, dan rohnya. Rakyat yang melekat dalam alamat, di
mana demokrasi disematkan sekaligus rakyat yang dengan benderang diabadikan dalam
Pancasila, hal mana persoalan publik
dimusyawarah-mufakatkan, "Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan" sekaligus keadilan sosial ditujukan, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia".
Anomali Orde
Baru
Kerakyatan yang kemudian secara politis mendapatkan basis
legitimasinya melalui Sumpah Pemuda (1928). Rakyat jadi sekumpulan warga
negara yang berbaur mencair tanpa melihat sekat latar belakang etnik, agama,
dan budaya, yang dengan kepercayaan diri penuh, 17 tahun kemudian
Soekarno-Hatta mengatasnamakannya, "Atas
nama rakjat Indonesia...." Bahkan, rakyatnya sendiri dengan pendidikan yang masih ala
kadarnya, dengan fantasi kebangsaan yang
kuat, mampu membayangkan Indonesia yang bukan hanya lepas dari cengkeraman
Hindia Belanda yang telah menghinakannya dan menjadikannya sebagai
paria-inlanders, melainkan juga terputus dari hikayat silam saat kerajaan-kerajaan menguasai
wilayah Nusantara dikapling berdasarkan persamaan etnik, bahasa, dan bahkan
agama.
Tampaknya pesan itu juga ketika seorang guru bangsa, Tan Malaka,
pertama kali menulis "Indonesia
merdeka" dalam bukunya (1925), Naar
de Republik Indonesia (Menuju
Republik Indonesia). Indonesia yang, lagi-lagi, seluruh rakyatnya
merasakan daulat penuh atas hak politik, ekonomi, dan budaya. Rakyat yang
merdeka, semerdeka-merdekanya.
Sayangnya, di bawah rezim Soeharto selama Orde Baru
berkuasa, roh kerakyatan ini dilucuti
dari segenap aspek kebangsaan. Dengan menggunakan seluruh kekuatan yang
dimiliki dan mengoperasikan kekuasaan, baik secara fisik maupun simbolik,
rakyat kemudian secara serampangan diidentikkan dengan komunisme, dijauhkan
dari oksigen republikanisme.
Tema kerakyatan digeser menjadi pekik "pembangunan" dan proyek ambisius membangun "manusia seutuhnya". Tentu "manusia seutuhnya"
sebelumnya telah didefinisikan terlebih dahulu diselaraskan dengan keinginan
sepihak penguasa. Seandainya dalam Pancasila masih juga tertera diksi "rakyat", sila itu tidak
kemudian "di-mansukh"
(dibatalkan), tetapi justru Pancasila itu sendiri yang sekalian diperkosa
sedemikian rupa sehingga layu, lumpuh, kehilangan elan vital, dan nyaris tak
lagi mengandung rajah. Pancasila bukan ditempatkan pada tindakan (praksis),
keteladanan, dan sikap satunya kata dengan perbuatan, melainkan pada
hiruk-pikuk perayaan upacara, penataran, indoktrinasi, dan pada ritus
pidato-pidato para pejabat yang diulang-ulang, tetapi mereka tak paham apa
yang sedang dirapalkan.
"Manusia
seutuhnya" bagi saya melambangkan
bagaimana negara asing terhadap warganya sendiri. Maka, pada masa-masa
jahiliah seperti ini menjadi sangat dipahami kalau negara memusuhi warganya,
kalau rakyat merasa berurusan dengan birokrasi, seperti mengurus KTP, kartu
keluarga, SIM, dan PBB, menjadi lebih
sulit ketimbang berurusan dengan Tuhannya. Ternyata frasa "seutuhnya" di sini harus
dibaca sebagai seutuhnya kehilangan akal sehat, seutuhnya defisit keajegan
nalar.
Maka, menjadi sangat maklum kalau di kemudian hari kekayaan negara seutuhnya dikuasai segelintir orang,
demokrasi Pancasila itu kalau dibuka selubungnya tampak sangat sempurna,
isinya tak lebih adalah oligarki dengan skemanya yang khas: kolusi, korupsi,
dan nepotisme.
Dengan tragis, seperti penelitian Jeffrey Winters dalam
Oligarchy (2011), konsentrasi ekonomi dan kekayaan di Indonesia berlangsung
sangat ekstrem dibandingkan dengan negara-negara lain yang tidak punya
Pancasila dan tak berfalsafahkan "Ketuhanan
Yang Maha Esa". Coba bayangkan nilai total kekayaan 40 orang
Indonesia yang masuk majalah Forbes sebanding dengan 10,3 persen produk
domestik bruto Indonesia. Tidak perlu juga disebutkan indeks korupsi di
negeri kepulauan karena sudah menjadi pengetahuan bersama bagaimana korupsi menjadi sebuah kerajinan
laten dan diternakkan dengan gempita sehingga nyaris kita menjadi bangsa yang
sudah kehilangan rasa malu.
Politik
kewargaan
Di tangan penguasa hari ini dengan program utama memberikan
kepastian hadirnya negara di hadapan rakyatnya dan tekad mendistribusikan kesejahteraan,
bahkan menganggit ingatan terhadap Trisakti dan Nawacita-nya Bung Karno,
sudah seharusnya semangat kewargaan kembali dihidupkan. Hal ini tak lain agar
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
tidak kehilangan raison d'etre-nya
sebagai sebuah bangsa berdaulat.
Kembali kepada publik (res-publik) artinya kembali pada
cita-cita luhur kewargaan yang dapat mengalami kemajemukan. Kembali ke sukma
keindonesiaan yang terbebas dari tarikan ekstrem kaum puritan dan
fundamentalistik, baik ekstrem keagamaan maupun ekstrem ekonomi pasar. Terbebas dari
tarikan godaan pragmatisme politik dan banalitas kekuasaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar