Monumen Kasih Sayang
Muhidin M Dahlan ; Kerani Warungarsip
|
KORAN TEMPO, 15 Juni 2015
Tak ada respons publik
yang begitu gempita tentang kematian tak wajar seorang bocah kecuali kematian
yang dialami Arie Hanggara (Jakarta, November 1984) dan Angeline (Denpasar,
Mei 2015).
Kematian bocah secara
tak wajar memang bukan domain Arie-Angeline (A-A). Tiap tahun, rubrik
"Hukum & Kriminal" di koran cetak maupun daring mengabarkan
terbunuhnya anak-anak. Tapi tak pernah seheboh A-A.
Angeline merajai tren
topik di Twitter dan tak henti-hentinya berseliweran di lini masa Facebook
pada hari penemuan mayatnya, 10 Juni 2015, yang dikubur di pekarangan
rumahnya. Proses pencarian Angeline yang sebelumnya dikabarkan hilang itu
sempat mengundang respons dua menteri di Kabinet Kerja.
Geger nasional
kematian Angeline itu mengingatkan kita akan geger serupa saat Arie Hanggara,
8 tahun, tewas akibat kekerasan rumah tangga yang dilakukan ayah kandungnya
(Machtino) dan ibu tirinya (Santi). Kematian bocah kelas 1 SD pada November
1984 itu mula-mula menggemparkan Ibu Kota. Namun karena media cetak
terus-menerus mengeksposnya, kematian Arie menjadi "perkabungan"
nasional. Arie menjadi ikon dan menyumbang makna sosial bahwa "ibu tiri
(pasti) kejam".
Tak tanggung-tanggung,
Menteri P & K Nugroho Notosusanto bahkan sudah mengambil tindakan
"kreatif" mendahului keputusan hakim. Nugroho bertindak cepat
mengabadikan keharuan nasional ini dengan memesan patung Arie Hanggara.
Nugroho, yang lebih
berduka atas kematian Arie Hanggara ketimbang penyembelihan massal WNI
berideologi komunis dan pengagum Sukarno pada tahun 1965 itu, berdalih:
"Ada seorang anak yang terbunuh oleh orang tuanya. Ini satu kasus dalam
sejarah kita… ini peringatan bagi orang tua. Apa kita mau kasus seperti ini
terulang lagi?"
Dengan alasan
mengabadikan "keharuan nasional" dan demi "sejarah kita"
itulah, Nugroho memesan patung ke perupa dengan jejak karya monumental yang
legendaris: Edhi Soenarso. Edhi membuat patung Arie Hanggara itu di Studio
Patung Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia, Yogyakarta.
Patung itu patung gips seorang anak setinggi 125 sentimeter dengan hanya
memakai celana pendek. Bocah itu berdiri membungkuk dengan ekspresi wajah
yang kesakitan, sementara kaki dan tangannya terikat tali.
Patung Arie Hanggara
karya Edhi Soenarso ini, yang rencananya ditaruh di gedung Departemen P &
K, memang tak pernah "selesai" karena mengundang kontroversi. Niat
mulia Nugroho mengabadikan "keharuan nasional" oleh publik yang
marah sejak November 1984 dipandang berlebihan.
Kegagalan Menteri
Nugroho tak menghentikan laju menjadikan Arie Hanggara sebagai ikon kekerasan
terhadap anak. Film yang dibesut Frank Rorimpandey dengan skenario yang
ditulis Arswendo Atmowiloto ini sukses mendatangkan ratusan ribu penonton ke
bioskop; dari ibu kota hingga ke kabupaten; dan bahkan diputar di
bioskop-bioskop kampung yang jauh dari Jakarta.
Setelah kehebohan itu,
kekerasan terhadap anak di ruang domestik maupun ruang sosial-ekonomi tak
pernah berhenti. Tapi boleh dibilang peristiwa-peristiwa itu hanya menjadi
statistik dan tak satu pun menghadirkan "rasa haru nasional".
Sampai kita bertemu dengan kematian Angeline di era kepemimpinan Presiden
Joko Widodo.
Arie-Angeline--pinjam
istilah Nugroho Notosusanto saat menamai patung Arie pesanannya--adalah
monumen kasih sayang dalam keluarga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar