Meningkatkan
Harkat Petani
Ali Masykur Musa ; Ketua Umum Ikatan Sarjana NU (ISNU)
|
KORAN SINDO, 03 Juni 2015
Mengkhawatirkan.
Itulah gambaran ketahanan pangan negara-negara di dunia, termasuk di
Indonesia. Tantangan pembangunan pada masa depan ialah jumlah penduduk yang
terus meningkat. Dalam laporan bertajuk ”Prospek
Populasi Dunia: Revisi 2012” disebutkan penduduk dunia akan naik menjadi
8,1 miliar jiwa pada 2025 dari jumlah 7,2 miliar jiwa pada saat ini. Jumlah
itu akan terus berkembang menjadi 9,6 miliar pada 2050. Prediksi sebelumnya,
penduduk dunia diperkirakan ”hanya” mencapai 9,3 miliar jiwa pada 2050.
Pertumbuhan penduduk terbesar akan terjadi di negara-negara miskin. Sementara
itu, penduduk Indonesia pada 2015 sudah mencapai lebih dari 250 juta jiwa.
Karena itu, pembangunan dan pemenuhan kebutuhan dan ketersediaan pangan
menjadi syarat mutlak bagi mewujudkan pembangunan dan ketahanan nasional.
Berkaca pada hal
tersebut, pertambahan penduduk secara otomatis meningkatkan pula kebutuhan
pangan sekaligus menurunkan luas dan kemampuan lahan untuk menyediakan
pangan. Penyebabnya, penduduk yang semakin banyak tentu akan menggunakan
lahan yang semakin besar. Meter demi meter lahan yang tereduksi oleh
pembangunan perumahan, perkantoran, industri, dan fasilitas lain akan
mengurangi ketersediaan sumber daya lahan pertanian untuk produksi pangan.
Semakin ciut lahan pertanian menyebabkan semakin kecilnya daya produksi pangan.
Berdasar Laporan
Neraca Pangan Dunia, pada 2025 diperkirakan akan terjadi ketidakseimbangan
(krisis) pangan dunia, jumlah permintaan atau konsumsi pangan melebihi jumlah
ketersediaan atau produksi pangan. Surplus pangan dan minus pangan yang
terjadi di beberapa daerah akan menyebabkan terjadi aliran pangan dari
negara-negara surplus pangan di Eropa dan Amerika Utara ke arah negara-negara
minus pangan di Asia Selatan, Asia Timur, Asia Tenggara, serta Amerika Latin.
Perkiraan krisis
pangan tersebut menyebabkan beberapa negara perlu mengambil tindakan
kebijakan untuk melindungi produksi serta menjamin ketersediaan pangan di
dalam negeri. Mengantisipasi hal tersebut, Indonesia harus bersiap diri akan
kemungkinan ada perebutan sumber daya alam, terutama pangan dan energi.
Kesiapan Indonesia
Indonesia punya
peluang besar untuk mewujudkan swasembada pangan guna mencapai ketahanan
pangan. Indonesia memiliki lahan yang luas dan subur untuk dijadikan
sentra-sentra produk beras, jagung, kedelai, dan tanaman pangan lainnya. Dari
letak geografis, Indonesia juga sangat diuntungkan karena terletak di wilayah
tropis dan memiliki curah hujan yang cukup sehingga memungkinkan ragam
tanaman bisa tumbuh dengan baik. Modal dasar ini setidaknya dapat menjadi
kekuatan kita dalam meningkatkan produksi pertanian.
Selama
ini Pemerintah Indonesia sangat mudah membuka gerbang impor beras.
Ketidakcukupan produksi beras dalam negeri hingga faktor cuaca acapkali
dijadikan alasan oleh pemerintah mengimpor beras. Kebijakan impor menjadi
jalan pintas untuk mencukupi ketersediaan pangan nasional. Di balik pintu
impor, jutaan jiwa petani meradang. Mereka kini cenderung meninggalkan
ladang, padi, ataupun tanaman pangan yang lain tidak lagi ditanam. Para
petani mencari lahan pekerjaan baru yang lebih menjanjikan karena tidak tahan
dengan gempuran pangan impor.
Untuk
mengurai masalah ini, mari kita lihat dari hulu ke hilir. Pemerintahan
Presiden Jokowi sudah membuat kebijakan baik bahwa dalam meningkatkan
swasembada pangan dimulai dari memperbaiki sarana infrastruktur pangan. Hal
ini tercermin dari realokasi anggaran yang lebih berfokus pada pembangunan
waduk dan irigasi, dengan menambah alokasi anggaran 2015 melalui APBN-P
sebesar Rp16 triliun, serta tambahan dana alokasi khusus (DAK) bidang
pertanian sebesar Rp4 triliun. Selain itu, pemerintah juga sedang
memperjuangkan rencana ke depan dengan pembangunan dan perbaikan jaringan
irigasi seluas 3 juta hektare sawah, serta mempercepat pembangunan 49
bendungan pada 2014-2019.
Bukan
hanya itu, langkah pemerintah untuk membuka lahan baru seluas 4,6 juta
hektare di Merauke, Papua juga patut direalisasikan secara serius. Pembukaan
lahan baru menjadi krusial mengingat sentral produksi pangan hanya di daerah
tertentu, hampir 60% dari produksi pangan Indonesia berasal dari Jawa dengan
40% di antaranya di Jawa Timur. Pemusatan produksi menimbulkan berbagai
kerumitan dalam pemasaran dan distribusi pangan mengingat bahwa Indonesia
adalah negara kepulauan dengan 3000 pulau yang didiami penduduk, di tengah
terbatasnya persediaan sara-na dan prasarana perhubungan.
Namun,
dua kebijakan di atas saja tidaklah cukup. Peran Bulog perlu dikembalikan
kepada jalurnya. Misi pertama, Bulog melindungi konsumen, utamanya warga
miskin dan kaum marginal perkotaan dari melambungnya harga kebutuhan pangan
pokok. Misi kedua, Bulog mampu melindungi petani dari keterpurukan harga jual
komoditas pangan hasil panen mereka. Bulog harusnya tidak hanya diberi
kewenangan menjaga suplai beras dan menyalurkannya kepada masyarakat miskin,
tetapi juga menjaga distribusi sejumlah komoditas strategis seperti tepung,
gula, minyak sayur, kedelai, dan lainnya. Selain itu, Bulog juga bisa
berperan sebagai stabilisator harga kebutuhan pangan. Melalui Bulog,
pemerintah mampu melakukan intervensi terhadap kebutuhan pokok dengan tidak
menyerahkan harga sepenuhnya kepada mekanisme pasar.
Menjunjung Peran
Petani
Gejolak
harga bahan makanan pokok pada awal 2015, maraknya impor bahan pangan, dan
kasus beras plastik patut dijadikan pelajaran bahwa sudah bukan saatnya lagi
pemerintah lebih mementingkan ketersediaan pasokan dengan impor dan
mengorbankan nasib petani sendiri. Akibatnya, potensi besar pertanian
nasional justru terabaikan dan rakyat menjadi semakin bergantung pada pangan
impor. Bila tidak ditangani dengan cermat, akan menimbulkan ketidakstabilan,
baik sosial maupun politik. Orientasi kebijakan pangan pemerintah sangat
perlu diubah antara lain dengan memberikan peran dan kesempatan lebih kepada
petani lokal dalam mewujudkan kedaulatan pangan.
Selain
penyediaan benih dan pupuk berkualitas serta pembinaan petani, pemerintah
juga harus memperhatikan teknologi pascapanen sehingga petani tidak hanya
menjual bahan mentah, tetapi juga mampu menghasilkan produk olahan yang
bernilai tambah. Hal itu membutuhkan insentif dan komitmen kuat pemerintah
untuk membangun industrialisasi berbasis agraris di perdesaan.
Industrialisasi
ini akan menampung hasil produksi petani. Langkah ini memberikan kepastian
harga bagi petani sehingga petani terdorong untuk berproduksi.
Kita
juga harus mulai memikirkan sistem insentif sekaligus subsidi yang rasional
bagi para pelaku pertanian pangan sehingga mereka bergairah untuk
mengembangkan usahanya, berinvestasi dan berinovasi untuk meningkatkan
produktivitas, dan memperoleh nilai tambah dari produk-produk pangan kita
melalui pengembangan agroindustri pangan modern. Bergeraknya sektor industri
pertanian diharapkan memiliki efek berantai dalam meningkatkan produksi dan
produktivitas, meningkatkan indeks pertanaman, memberikan kontribusi terhadap
pemantapan ketahanan pangan, dan mengurangi ketergantungan impor pangan.
Esensi
kebijakan pemerintah adalah semakin mendekatkan rakyatnya kepada
kesejahteraan, bukan sebaliknya. Sudah bukan saatnya lagi, potensi jumlah
penduduk Indonesia besar menjadi sasaran empuk bagi produk pangan impor.
Segala potensi bangsa kita bisa dijadikan dasar tekad untuk meningkatkan
jumlah dan mutu produknya sehingga mampu berperan sebagai pemasok produk
pangan tropis bagi pasar internasional. Sudah
saatnya kita mengakhiri kecanduan pangan impor dengan mewujudkan kedaulatan
petani dan kedaulatan pangan. Harkat petani harus ditingkatkan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar