Menghargai
Perempuan
Dianing Widya ; Novelis dan Pegiat Sosial di Spirit Kita
|
KORAN TEMPO, 09 Juni 2015
Aceh tak pernah bosan
menjadikan dirinya sebagai "selebritas" kontroversial dalam membuat
kebijakan yang merugikan perempuan. Tak henti-hentinya para elite Aceh
menjadikan perempuan sebagai obyek kebijakan. Yang teranyar adalah
pemberlakuan "jam malam" bagi perempuan oleh Wali Kota Banda Aceh,
Hj IIIiza Saaduddin Djamal. Jam kerja perempuan di sejumlah bidang pada malam
hari dibatasi hingga pukul 23.00.
Ini menambah panjang
daftar kebijakan "aneh" di tanah rencong tersebut. Sebelumnya, Wali
Kota Lhokseumawe mengeluarkan kebijakan agar perempuan tidak duduk ngangkang
ketika membonceng sepeda motor. Kebijakan ini sempat membuat sang Wali Kota
sekaligus daerahnya menjadi terkenal. Ia dianggap kurang kerjaan sehingga ia
"mencari-cari kerjaan".
Sebab, aturan-aturan
semacam itu sama sekali tidak menyentuh substansi beragama. Ia lebih bersifat
bungkus dan persepsi. Justru kebijakan seperti itulah yang menunjukkan
kesempitan cara berpikir. Dengan kebijakan tersebut, seolah-olah ditegaskan
bahwa perempuan yang duduk mengangkang atau bekerja sampai malam memiliki
kasta lebih rendah. Ketika sebuah sebuah laku dilarang, artinya laku itu
dinilai tidak baik, bahkan hina.
Sekilas, kedengarannya
aturan yang membatasi jam kerja perempuan itu baik-baik saja. Sebab, ia disampaikan
dengan narasi yang luhur: demi melindungi perempuan. Namun mereka lupa bahwa
persepsi semacam itu semakin membuat perempuan terpuruk dalam
ketidakberdayaan. Seolah-olah perempuan harus selalu diberi perlindungan agar
mereka bisa terselamatkan dari "buaya-buaya" malam.
Namun tidak jelas
siapa "buaya" yang sesungguhnya. Mereka-para penentu
kebijakan-membangun imajinasinya bahwa seolah-olah selalu ada ancaman
terhadap perempuan. Menempatkan perempuan sebagai makluk lemah sama saja
dengan menghidupkan kembali persepsi bahwa laki-laki adalah makhluk
superior. Dengan kata lain, laki-laki
adalah makhluk kelas satu, sedangkan perempuan makhluk kelas dua.
Persepsi ini jelas
tidak sejalan dengan konsep kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Dalam
sejumlah kasus, perempuan bahkan lebih kuat daripada laki-laki. Karena itu,
sesungguhnya hal yang perlu dibedakan dari mereka hanyalah sisi kodrati.
Hal-hal yang bersifat kodrati ini antara lain fakta bahwa perempuan
melahirkan dan menyusui. Adapun soal apakah perempuan boleh mengemudi truk,
memanjat pohon kelapa, atau menjadi pemain sepak bola, misalnya, itu adalah
persepsi.
Perspesi dibangun oleh
kultur. Nah, kultur inilah yang kerap membuat perempuan
"terpinggirkan" secara sosial, ekonomi, ataupun politik. Bahkan,
agama pun tidak pernah mengatur apakah perempuan harus memakai rok atau
celana, boleh duduk mengangkang atau tidak, sampai boleh keluar malam hari
atau tidak. Agama hanya mengatur sisi yang lebih rasional, misalnya tidak
membuka aurat dan berperilaku baik.
Karena itu, lagi-lagi,
ihwal hal-hal yang membuat perempuan berdaya atau terlindungi bergantung pada
persepsi kultural, sehingga melindungi perempuan bukanlah dengan cara
membatasi, melainkan membebaskan mereka untuk bergerak dan berekspresi.
Perempuan-apalagi yang sudah dewasa-tentu tahu mana yang terbaik untuknya.
Tak perlu pula membawa nama agama. Sebab, sekali lagi, kebijakan semacam ini
hanya berlandaskan persepsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar