Membuat Jera Koruptor
Luky
Djani ; Peneliti Institute for Strategic Initiatives
|
KOMPAS, 27 Juni 2015
Sejak tahun 2004
hingga kuartal pertama 2015, 311 kasus dan tak kurang dari 460 residivis
telah dieksekusi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Saat ini proses
persidangan untuk kasus korupsi dengan pelaku, di antaranya, Fuad Amin, Sutan
Bhatoegana, dan Waryono Karyo masih akan berlanjut. Mereka boleh jadi bukan
penyelenggara negara terakhir yang dituntut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Gelombang proses
penegakan hukum akan terus berlanjut sepanjang korupsi masih tetap jadi
kebiasaan atau kelaziman dalam pemerintahan. Akan tetapi, walau sudah beratus
orang diganjar sanksi pidana dan denda, dengan mengaitkan tindakan korupsi
dengan pencucian uang yang berarti menambah berat sanksi yang diterima para
koruptor, korupsi tetap bersemi.
Dampak dari terapi
kejut terhadap pelaku korupsi belum membuat mereka kapok. Ada yang
berpendapat sanksinya masih terlalu ringan sehingga korupsi masih diyakini
sebagai kegiatan yang low cost, low
risk and high profit alias tanpa usaha tapi untung terus.
Oleh karena itu,
hukuman perlu diperberat agar timbul efek jera. Referensi yang kerap
dijadikan acuan adalah hukuman mati di Tiongkok yang diyakini dapat meredam
korupsi. Atau, hukuman berlapis yang lazim digunakan di negara-negara Eropa
Timur pasca runtuhnya tembok Berlin dan kekuasaan Uni Soviet.
Pendekatan efektif
lain adalah "operasi cuci gudang" yang dilakukan di Italia pada
awal dekade 1990-an. Pemberantasan korupsi dipimpin oleh jaksa Antonio Di
Pietro. Ia berhasil menggelandang tiga mantan perdana menteri dan lebih dari
12.000 orang diinvestigasi yang berujung pada penghukuman lebih dari 5.000
pebisnis dan politikus sepanjang Desember 1992 hingga Agustus 1999. Operasi
pembersihan ini dikenal dengan nama Operation
Clean Hands (Mani Pulite).
Akan tetapi, mengapa
para penyelenggara negara di Indonesia beserta kaki tangannya tidak jera dan
tetap saja korupsi?
Akar korupsi di Indonesia
Korupsi, menurut para
sejarawan, telah tumbuh subur bahkan sebelum masa pemerintahan kolonial. Saat
itu, konstelasi politik masih patrimonial dan feodal sehingga secara
"hukum" belum dapat dikategorikan sebagai korupsi.
Gratifikasi pada masa
itu disebut upeti dan bagian dari "tradisi" hierarkis simbol
loyalitas bawahan kepada junjungannya. Memberi upeti bukanlah pelanggaran
hukum. Kebiasaan ini kemudian dilanjutkan ke dalam "birokrasi
modern" dalam naungan pemerintah kolonial walaupun birokrat disebut
sebagai pamong praja, bukan lagi pangreh praja atau abdi dalem.
Etos dan karakter
birokrasi demikian dilanjutkan pada masa kemerdekaan dan Orde Baru, bahkan
berlanjut hingga sekarang (Tydey, 2012). Begitu juga dengan varian
penyimpangan kekuasaan lain, seperti manipulasi aset dan penggelembungan
nilai atau penyunatan anggaran.
Korupsi terjadi
sebelum pemerintahan modern yang dinamakan Indonesia terbentuk. Kelompok
sosial dan politik lebih dulu ada sebelum pemerintah, dan-celakanya-nilai,
etos, relasi telah hadir dan "dilestarikan" sehingga menjadi aturan
main yang mendominasi aturan formal yang berlaku. Memang ada perubahan
institusional dan kerangka hukum, tetapi seperti pengamatan Silvia Tydey di
salah satu provinsi di Indonesia timur, apa yang disebut shadow government oleh William Reno (2008) atau state of non-existence oleh Kalir dan
Wilson (2010) menjadi fondasi berlangsungnya pemerintahan.
Faktor kedua adalah secara umum organisasi
politik belum mandiri dari segi pendanaan. Tumpuan pendanaan pada donatur
kakap dan kerap menjadi patron finansial kelompok tersebut. Cara lain adalah
dengan membuat "kendaraan usaha" untuk mengerjakan proyek-proyek
pemerintah atau mengurusi konsesi sumber daya alam. Namun, jalan termudah
adalah menjadi broker yang
mengharap rente dari pelayanan sebagai penengah.
Dua faktor di atas menjadi fondasi korupsi
sebagai kejahatan terorganisasi. Kerangka "pemerintahan bayangan"
dengan etos dan langgam yang telah mengakar selama ratusan tahun
memfasilitasi manipulasi terhadap anggaran negara ataupun sumber daya alam.
Prosesi ini dilakukan secara terorganisasi dan sinergis antarkelompok. Tanpa
mengatasi kedua problem tersebut, pemberantasan korupsi akan terus berhadapan
dengan kasus yang berulang.
Masyarakat permisif
Di sisi lain,
masyarakat pun cenderung permisif terhadap korupsi. Warga dari struktur
sosial bawah memandang korupsi sebagai mekanisme yang menindas mereka.
Terkadang, untuk mendapatkan layanan publik, mereka harus mengeluarkan biaya
tambahan yang tentu saja memberatkan kondisi ekonomi kelaurga.
Akan tetapi, temuan
Mungiu-pippidi (1998) mengatakan bahwa warga di negara-negara berkembang
cenderung menerima kondisi ini karena ketiadaan pilihan layanan publik.
Mereka paham bahwa hanya dengan memberikan uang pungli, urusan mereka dapat
dipercepat.
Kelompok warga dari
strata sosial yang lebih tinggi, kelas menengah, juga terbawa pada kondisi
apatis dan cenderung takluk pada iklim koruptif. Berbeda dengan warga dari
strata sosial bawah, kelas menengah dan atas menghindari bertele-telenya
proses layanan dengan memberikan pungli. Selain itu, bagi mereka yang
bisnisnya tidak bersentuhan dengan pemerintah memilih menjauhi interaksi
dengan "instansi terkait".
Tanpa melumerkan
apatisme publik, akan sangat sulit untuk mendorong pelibatan warga secara
aktif agar mereka benar-benar terlibat dalam membendung korupsi. Sikap
apatisme dan cenderung berkompromi dengan sistem koruptif jadi lahan subur
tindak korupsi bersemai.
Melanjutkan ikhtiar
Selama ini tak
dimungkiri KPK telah menjadi garda depan dalam pemberantasan korupsi. Namun,
sebagai institusi menjadi bersih sendiri ternyata tidak cukup.
Pengalaman akhir-akhir ini yang
dihadapi KPK menunjukkan institusi ini berjuang nyaris sendirian
Jika kita menyadari bahwa korupsi politik dan
tumpulnya penegakan hukum menjadi
perekat dari kejahatan terorganisasi korupsi, mencari politikus dan
aparat penegak hukum di luar KPK yang memiliki integritas dan komitmen adalah
prioritas. Memang, bergandengan tangan dengan mereka-khususnya dengan
politikus-pada awalnya membuat canggung.
Namun, dari pengamatan
penulis, masih ada politikus muda anggota legislatif daerah yang mumpuni.
Penulis sangat yakin masih ada politikus, walau minoritas, yang memiliki
komitmen membuat Indonesia berintegritas dan berkeadilan.
Begitu juga dengan menggerakkan masyarakat.
Perlu energi ekstra untuk mengajak warga aktif dan berani meninggalkan
kebiasaan "pasrah" terhadap sistem koruptif. Pembenahan korupsi
memerlukan pelibatan sebanyak mungkin elemen bangsa.
Merambahnya korupsi
penting dilokalisasi dengan membangun tidak hanya sistem, tetapi juga gerakan
publik secara masif. KPK perlu memproduksi semangat kolektif guna meredam
korupsi. Ajakan fastabiqul khairat,
berlomba-lomba berbuat kebaikan, haruslah menggugah elemen bangsa untuk
memberantas korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar