Kamis, 11 Juni 2015

Media Indonesia dalam MEA

Media Indonesia dalam MEA

David T Hill  ;  Profesor Kajian Asia Tenggara,
Universitas Murdoch, Perth, Australia Barat
KOMPAS, 11 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Indonesia adalah salah satu soko guru ketika ASEAN didirikan  tahun 1967 dalam suasana Perang Dingin melawan komunisme,  sekaligus menjadi tuan rumah sekretariat ASEAN. Indonesia juga mendukung perkembangan Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015 ini.

Akan tetapi, sejauh mana prinsip penghapusan batas antara negara-negara ASEAN ini akan membawa manfaat bagi Indonesia? Khususnya, apa dampaknya kepada media Indonesia sebagai salah satu sektor yang paling menentukan ekonomi Indonesia?

Hal itu patut dipertanyakan karena tidak ada sektor ekonomi yang lepas dari pengaruh media. Kesehatan media suatu negara merupakan tolok ukur kesehatan demokrasi masyarakat pada umumnya. Andaikata media dikuasai kepentingan yang tidak demokratis - baik yang dari dalam negeri ataupun asing - roda-roda demokrasi, yang bergantung kepada arus informasi yang terbuka, dapat mulai terhambat, malah dapat berhenti serentak. Segala aspek jalannya sistem demokrasi mestinya dapat dipantau, diselidiki, dan dikritik insan media yang bertugas investigatif.

Setelah berakhirnya Perang Dingin dan disadari negara-negara pendiri ASEAN bahwa kerja sama dengan negara komunis di wilayah Asia Tenggara lebih masuk akal daripada tetap mewanti-wanti mereka, keanggotaan ASEAN mencakup negara nonkapitalis. ASEAN juga berusaha membina kekuatan ekonomi bersama di kawasan ini.

Alhasil, pada akhir 2015 akan diresmikan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), diakibatkan negosiasi yang berlangsung sudah belasan tahun. Blueprint-nya pun telah disetujui pada 2007.

Tujuannya, antara lain, ialah dibentuknya sebuah ekonomi bersama yang mencakup seluruh kawasan ASEAN tanpa batas tembok antarnegara. Prinsipnya ekonomi tanpa batas ini akan memungkinkan arus bebas dan pemindahan dengan mudah lima faktor yang pokok, yaitu: barang, jasa, penanaman modal, kapital, dan tenaga kerja terampil.

Manfaat yang diharapkannya berdasarkan asumsi bahwa pengembangan ekonomi seluas-luasnya akan mengangkat kualitas kehidupan di seantero negara dan masyarakat yang ikut. Dan, bahwa pengembangan tersebut akan seimbang bagi semua peserta.

Akan tetapi, apakah mungkin? Apakah tujuan yang diagung-agungkannya itu tanpa risiko, sebagai contoh, bagi industri media?

Kemampuan bersaing

Industri media sendiri boleh dikatakan makin lama makin global, tanpa dapat dibatasi lagi pada suatu pasar negara tertentu. Apalagi yang namanya "new media" dengan infrastruktur digital yang  serba mobile itu.

Yang jelas, arus bebas tenaga kerja terampil dalam media bisa membuka peluang kerja yang lebar bagi orang Indonesia kalau mampu bersaing, berdasarkan pengalamannya serta pendidikannya, dengan pencari pekerjaan dari negara ASEAN yang lain. Seorang warga negara Indonesia tamatan universitas di Indonesia ataupun luar negeri, misalnya, dapat bekerja di seluruh ASEAN.

Secara teoretis. Tetapi, berapa banyak tenaga kerja Indonesia yang berbekal keterampilan bersaing itu?

Hambatan yang jelas adalah bahasa. Secara de facto bahasa Inggris telah menjadi bahasa pemersatu kawasan ASEAN. Tentu ada banyak wartawan Indonesia yang sangat fasih dalam bahasa Inggris. Namun, masih banyak pekerja media yang belum selancar itu.  Dengan bahasa Indonesia yang lebih prima barangkali mereka masih bisa mendapat pekerjaan di Malaysia, Singapura, ataupun Brunei. Mungkin keadaan kerja lebih layak daripada yang ada di Indonesia.

Kalau dulu praktisnya hanya koresponden asing ataupun staf lembaga pers internasional yang begitu mudah dapat pindah-pindah. Mungkin dengan MEA, tidak hanya wartawan, tetapi tenaga media bagian teknis, seperti teknisi IT atau fotografer misalnya, yang tidak perlu bahasa asing dengan sempurna, bisa mencari lapangan kerja yang baru di luar negeri.

Sebenarnya, kalau seseorang ingin lebih menjamin kemungkinan kerja dalam kawasan MEA tersebut, yang memang multietnis, multiagama, dan multibahasa, kefasihan dalam bahasa Inggris tidak cukup.

Umpamanya, kalau wartawan Indonesia ingin bekerja di Thailand atau Kamboja, apa tidak perlu menguasai bahasa setempat agar dapat meliput berita dengan efektif? Dan, menurut kesan sejumlah pekerja media yang aktif di kancah internasional, sedikit sekali pekerja media Indonesia-ataupun orang Indonesia dalam sektor apa pun- yang sudah menguasai bahasa-bahasa ASEAN (selain Inggris,  Indonesia, dan Mandarin, barangkali).

Secara kasar dapat dikatakan bahwa potensi MEA yang paling mencolok adalah bagi para investor. Investor Indonesia diberi keleluasaan untuk menanamkan modal dalam ekonomi negara ASEAN yang lain. Dan, sebaliknya.

Apa kiranya pemilik (atau oligark) media Indonesia akan mau membeli media di negara lain? Ataukah kepentingan politik mereka lebih mementingkan mereka berkonsentrasi kepada kepemilikan media di Indonesia, di mana mereka dapat membina citra politik mereka untuk kemudian hari.

Apakah jalan mereka ke kekuasaan akan lebih mulus kalau melebarkan sayap ke pasar media di luar negeri? Atau strategi politik mereka berarti lebih logis memusatkan modal media di Indonesia saja?

Realitas pasar

Kekuatan media Indonesia telah teruji pada era pasca Soeharto. Tingkat kompetensi, baik dalam kalangan pemodal, maupun dalam kalangan pekerja, telah menyaring mereka yang dapat bertahan dari mereka yang kalah bersaing. Jumlah koran di Indonesia, umpamanya, telah melangit setelah dihapuskannya sistem kontrol Orde Baru, tetapi dalam beberapa tahun saja, telah menciut kembali ketika realitas pasar mematikan koran yang kurang profesional ataupun yang  tidak cukup modalnya.

Pengalaman selama Orde Baru masih relevan. Media Indonesia banyak hikmahnya buat media di beberapa negara ASEAN yang medianya belum sebebas Indonesia, seperti Myanmar, Malaysia, dan Singapura. Pekerja media Indonesia dapat membantu kawan seprofesinya di sana. Wartawan Indonesia terkenal bersemangat pada profesinya dan berkomitmen pada peranan media dalam proses perubahan sosial-politik.

Akan tetapi, kalau menatap masa depan, apakah pendidikan dan pelatihan pekerja media dan calon pekerja media di Indonesia bertaraf internasional? Apakah kurikulum program jurnalistik ataupun komunikasi massa, misalnya, cocok dengan tuntutan MEA?

Salah satu langkah yang dapat diambil untuk memastikan kecocokan  tersebut  barangkali adalah pertukaran staf pengajar dari universitas dan lembaga di Indonesia dengan negara-negara lain, baik ASEAN maupun di luar ASEAN. Barangkali mahasiswa pun dapat mengadakan exchange atau pertukaran untuk memperoleh perspektif yang lebih luas daripada yang ditawarkan dalam perguruan tinggi di Indonesia.

Barangkali "modal" yang paling relevan dan berguna dalam menghadapi tantangan MEA adalah perspektif yang global dan jaringan internasional, supaya kita tidak terkungkung dalam perspektif dunia yang terlalu sempit dan nasionalistis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar