KPK, Haruskah Layu
Sebelum Benar-benar Bermekaran?
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 23 Juni 2015
Usia 13 tahun
merupakan masa remaja. Masa-masa itu pasti hiperaktif, agresif, atau secara
sinikal disebut masa "nakal-nakalnya". Sebab, energi remaja sangat
besar, mimpi-mimpinya sangat tinggi. Wataknya bertindak apa adanya, tidak
neka-neka, dan tak pernah berpikir aneh-aneh. Benar, kita tengah membicarakan
Komisi Pemberantasan Korupsi, institusi produk reformasi yang menjadi garda terdepan
dalam pemberantasan korupsi.
Namun, sejak
kelahirannya pada 2002, KPK selalu berada di ujung tanduk. Rasa-rasanya
banyak sekali mereka yang duduk di legislatif, eksekutif, dan yudikatif
menginginkan KPK lemah. DPR termasuk institusi paling giat yang ingin
melemahkan KPK, mulai dari pernyataan anggota dan pimpinannya sampai tindakan
lebih substantif berupa rencana revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pekan lalu, Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengungkapkan soal rencana revisi
UU itu yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun ini. Kontan
saja publik bereaksi. Runyamnya, Presiden Joko Widodo tidak tahu-menahu soal
rencana revisi UU itu. Memang aneh, mengapa bisa pembantu presiden jalan
sendiri tanpa sepengetahuan presiden? Ternyata peran penting DPR yang
menghendaki revisi UU itu. Sebaliknya, DPR tak terima dan menuding balik
bahwa pemerintahlah yang menjadi inisiator rencana revisi UU itu dalam
Prolegnas 2015. Saling tuding sudah tak mengherankan lagi dalam panggung
politik kita. Kalau DPR menjadi inisiator, tentu bukan kisah baru. Wacana
revisi UU tersebut sudah berkali-kali terdengar dalam beberapa tahun ini.
DPR sejak periode
2009-2014 memang berulang kali menghajar KPK, baik dengan pemangkasan
wewenang sampai paling ekstrem pembubaran KPK. Wacana pembubaran KPK bahkan
sudah santer sejak KPK pada era Antasari Azhar dan Busyro Muqoddas. Kasus
Antasari bahkan diduga juga tak lepas dari konspirasi pelemahan KPK. Dan,
itulah yang ingin terus-menerus dibuktikan Antasari dengan segala tindakan
perlawanan hukumnya.
Tindakan paling riil
pembunuhan KPK adalah kriminalisasi dua unsur pimpinan KPK, yaitu Bibit Samad
Rianto dan Chandra M Hamzah, yang dituduh menerima suap dari Anggoro Widjojo,
tersangka kasus korupsi proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu tahun 2009,
melalui adiknya, Anggodo Widjojo. Bibit dan Chandra dijadikan tersangka dan
sempat mendekam di penjara.
Serangan balik
Serangan balik
terhadap KPK itu dilakukan setelah KPK menyadap Kepala Badan Reserse Kriminal
Polri Komisaris Jenderal (Komjen) Susno Duadji yang diduga menerima
gratifikasi terkait Bank Century. Peristiwa itu kemudian dikenal sebagai
cicak versus buaya jilid 1. Publik marah membela KPK. Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pun turun tangan. Tim Delapan yang dibentuk Presiden SBY
merekomendasikan Presiden menggunakan hak abolisinya untuk memerintahkan
penghentian kasus tersebut.
Serangan muncul lagi
tahun 2012. Setelah KPK mengobok-obok Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri dan
menetapkan mantan Kepala Korlantas Inspektur Jenderal Djoko Susilo sebagai
tersangka kasus korupsi proyek simulator berkendara, Polri pun marah. Kembali
perseteruan KPK dan Polri tak terelakkan. Aparat kepolisian kemudian mengepung
gedung KPK dengan alasan menangkap Novel Baswedan, penyidik KPK asal Polri,
yang sangat berperan dalam pengusutan kasus Korlantas.
Novel dituduh
menganiaya tersangka pencuri sarang burung walet tahun 2004. Inilah anehnya,
ke mana saja Polri selama ini? Mengapa kasus itu muncul setelah kasus
Korlantas dibongkar KPK? Publik kembali marah dan menjaga gedung KPK.
Peristiwa cicak versus buaya jilid 2 ini juga membuat Presiden SBY turun
tangan.
Lalu, serangan balik
terhadap KPK lagi-lagi muncul tahun 2015. Setelah Komjen Budi Gunawan yang
dicalonkan sebagai Kapolri dijadikan tersangka penerimaan gratifikasi, Wakil
Ketua KPK Bambang Widjojanto ditangkap dan ditersangkakan dalam kasus
perbuatan menyuruh memberi keterangan palsu dalam sengketa Pilkada Kotawaringin
Barat, Kalimantan Tengah. Lalu, Ketua KPK Abraham Samad dijadikan tersangka
dalam kasus pemalsuan dokumen. Kedua unsur pimpinan KPK itu akhirnya
dinonaktifkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar