Jumat, 12 Juni 2015

Kerawanan Pemilih Pilkada

Kerawanan Pemilih Pilkada

Achmad Fachrudin  ;  Pimpinan Bawaslu Provinsi DKI Jakarta Periode 2012-2017
REPUBLIKA, 09 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Salah satu problem krusial setiap pemilu, termasuk pilkada adalah terkait daftar pemilih. Pada Pemilu 2014, penyelenggara pemilu khususnya KPU diseret ke Mahkamah Konstitusi (MK) maupun Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) karena terkait kisruh daftar pemilih, khususnya daftar pemilih khusus (DPK) dan daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb).

Pada pilkada serentak yang diresmikan KPU pada 17 April 2015 dengan ditandai penyerahan data agregat kependudukan (DAK2) dari Kemendagri ke KPU, daftar pemilih tetap berpotensi menjadi sumber konflik, khususnya pihak yang kalah pilkada. Sejauh ini sikap dasar MK dan DKPP tetap akan memproses gugatan terkait Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) maupun Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) berangkat dari problem daftar pemilih.

Sengkarut daftar pemilih bersifat involusi karena menyelesaikan problemnya tidak komprehensif dari hulu, proses hingga hilir. Potensi kerawanan adalah terkait Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pilkada (DP-4). Muncul nya problem DP-4 terkait sistem pendataan pemilih oleh pemerintah/pemda (Disdukcapil) punya kelemahan struktural.

Akibatnya, DP-4 yang dihasilkan tidak/belum memenuhi prinsip komprehensif, mutakhir, dan akurat, banyak NIK invalid, dan lainnya. Realitas ini memicu ketegangan relasi KPU dengan pemerintah/Disdukcapil, saling menyalahkan terkait kualitas dan kuantitas DP-4. Agar tak terulang, KPU dan Disdukcapil sejak dini harus berkomunikasi, berkoordinasi, dan membahas mekanisme sinkronisasi data dan program (format) komputer yang digunakan. Jika perlu konsensus, KPU hanya akan menerima DP-4 dari Disdukcapil yang clear.

Selanjutnya, DP-4 yang masih bermasalah diserahkan ke KPU untuk dilakukan pencocokan dan penelitian (coklit) oleh Petugas Pendataan Data Pemilih (PPDP). Di sini muncul problem, yakni cukup banyak ditemukan PPDP tak melakukan coklit door to door secara maksimal dan akurat sehingga daftar pemilih sementara (DPS) juga berkualitas buruk.

Problem ini juga terkait minimnya bimbingan teknis dan honorarium PPDP.
Mengatasi problem ini, KPU antara lain menerapkan manajemen data pemilih dan Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih). Sidalih punya kelemahan aspek faktor pendukung, baik sarana maupun SDM. Untuk meningkatkan frekuensi bimbingan teknis dan honor PPDP, terkendala keterbatasan anggaran pemerintah/pemda (APBN/APBD).

Kelemahan lain Sidalih, banyak data pemilih ganda lintas provinsi/kota/ kabupaten dalam DPKTb yang tidak dibersihkan KPU karena khawatir salah hapus, problem saat upload, problem tidak matching antara DPT onlinedan DPT manual hasil rekapitulasi KPU terkait problem penginputan di tingkat PPS, dan problem inakurasi dan invaliditas data pemilih lainnya.

Menghadapi pilkada serentak, KPU harus memperbaiki manajemen data pemilih dan SDM admin maupun operator Sidalih. Juga koordinasi di antara jajaran KPU khu susnya yang punya data ganda lintas wilayah, memperbaiki kualitas data dan validitas pemilih.
Pada UU No 8 Tahun 2015 Pasal 59 ayat 2 terdapat nomenklatur baru DPTb.
Melalui Peraturan KPU (PKPU) No 4 Ta hun 2015 tentang Pemutakhiran Data dan Daftar Pemilih dalam Pemilihan Gu bernur dan Wakil Gubernur, bupati dan wakil bupati dan/atau wali kota dan wakil wali kota DPTb, dikembangkan menjadi dua kategori, yakni Daftar Pemilih Tambahan (DPTb)-1 dan DPTb-2.
Pengaturan ini hanya copy paste PKPU No 9 Tahun 2014 yang mengintrodusir pemilih dalam Daftar Pemilih Khusus (DPK) dan DPKTb. Nomenklatur DPTb- 1 mirip DPK, DPTb-2 mirip DPKTb.

Munculnya pengaturan nomenklatur DPKTb-1 dan DPKTb-2 sebagai upaya KPU agar tidak dituding membuat peraturan yang tak ada cantelan hukumnya.
Namun, KPU harus menyosialisasikan aturan DPTb-1 dan DPTb-2 ke masyarakat agar sesuai prosedur.

Karena posisinya sebagai ujung tombak KPU, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) harus memahami aturan ini agar tidak keliru catat dan mengadministrasikan pemilih yang masuk kategori DPKTb-1 dan DPKTb- 2 di tingkat TPS. Sosialisasi kepada pemilih dan bimbingan teknis kepada petugas KPPS mutlak dilakukan.

Terkait ketentuan PKPU No 4 Tahun 2015 Pasal 4 ayat (1) poin c yang mengatur penggunaan hak memilih bagi WNI harus berdomisili di daerah pemilihan paling kurang 6 bulan sebelum disahkannya DPS yang dibuktikan dengan KTP atau dokumen kependudukan instansi berwenang, pengaturan ini berpotensi menimbulkan penafsiran dan gugatan karena tak jelas payung hukumnya. Ketentuan ini jika tak dipagari dengan rambu hukum dan teknis administratif memadai, berpotensi dimanipulasi untuk memobilisasi pemilih.
Kelemahan lain, kurang mengantisipasi penduduk ber-KTP ganda khususnya di kota besar, mobilisasi pemilih di satu provinsi, pemilih di daerah yang menggelar pilkada serentak, tapi menjadi TKI atau pelajar di luar negeri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar