Senin, 22 Juni 2015

Kepemimpinan Spiritual

Kepemimpinan Spiritual

Komaruddin Hidayat  ;   Guru Besar Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah
KORAN SINDO, 19 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Jiwa dan raga kita ini ibarat sebuah negara. Jika pemimpinnya tidak beres, akan kacau dan sakit semuanya. Yang sering menimbulkan masalah dan gangguan keamanan adalah ketika terjadi pembangkangan salah satu bagian tubuh terhadap pimpinan atau terjadi pertengkaran antarsesama organ.

Tidak percaya? Coba dengarkan baik-baik dialog dan pertengkaran antara organ mulut dan perut ketika Anda makan enak atau terhidang makanan yang lezat, tetapi potensial membuat perut dan organ lain merintih protes.

Biasanya saking tergoda rasa enaknya, mulut tetap saja melahap makanan yang terhidang meskipun perut protes agar berhenti makan.

Belum lagi pencernaan perut protes ketika menerima kiriman asupan yang penuh lemak dan mulut mengunyahnya kurang lembut. Yang paling parah adalah ketika mulut kecanduan rokok atau narkoba, paru-paru serta syaraf-syaraf tubuh menjadi rusak. Mereka sudah protes dan mengaduh kesakitan, tetapi tidak mau juga berhenti mengonsumsi.

Konflik lain antarorgan tubuh juga terjadi ketika kaki merintih capai membawa tubuh berputar-putar belanja. Lebih-lebih kala sang majikan menikmati belanja di mal lantaran ada diskon harga.

Masih banyak contoh kejadian lain yang menggambarkan ketidakharmonisan dalam pemerintahan jiwa dan raga kita. Sayangnya kita enggan atau tidak jeli mendengarkan dialog dan pertengkaran yang sering kali terjadi karena terbiasa dengan konsep mendengar mesti suara yang bisa tertangkap telinga, konsep melihat mesti rupa yang harus kasatmata.

Perintah berpuasa yang datang dari Tuhan pencipta manusia bisa dipahami sebagai pedoman bagaimana menjalankan pemerintahan dalam dunia jiwa raga stabil dan seimbang. Bisa juga dipahami sebagai intervensi konstruktif demi menjaga kesehatan dan tercipta harmoni hubungan fungsional antarsemua organ fisik maupun nonfisik.

Mari kita lihat dan renungkan. Kegiatan kita sehari-hari mungkin lebih didominasi tuntutan untuk memenuhi kebutuhan dan kenikmatan fisik atau jasmani. Sehat jasmani ini sangat penting untuk mendukung kegiatan-kegiatan lain yang bersifat mental intelektual. Namun sering kali kita tidak mampu menjaga stabilitas dan keseimbangan serta keadilan dalam memperlakukan pembagian tugas.

Nalar sebagai pemimpin pengambil keputusan dan mengontrol kinerja pasukan serta anak buah kenyataannya tidak selalu ditaati. Akibatnya yang terjadi adalah sakit, cepat letih, hidup tidak produktif serta melenceng dari arah dan tujuan yang didambakan. Kepemimpinan nalar saja tidak cukup jika tidak dibantu konsultan yang membisikkan nilai dan orientasi spiritual. Sebuah seruan untuk setia pada jalan dan cita-cita yang melebihi kenikmatan fisikal, yaitu nilai-nilai luhur kemanusiaan yang muncul dari kesadaran dan penghayatan Ilahi yang sakral dan transenden. Namun pada praktiknya bisikan dan seruan spiritual itu pun tidak didengarkan dan dipatuhi.

Nah, perintah berpuasa ibarat dalam dunia komputer merupakan reinstallment atau reset. Tujuannya agar berbagai software yang telah diprogram dalam komputer diri kita bekerja kembali dengan normal dan sehat, di mana kekuatan dan visi spiritual harus mengambil kepemimpinan. Berbagai pembangkangan dan penyimpangan akibat hegemoni fisikal ditata ulang. Ritme hidup dijungkirbalikkan. Waktu malam yang biasanya untuk tidur nyenyak malah disuruh bangun untuk makan. Bahkan sekian televisi menyajikan kuliah keagamaan. Kalau saja peraturan ini bukan datang dari Allah tak akan ditaati dan bertahan lama dari abad ke abad.

Lalu pagi dan siang hari yang biasanya heboh makan minum memenuhi tuntutan fisik tiba-tiba distop. Kalau bukan karena kesadaran dan komitmen iman, tak mungkin orang mau melakukannya. Bagi yang tidak mau berpuasa, banyak jalan untuk makan dan minum. Banyak restoran yang buka. Pemerintah pun tidak mencampuri apakah warganya benar-benar puasa atau tidak. Itu wilayah sangat pribadi. Hanya Allah dan yang bersangkutan yang mengetahui. Jadi, ibadah puasa melatih seorang yang beriman untuk mencapai martabat kemerdekaan yang sejati dalam beribadah. Benar-benar karena Allah tanpa paksaan dan pamer serta pencitraan.

Ketika berpuasa seseorang telah menempatkan referensi spiritual di atas semua aktivitas. Dengan ungkapan lain, puasa mengokohkan posisi spiritual leadership untuk memimpin dan mengarahkan aktivitas intelektual, fisikal, dan emosional. Ketika spiritualitas yang memegang tongkat komando, dampaknya ternyata sangat dahsyat dan mudah diamati. Jangankan yang haram, untuk halal pun seseorang sanggup menghindarinya seperti makan minum di siang hari. Pikiran, ucapan, dan tindakan juga terkontrol.

Seseorang selalu ingin menjaga martabat dan kebersihan diri. Semuanya ini semata karena Allah, tetapi dampaknya untuk manusia. Yang merusak puasa bukan hanya makan dan minum di siang hari, tetapi ucapan dan perilaku yang menyakiti serta merugikan orang lain. Alangkah indahnya kalau kepemimpinan spiritual ini efektif tidak hanya dijalankan pada bulan Ramadan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar