Kepemimpinan Spiritual
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah
|
KORAN SINDO, 19 Juni 2015
Jiwa dan raga kita ini
ibarat sebuah negara. Jika pemimpinnya tidak beres, akan kacau dan sakit
semuanya. Yang sering menimbulkan masalah dan gangguan keamanan adalah ketika
terjadi pembangkangan salah satu bagian tubuh terhadap pimpinan atau terjadi
pertengkaran antarsesama organ.
Tidak percaya? Coba dengarkan
baik-baik dialog dan pertengkaran antara organ mulut dan perut ketika Anda
makan enak atau terhidang makanan yang lezat, tetapi potensial membuat perut
dan organ lain merintih protes.
Biasanya saking
tergoda rasa enaknya, mulut tetap saja melahap makanan yang terhidang
meskipun perut protes agar berhenti makan.
Belum lagi pencernaan
perut protes ketika menerima kiriman asupan yang penuh lemak dan mulut
mengunyahnya kurang lembut. Yang paling parah adalah ketika mulut kecanduan
rokok atau narkoba, paru-paru serta syaraf-syaraf tubuh menjadi rusak. Mereka
sudah protes dan mengaduh kesakitan, tetapi tidak mau juga berhenti
mengonsumsi.
Konflik lain
antarorgan tubuh juga terjadi ketika kaki merintih capai membawa tubuh
berputar-putar belanja. Lebih-lebih kala sang majikan menikmati belanja di
mal lantaran ada diskon harga.
Masih banyak contoh
kejadian lain yang menggambarkan ketidakharmonisan dalam pemerintahan jiwa
dan raga kita. Sayangnya kita enggan atau tidak jeli mendengarkan dialog dan
pertengkaran yang sering kali terjadi karena terbiasa dengan konsep mendengar
mesti suara yang bisa tertangkap telinga, konsep melihat mesti rupa yang
harus kasatmata.
Perintah berpuasa yang
datang dari Tuhan pencipta manusia bisa dipahami sebagai pedoman bagaimana
menjalankan pemerintahan dalam dunia jiwa raga stabil dan seimbang. Bisa juga
dipahami sebagai intervensi konstruktif demi menjaga kesehatan dan tercipta
harmoni hubungan fungsional antarsemua organ fisik maupun nonfisik.
Mari kita lihat dan
renungkan. Kegiatan kita sehari-hari mungkin lebih didominasi tuntutan untuk
memenuhi kebutuhan dan kenikmatan fisik atau jasmani. Sehat jasmani ini
sangat penting untuk mendukung kegiatan-kegiatan lain yang bersifat mental
intelektual. Namun sering kali kita tidak mampu menjaga stabilitas dan
keseimbangan serta keadilan dalam memperlakukan pembagian tugas.
Nalar sebagai pemimpin
pengambil keputusan dan mengontrol kinerja pasukan serta anak buah
kenyataannya tidak selalu ditaati. Akibatnya yang terjadi adalah sakit, cepat
letih, hidup tidak produktif serta melenceng dari arah dan tujuan yang
didambakan. Kepemimpinan nalar saja tidak cukup jika tidak dibantu konsultan
yang membisikkan nilai dan orientasi spiritual. Sebuah seruan untuk setia pada
jalan dan cita-cita yang melebihi kenikmatan fisikal, yaitu nilai-nilai luhur
kemanusiaan yang muncul dari kesadaran dan penghayatan Ilahi yang sakral dan
transenden. Namun pada praktiknya bisikan dan seruan spiritual itu pun tidak
didengarkan dan dipatuhi.
Nah, perintah berpuasa
ibarat dalam dunia komputer merupakan reinstallment
atau reset. Tujuannya agar berbagai software
yang telah diprogram dalam komputer diri kita bekerja kembali dengan normal
dan sehat, di mana kekuatan dan visi spiritual harus mengambil kepemimpinan.
Berbagai pembangkangan dan penyimpangan akibat hegemoni fisikal ditata ulang.
Ritme hidup dijungkirbalikkan. Waktu malam yang biasanya untuk tidur nyenyak
malah disuruh bangun untuk makan. Bahkan sekian televisi menyajikan kuliah
keagamaan. Kalau saja peraturan ini bukan datang dari Allah tak akan ditaati
dan bertahan lama dari abad ke abad.
Lalu pagi dan siang
hari yang biasanya heboh makan minum memenuhi tuntutan fisik tiba-tiba
distop. Kalau bukan karena kesadaran dan komitmen iman, tak mungkin orang mau
melakukannya. Bagi yang tidak mau berpuasa, banyak jalan untuk makan dan
minum. Banyak restoran yang buka. Pemerintah pun tidak mencampuri apakah
warganya benar-benar puasa atau tidak. Itu wilayah sangat pribadi. Hanya Allah
dan yang bersangkutan yang mengetahui. Jadi, ibadah puasa melatih seorang
yang beriman untuk mencapai martabat kemerdekaan yang sejati dalam beribadah.
Benar-benar karena Allah tanpa paksaan dan pamer serta pencitraan.
Ketika berpuasa
seseorang telah menempatkan referensi spiritual di atas semua aktivitas.
Dengan ungkapan lain, puasa mengokohkan posisi spiritual leadership untuk
memimpin dan mengarahkan aktivitas intelektual, fisikal, dan emosional.
Ketika spiritualitas yang memegang tongkat komando, dampaknya ternyata sangat
dahsyat dan mudah diamati. Jangankan yang haram, untuk halal pun seseorang
sanggup menghindarinya seperti makan minum di siang hari. Pikiran, ucapan,
dan tindakan juga terkontrol.
Seseorang selalu ingin
menjaga martabat dan kebersihan diri. Semuanya ini semata karena Allah,
tetapi dampaknya untuk manusia. Yang merusak puasa bukan hanya makan dan
minum di siang hari, tetapi ucapan dan perilaku yang menyakiti serta
merugikan orang lain. Alangkah indahnya kalau kepemimpinan spiritual ini
efektif tidak hanya dijalankan pada bulan Ramadan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar