Kenaikan Harga Jelang Puasa
Purbayu Budi Santosa ; Guru
Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas
Diponegoro, Semarang
|
KORAN SINDO, 16 Juni 2015
Beberapa hari jelang
bulan puasa Ramadan, terjadi lonjakan harga beberapa komoditas kebutuhan
pokok. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Mei 2015 terjadi kenaikan
laju inflasi sebesar 0,5%. Kenaikan paling drastis dialami oleh komoditas
cabai merah yang mencapai 22,22% dan memiliki andil 0,1% terhadap inflasi
dengan bobot 0,44%. Selain cabai merah, daging ayam juga mengalami kenaikan
yang besar. Demikian pula telur ayam mengalami tekanan harga dengan memiliki
andil sebesar 0,04% dan bobot 0,6%.
Memasuki Juni kenaikan
harga kebutuhan pokok terus berlanjut. Kenaikan beras, cabai merah, daging
ayam, telur, ayam, minyak goreng, tepung terigu, bawang merah, bawang putih,
gula pasir, dan masih banyak komoditas lainnya. Kenaikan harga-harga barang
sebelum datangnya bulan puasa sepertinya pelari yang mencuri “start “ karena
semestinya kenaikan harga belum terjadi sebelum datang bulan Ramadan.
Bank Indonesia (BI)
memperkirakan kisaran inflasi pada 2015 antara 4-5% diperkirakan akan
terlampaui. Data inflasi menurut BI pada Maret 2015 setinggi 6,38%, April
setinggi 6,79%, dan pada Mei 2015 menjadi 7,15%. Belum lagi kenaikan inflasi
pada bulan puasa masih akan tetap tinggi. Tanpa pengendalian terhadap
kenaikan harga, takutnya inflasi selama 2015 akan menembus batas psikologis
yaitu 10%.
Sebagian pihak
berpendapat kenaikan harga jelang bulan puasa adalah keadaan yang biasa
karena berkaitan dengan tradisi acara Ruwahan. Ruwahan yang dalam bahasa Arab
dilaksanakan pada bulan Syakban adalah tradisi selamatan yang dilaksanakan di
rumah-rumah menjelang datang bulan suci Ramadan. Tradisi ini marak di sekitar
Semarang, Kudus, Demak, Jepara, dan lainnya untuk mendoakan sanak famili yang
telah meninggal dunia. Sudah pasti dalam tradisi ini tuan rumah menyediakan
makanan bagi para tetangga yang diundang untuk selamatan sehingga permintaan
melonjak dari biasanya.
Tetapi, ada juga yang
berpendapat, musim kering yang mulai dialami Indonesia pada Mei lalu harus
diwaspadai pemerintah. Dampak dari perubahan cuaca tersebut telah mengganggu
produksi beberapa komoditas seperti cabai, bawang, dan berbagai komoditas
lain. Pasokan yang menurun sementara terjadi kenaikan permintaan, menurut
hukum ekonomi, akan menaikkan harga komoditas.
Dampak kenaikan
beberapa harga komoditas dapat memicu kenaikan harga komoditas lain karena
pengaruh ada informasi kenaikan harga komoditas.
Keadaan ekonomi
Indonesia di mana peran pedagang besar begitu dominan, kesempatan emas ini
tidak disiasiakan mengingat pemerintah tidak mempunyai kekuasaan dengan
regulasinya untuk mengontrol batas harga tertinggi dan terendah terhadap
suatu komoditas, apalagi komoditas pokok. Akibatnya, harga terus saja
bergejolak, hanya sebagian kecil pihak yang diuntungkan, sementara masyarakat
kebanyakan termasuk di dalamnya petani produsen kurang menikmati.
Badan Penyangga Pangan
Pandangan kenaikan
harga yang besar selalu terjadi sekitar medio bulan puasa, mestinya dapat
dicegah sekiranya telah dilakukan antisipasi jauh hari terhadap fenomena yang
selalu saja terjadi. Meski perlu dilakukan studi mengenai fenomena umat
Islam, apa memang benar selama bulan puasa terjadi kenaikan konsumsi.
Masalahnya pada bulan puasa umat Islam pada siang hari tidak makan dan minum.
Sebaliknya, melakukannya pada waktu buka puasa sampai jelang waktu subuh.
Semestinya permintaan komoditas menurun, mengapa justru dikatakan menaik?
Yang tidak mengenakkan, ada adagium bahwa waktu buka puasa adalah pembalasan
karena siang harinya puasa. Kalau itu yang terjadi, umat Islam perlu merenung
apakah salah satu tujuan puasa adalah begitu?
Fenomena di balik
sindiran tersebut kiranya perlu dilihat secara mendalam, kemungkinan apa saja
yang dapat terjadi.
Pertama , kesempatan
ini dipakai oleh para spekulan untuk mengeruk keuntungan saat mayoritas
masyarakat Indonesia sedang melaksanakan ibadah puasa. Karena mayoritas
masyarakat menganggap kenaikan harga pada medio Ramadan adalah wajar,
kesempatan emas dilakukan dengan cara kerja sama dengan berbagai pihak untuk
menaikkan harga. Teori perburuan rente (rent-seeking
theory) kiranya cocok dalam menerangkan hal ini, di mana berbagai pihak
bersekongkoluntukmencarikeuntungan dan merugikan masyarakat banyak.
Kedua , kalau saja
memang pengaruh musim menyebabkan persediaan barang merosot, mestinya perlu
ada lembaga penyangga pangan, yang berfungsi menstabilkan pasokan barang dan
menentukan kisaran harga terendah dan tertinggi. Kiranya pemerintah dapat
belajar dari manajemen pengelolaan pangan pada masa pemerintahan lalu. Harus
diakui badan penyangga pangan pada zaman Presiden Soeharto yang dilakukan
oleh Bulog dapat berhasil dengan baik meski harus diakui juga aneka warna
korupsi ikut menyertainya.
Pepatah mengatakan
ambillah apinya, jangan abunya. Ambilan apa yang baik dari Bulog pada masa
lalu dan buanglah yang jelek. Prinsip pengelolaan lembaga penyangga pangan
meski sekarang memakai “good corporate
governance“. Mungkin dalam bahasa Indonesianya adalah tata kelola
perusahaan yang baik sehingga prinsip akuntabilitas, transparansi, memprediksi
dengan baik (predictability) dan
partisipasi dapat dijalankan sebagaimana mestinya.
Negara-negara tetangga
seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, bahkan negara besar seperti
Jepang, Tiongkok, dan Amerika Serikat begitu peduli dengan pemenuhan
kebutuhan pokok rakyatnya dengan harga yang wajar. Stabilkan harga-harga
kebutuhan pokok dengan merevitalisasi badan penyangga pangan maupun berbagai
langkah lainnya yang relevan dalam memajukan pertanian Indonesia karena
sangat ironis negara Indonesia yang dijuluki negara agraris, tetapi selalu
bermasalah dengan komoditas pertanian (termasuk pangan). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar