Harga
Komoditas di Tangan Spekulan
Augustinus Simanjutak ; Dosen Etika Bisnis Program Manajemen
Bisnis FE Universitas Kristen Petra Surabaya
|
JAWA POS, 08 Juni 2015
DALAM kegiatan bisnis dan ekonomi yang
beradab, sebenarnya tidak pernah dan tak akan pernah terjadi kebebasan yang
mutlak dalam penentuan harga sebuah produk. Setiap pihak yang terlibat dalam
mekanisme pasar pasti dibatasi oleh peradaban dan kewajaran dalam berdagang.
Hanya, jika peradaban sebagian pelaku bisnis berada di zona merah (penuh
mafia dan spekulan), penentuan harga bakal anarkistis (merugikan banyak
pihak).
Transaksi bisnis yang mengambil untung dari
kerugian orang lain tidak etis. Transaksi itu biasanya dilakukan oleh pihak
yang menginginkan untung besar lewat sistem borong (timbun) dan menjual
dengan selisih harga yang tinggi. Misalnya, menjelang kenaikan harga bahan
bakar minyak (BBM), ada oknum yang langsung memborong BBM untuk mengambil
untung dari selisih harga lama dan baru. Spekulan BBM tidak selalu bisa
dideteksi aparat hukum, terutama yang kadar penimbunannya tidak ekstrem.
Dalam bisnis properti, para spekulan rumah
juga mendominasi transaksi demi meraih hasil jual yang jauh lebih tinggi.
Akibatnya, masyarakat ekonomi menengah dan bawah semakin sulit memiliki rumah
yang harganya terus membubung tinggi. Bahkan, menurut riset konsultan
properti Knight Frank (2014), kenaikan harga rumah di Indonesia berada pada
posisi nomor dua tertinggi di Asia, yakni 7,4 persen dari kuartal II 2013
hingga II 2014.
Posisi pertama diduduki Malaysia dengan
kenaikan 8 persen. Kondisi itulah yang dikhawatirkan bisa memicu gelembung (bubble) harga rumah, yang
sewaktu-waktu bisa pecah dan memicu krisis ekonomi seperti kasus subprime mortgage di Amerika Serikat
(2007–2008).
Di sektor pangan (2011), pasokan cabai pernah
menurun drastis di pasaran akibat ulah spekulan sehingga harganya sampai
menyentuh Rp 100.000 per kilogram. Pada 2009, harga gula di pasar tradisional
yang normalnya Rp 6.500–Rp 7.500 per kilogram tiba-tiba melonjak di kisaran
Rp 10.000 per kilogram. Lonjakan harga gula yang ”pahit” itu pun diduga
akibat ulah spekulan.
Di sektor nonriil, aksi borong juga sering
mewarnai pasar saham di bursa. Ketika harga saham masih rendah atau saat IPO
(initial public offering), banyak
pelaku pasar yang langsung memborongnya. Saat harga saham sudah tinggi,
mereka menjualnya kembali hingga meraih untung (capital gain) yang setinggitingginya dalam waktu singkat (buy low, sell high). Akibatnya, indeks
harga saham gabungan (IHSG) terus berfluktuasi dan berpotensi membentuk
economic bubble yang sewaktu-waktu bisa pecah dan memicu krisis ekonomi.
Itulah beberapa catatan terkait gejala bisnis
spekulan yang semakin ngetren di era bisnis postmodern. Ideologinya ialah
untung cepat dan besar meskipun harus merugikan orang lain. Mereka tidak
menyadari bahwa penimbunan bisa memicu kelangkaan dan kenaikan harga barang
secara liar. Padahal, menurut James Kellock, bisnis spekulasi justru
menurunkan produktivitas para pelakunya karena hanya memainkan harga produk
yang sudah ada.
Peran dan Kendali
Negara
Para spekulan umumnya telah kehilangan minat
untuk hal-hal yang baik di masyarakat (antisosial). Mereka senang berperilaku
anarkistis soal harga. Karena itu, peran negara dibutuhkan lewat penentuan
harga acuan, terutama harga komoditas yang penting bagi masyarakat. Jika
negara membiarkan harga ke mekanisme pasar, para spekulan bakal mengambil
alih penentuan harga. Pemerintah perlu bekerja sama dengan banyak pengusaha
untuk mewujudkan harga yang adil.
Lalu, pemerintah perlu menindak tegas setiap
pedagang bahan pangan yang menimbun atau memainkan harga. Penetapan harga
acuan tidak mengarah pada ekonomi sosialis yang otoriter, tetapi sebuah
langkah kebijakan sebagai penganut sistem ekonomi campuran ( mixed economy).
Yaitu, menciptakan keseimbangan antara peran negara dan swasta dalam kegiatan
perdagangan. Tujuannya ialah melindungi kepentingan masyarakat tanpa perlu
menasionalisasi industri/sektor produksi.
Pemerintah wajib berperan besar dalam hal
regulasi harga dan penataan stok barang serta memperlancar
distribusi/pemasaran. Dari dulu (sejak lahirnya UUD 1945), kita memang
menganut sistem ekonomi campuran yang tidak melepas nasib kehidupan rakyat ke
mekanisme pasar. Hal itu sesuai pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan:
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
Juga ayat (3) yang berbunyi: Bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kita selama ini
menafsir cabang-cabang produksi yang penting itu hanya terkait produk BUMN/
BUMD seperti energi dan air. Akibatnya, pengendalian harga oleh pemerintah
hanya berlaku untuk produk BUMN/D.
Sebab, produk itulah yang dianggap
menguasai hajat hidup orang banyak.
Padahal, bahan pangan pun sudah berdampak
besar bagi kehidupan masyarakat. Jadi, wajar saja apabila harga komoditas
yang penting bagi rakyat dikendalikan oleh negara melalui penerapan harga
acuan. Apalagi, kesenjangan antara volume bahan pangan dan kebutuhan
masyarakat masih tinggi. Produk bahan pangan bagi rakyat belum melimpah ruah
di pasar. Jadi, selain terus melakukan operasi pasar (jangka pendek) serta
menambah lahan pertanian dan peternakan (jangka panjang), negara wajib
memperkuat regulasi dan intervensi atas harga komoditas demi kesejahteraan
seluruh rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar