Erdogan,
The Turk
Muhammad Taufik ; Analis Skenario Politik di Swiss
|
KORAN SINDO, 06 Juni 2015
Menarik untuk menyimak
salah satu kutipan dialog Mayor Hassan (perwira militer Turki yang diperankan
Yilmas Erdogan) dengan Lekol Cyrill Hughes (perwira Inggris dimainkan oleh
Jay Courtney) dalam film The Water
Diviner.
Film yang dibintangi
Russell Crowe dan diangkat dari novel karya Andrew Anastasios dan Dr Meaghan
Wilson dengan judul serupa berkisah tentang petualangan seorang ayah mencari
jenazah tiga anaknya yang tewas dalam Perang Gallipoli, 1915.
Sang ayah, Joshua
Connor (diperankan Russell Crowe) seorang petani dan penggali sumur asal
Australia, harus menghadapi kenyataan pahit ketika menemukan istrinya, Eliza,
bunuh diri setelah frustrasi kehilangan ketiga putranya dalam perang akibat
invasi ANZAC (Australian and New
Zealand Army Corps) melawan Ottoman Empire di Turki tahun 1915-1916.
Joshua yang masih berkabung akhirnya nekat berlayar ke Istanbul. Petani dan
sekaligus pencari air itu berjanji membawa pulang jenazah ketiga putranya
untuk dimakamkan bersama di samping pusara ibunya.
Petikan percakapan
Mayor Hassan dengan Letkol Cyrill Hughes muncul setelah permintaan Joshua
Connor ditolak untuk ikut mencari tengkorak ketiga anaknya yang dianggapnya
telah tewas dalam Perang di Gallipoli. Connor masuk ke daerah terlarang yang
ketika itu tengah diberesi Inggris dan Turki untuk menggali bongkahan tanah
yang menimbun sisa-sisa ribuan serdadu kedua pihak yang tewas mengenaskan.
Letkol Hughes memprotes sikap Mayor Hassan yang cenderung membiarkan Connor
berada di bekas zona perang itu. Kata Hughes, ”Kita berdua paham kenapa
peraturan itu ada. Tetapi sekarang, mengapa kita mesti mengubahnya karena
seorang ayah (yang mencari tengkorak tiga anaknya) meskipun dia tidak bisa
mengurus dirinya sendiri”. Mayor Hassan membalas keluhan koleganya yang
dahulu menjadi musuhnya dengan berucap, ”Karena hanya dia satusatunya ayah
yang datang kemari (Gallipoli) mencari jenazah ketiga anaknya”.
Tak ada yang luar
biasa keluar dari mulut Mayor Hassan. Tetapi kalimat itu menjadi sangat
bermakna dan sarat ”courageous”
karena diucapkan oleh seorang Turk . Ucapan seorang perwira tinggi militer
Ottoman yang dilukiskan sangat mencintai negerinya, tetapi juga memiliki
impian menyaksikan Turki yang baru.
Mungkin tidak persis
sama dengan bayangan Mayor Hassan tentang Turki yang sekarang. Tetapi, Turki
modern saat ini telah menjelma menjadi salah satu negara yang paling
diperhatikan ucapan dan tindakannya.
Dunia misalnya dibuat
terperangah ketika hampir sejumlah negara menolak untuk menerima pengungsi
Rohingya, Turki justru mengirimkan kapal perangnya guna menyelamatkan mereka
di Laut Andaman. PM Turki Ahmet Davutoglu bahu membahu dengan Presidennya
Recep Tayyip Erdogan mengangkat citra Turki ke level tertinggi dalam melakoni
drama pengungsi Rohingya. Turki berani mengambil tanggung jawab itu, bukan
karena merasa negara besar. Tetapi karena paham bahwa kebesaran sebuah negara
tidak akan banyak berarti jika humanity terbengkalai atau sengaja diabaikan
oleh kedaulatan artifisial. Sentimen ini identik dengan emosi Mayor Hassan
tatkala menyaksikan kepedihan dan kegigihan seorang Joshua Connor mencari
jenazah ketiga putranya yang tewas dalam Perang Gallipoli.
Ucapan ”menggelegar”
Presiden Turki Erdogan membahana ketika reaksi penolakan pengungsi Rohingya mendominasi
sikap sebagian negara di Asia Tenggara. Kata Erdogan, ”Di mana ada lantunan
azan, di situ seharusnya aku berpijak”. Ucapan seorang Erdogan yang kira-kira
kemasan balagah -nya bisa ditafsirkan seperti ini, ”Sesama muslim, selayaknya
saling membantu dan menerima saudara mereka yang membutuhkan naungan (tempat
berlindung)”.
Bukan pertama kalinya
Turki melakukan hal ini. Erdogan pernah memaksa PM Israel Benyamin Netanyahu
meminta maaf atas serbuan tentara zionis di atas kapal ”MV Mavi Marmara” milik
Turki yang berlayar bersama lima armada lainnya di perairan Mediterania
menuju Gaza pada 31 Mei 2010. Dalam pembicaraan telepon penuh ketegangan
selama setengah jam pada 22 Maret 2013, Netanyahu meminta maaf dan bersedia
memberikan kompensasi senilai 20 Juta USD akibat kerugian yang ditimbulkan
dari penyerbuan tersebut. Bocoran percakapan menyebutkan, jika Israel tidak
melakukan apa yang diminta Ankara terkait insiden Marmara, Turki akan
mengambil langkah keras terhadap Tel Aviv. Tak ada yang meragukan ucapan itu
ketika keluar dari mulut seorang Turk .
Dalam catatan Carol
Migdalovits, Israel`s Blockade of Gaza,
the Mavi Marmara Incident, and Its Aftermath, Erdogan disebutkan
mengeluarkan pernyataan retorika anti-Israel paling pedas. Erdogan menuding
tindakan Israel patut menerima every
kind of curse (segala bentuk kutukan). Erdogan yang ketika itu menjabat
PM Turki membandingkan ”Zionist star” (bintang Daud) dengan swastika Nazi.
Ini mungkin pernyataan anti-Israel paling tegas yang pernah tercatat dalam sejarah
hubungan kedua negara.
Kini, Erdogan
menciptakan mimpi-mimpi seperti impian Mayor Hassan. Jika Hassan memimpikan
Kemal Attaturk memimpin Turki keluar dari Ottoman, maka Erdogan membayangkan
Turki yang lebih kuat di tangannya. Sebagai Presiden Turki, Erdogan tak lagi
ingin seremoni dan hanya menjadi simbol Kepala Negara. Erdogan ingin
mendorong Turki lebih dekat ke sistem presidensial. Tetapi mengambil
kekuasaan eksekutif dari tangan PM Ahmet Davutoglu, sebuah jabatan yang
pernah dipikulnya selama 12 tahun (2003-2014), adalah pertarungan politik
penuh risiko bagi Erdogan dan partai politik yang dipimpinnya, AK. Baginya,
posisi presiden harus diberikan kekuasaan lebih besar. Erdogan mungkin
melihat betapa Turki menghadapi tanggung jawab lebih besar yang terbentang di
depan.
Tak ada yang meragukan
tekad dan ambisi Erdogan. ”You will not
take me away from these stages, you will not silence me !” tegas Erdogan
dalam satu rally politik di Kota Kirikkale. Mobilisasi dukungan itu
diperlukan Erdogan menjelang penentuan suara di parlemen pada tanggal 7 Juni
2015 yang akan memastikan jalan panjang selanjutnya. Dibutuhkan dua pertiga
suara parlemen untuk mengubah konstitusi kekuasaan presiden yang terbatas
tanpa perlu melalui referendum.
Erdogan yang disebut
seperti singa oleh para pemujanya telah bersuara. Titah yang sulit ditarik
kembali, karena ia seorang Turk. Semoga Erdogan tidak salah langkah. Dunia
memerlukan Turki yang kuat tapi demokratis. Sebuah Turki yang berani untuk
tampil sebagai teladan kemanusiaan di tengah langkah banyak negara yang
tanggung. Jika Ottoman hanyalah sejarah, setidaknya sejarah pun mengajarkan
satu hal: jangan mengulang kesalahan yang sama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar