Engeline dan Mati Dini GN-Aksa
Reza Indragiri Amriel ; Alumnus Psikologi Forensik The University of
Melbourne,
Penulis
Buku "Ajari Ayah, Ya Nak"
|
KORAN SINDO, 26 Juni 2015
Duka bercampur murka.
Begitu reaksi masyarakat menyaksikan episode demi episode kasus Engeline,
gadis cilik yang wajahnya memantulkan kecantikan surgawi. Tragedi yang
Engeline alami tak ayal memberikan setitik noda bagi Denpasar sebagai wilayah
yang menerima penghargaan tertinggi kota layak anak. Namun, kerja tangkas dan
lekas yang Polda Bali serta berbagai elemen masyarakat peragakan memberikan jaminan
nyata bahwa kepergian Engeline telah menjadi penginspirasi bagi semua pihak
bahwa keterpaduan langkah merupakan kunci penanganan masalah-masalah
kejahatan terhadap anak.
Seketika pula
terkenang beberapa lembar kertas yang keluar dari tempat Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono bekerja setahun silam. Dokumen itu bernama Inpres No 5
Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Antikekerasan Seksual terhadap Anak
(GN-Aksa).
Inpres GN-Aksa secara
khusus memerintahkan Kemenko Kesra untuk mengoordinasi pembuatan kebijakan,
penyelenggaraan evaluasi, dan penyampaian laporan kepada Presiden setiap tiga
bulan sekali atau sewaktu-waktu dibutuhkan.
Inpres tersebut
ditujukan kepada para menteri, jaksa agung, kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia, para kepala lembaga pemerintah nonkementerian, para gubernur, dan
para bupati/wali kota.
Sejauh mana
pelaksanaan inpres tersebut, apalagi jika kekerasan dimekarkan cakupannya
sehingga tidak sebatas pada kekerasan seksual, tidak tersedia data memadai.
Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah inpres tersebut dikeluarkan pada
masa-masa terakhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sehingga
terjadi keterputusan kebijakan dan pemantauan oleh Pemerintahan Presiden Joko
Widodo. Atau, bisa pula karena kini tidak ada lagi Kementerian Koordinator
Kesejahteraan Rakyat (Kemenko Kesra). Walau di kabinet Presiden Jokowi ada
kementerian pengganti yakni Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan
Kemanusiaan dan Kebudayaan, seolah tetap ada tugas-tugas Kemenko Kesra yang
tercecer saat ”pindah” ke Kemenko PMK.
Apa pun alasannya,
pemerintahan Presiden Jokowi seharusnya meneruskan upaya implementasi Inpres
GN-Aksa. Terlebih karena salah satu butir Nawacita mencantumkan perlindungan
terhadap anak sebagai prioritas kerja pemerintah saat ini.
Disayangkan bahwa
beberapa kementerian dan lembaga terkait, khususnya instansi yang menjadi focal point untuk perlindungan anak,
belum menunjukkan kinerja maksimal yang sebanding dengan urgensi
dikeluarkannya inpres tersebut. Di luar sana bahkan sudah sejak beberapa
waktu lalu mendengung usulan agar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak masuk dalam daftar kocok ulang kabinet.
Fakta-fakta terkini
menjadi indikator ukuran stamina kita dalam menekan kasuskasus kejahatan
seksual terhadap anak. Indonesia, sebagai misal, kini dikabarkan telah
menggeser posisi Thailand dan Kamboja sebagai salah satu tujuan utama wisata
seks anak di dunia. Turunnya peringkat Thailand dalam daftar tujuan wisata
seks anak merupakan hasil kerja masif termasuk optimalisasi peran satgas
antiperdagangan orang di Negeri Gajah Putih serta kemitraan yang solid dengan
negara-negara yang diketahui menjadi wilayah asal para pedofil internasional.
Salah satu media sosial terbesar di dunia juga mengumumkan bahwa dengan
7000-an laporan pada 2012, Indonesia menempati peringkat pertama untuk
pornografi anak dan child abuse
material via media daring di Asia.
Sekian banyak data
yang dikeluarkan lembaga-lembaga perlindungan anak juga memperlihatkan tren
kekerasan terhadap anak yang terus mendaki. Tentu, data-data semacam di atas
tidak dapat secara mutlak dipandang sebagai keburukan belaka. Jumlah kejadian
yang terus bertambah justru mengindikasikan semakin banyak
inisiatif-inisiatif advokasi dalam isu ini. Individu dan lembaga pemerhati
anak yang berkhidmat pada bidang perlindungan anak, tentunya, menjadi mitra
yang baik guna memaksimal kerja Polri.
Menyikapi sayupnya GN-Aksa,
sesuai fungsinya, DPR memiliki peran strategis untuk melakukan pemantauan
terhadap kinerja eksekutif. Inpres GN-Aksa, sebagai produk kebijakan
eksekutif, juga termasuk menjadi bahan cermatan DPR. Karena Inpres GN-Aksa
ditujukan kepada seluruh kepala daerah, sudah seharusnya DPRD di seluruh
daerah juga melakukan pemantauan intensif terhadap kerja kepala daerah dan
dinas-dinas sosial setempat di bidang pencegahan dan penanganan anak dari
kejahatan seksual maupun kejahatan-kejahatan lainnya.
Secara khusus,
kementerian maupun lembaga mitra nonkementerian yang diprioritaskan dan fokus
pemantauan: Pertama, Kemenko PMK. Kementerian ini perlu diingatkan untuk
memberikan penjelasan tentang penindaklanjutan Inpres GN-Aksa oleh
pemerintahan Presiden Joko Widodo, baik evaluasi maupun rencana penguatan.
Kedua, Polri.
Organisasi Tribrata seyogianya dapat menyampaikan penjelasan tentang kesiapan
Polri dalam menangani kasus-kasus kejahatan terhadap anak yang semakin lama
semakin menggelisahkan. Salah satu indikator kesiapan itu adalah statistik
ketersediaan sarana dan personel Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA)
di seluruh polres. Sudah saatnya Polri menjadikan kerja perlindungan anak
sebagai salah satu parameter inti kualitas kinerjanya.
Ketiga, Komisi
Perlindungan Anak Indonesia. Lembaga ini perlu diberikan kesempatan untuk
memberikan penjelasan untuk menangkis berbagai sinyalemen publik mengenai
friksi dan konsistensi kerja KPAI sesuai tugas pokok dan fungsinya. Masalah
tersebut perlu diurai guna memaksimalkan peran KPAI.
Di samping institusi
pemerintahan, perlu pula dilibatkan lembaga-lembaga nonpemerintah yang
berkhidmat dan berpotensi kuat pada bidang pemberantasan kejahatan terhadap
anak. Bentuk perlibatan itu mencakup penyusunan rancangan kerja strategis
penanganan holistik kasus kejahatan terhadap anak oleh unsur-unsur
nonpemerintah. Allahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar