Belum Waktunya Merevisi Undang-Undang KPK
Saldi Isra ; Guru Besar Hukum Tata Negara Direktur Pusat
Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
|
MEDIA INDONESIA, 22 Juni 2015
SULIT dimentahkan, sejak Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) mampu memperlihatkan geliatnya dalam desain besar pemberantasan
korupsi, semua langkah politik legislasi yang bergerak menuju revisi
Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang KPK selalu menghadirkan prokontra.
Sekalipun secara objektif memang diperlukan perubahan, dengan resistensi
sebagian politikus dan kekuatan politik di Senayan terhadap sepak terjang
lembaga antirasywah itu, rencana revisi selalu saja menimbulkan bermacam
kecurigaan.
Misalnya, secara substantif, Pasal 32 ayat (2)
UU No 30 Tahun 2002 (UU No 30/2002) yang mengatur bahwa dalam hal pimpinan
KPK menjadi tersangka tindak pidana kejahatan diberhentikan sementara dari
jabatannya. Karena pola penyusunan norma itu sangat terbuka, siapa saja
pimpinan KPK akan dengan sangat mudah dijadikan tersangka dengan sangkaan
yang bisa saja dicari-cari.
Dalam batas penalaran yang wajar, tragedi yang
dialami dua pemimpin KPK, Bambang Widjojanto dan Abraham Samad, amat mudah
dijelaskan dengan logika kesalahan yang dicari-cari tersebut.
Dengan melihat potensi bom waktu kriminalisasi
yang tersimpan dalam Pasal 32 ayat (2) itu, langkah untuk merevisi UU No
30/2002 menjadi semacam keniscayaan. Bagaimanapun, jika celah tersebut tidak
segera ditutup, ancaman kriminalisasi terhadap pimpinan KPK berpotensi
terjadi kapan saja. Namun, disebabkan pilihan merevisi mengandung potensi
menggerogoti wewenang KPK sebagai extra-ordinary
body dalam memberantas korupsi, langkah merevisi selalu mendapat
perlawanan terbuka dari berbagai kalangan yang concern terhadap agenda pemberantasan korupsi.
Mengikuti sejarah panjang penolakan terhadap
rencana revisi UU No 30/2002, sikap Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Yasonna Hamonangan Laoly ketika mengikuti rapat kerja dengan Badan Legislasi
DPR (16/6) segera menyulut kontroversi. Meski menegaskan usul revisi berasal
dari DPR, pernyataan “pemerintah tidak dapat menolak usul DPR“ membuat
Menteri Hukum dan HAM sulit buang badan di tengah skenario revisi UU No
30/2002. Apalagi, sebelumnya revisi UU No 30/2002 tidak termasuk prioritas
pembahasan pada 2015.
Di luar Prolegnas
Sebagai bagian dari upaya mewujudkan sistem
hukum nasional, perencanaan pembentukan dan penyusunan undang-undang
dilakukan dalam program legislasi nasional (prolegnas). Dalam UU Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan (UU No 12/2011)
secara eksplisit dinyatakan bahwa prolegnas adalah instrumen perencanaan
dalam program pembentukan undang-undang yang disusun secara terencana,
terpadu, dan sistematis.
Ketika menyusun kebutuhan produk hukum berupa
undang-undang, ketiga lembaga yang memiliki wewenang mengajukan rancangan
undang-undang (yaitu pemerintah, DPR, dan DPD) telah menyepakati Prolegnas
2015, yaitu 37 rancangan undang-undang prioritas. Dari daftar yang dijadikan
prioritas, revisi UU No 30/2002 tidak termasuk salah satu di antaranya.
Artinya, revisi UU No 30/2002 bukan merupakan prioritas legislasi 2015.
Begitu muncul pembahasan memasukkan revisi UU No 30/2002 sebagai salah satu
prioritas di luar prolegnas, itu tentu saja memicu perdebatan yang sangat
luas.
Secara hukum, merujuk ketentuan Pasal 23 ayat
(2) UU No 12/2011, presiden atau DPR diberikan kesempatan untuk mengajukan
rancangan undang-undang di luar prolegnas dengan kondisi yang sangat ketat.
Dalam hal ini, rancangan di luar prolegnas hanya apabila terdapat prakondisi
yang bertujuan mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana
alam. Kondisi kedua, keadaan tertentu lainnya, memastikan adanya urgensi
nasional terhadap suatu rancangan undangundang yang dapat disetujui bersama
oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri
hukum dan HAM.
Sebagai pembantu Presiden Joko Widodo yang
memiliki tugas sentral dalam bidang hukum, Menteri Hukum dan HAM sangat tidak
kuat alasan untuk mengatakan bahwa pemerintah berada dalam posisi `tidak
dapat menolak usul DPR'. Pada batas penalaran yang wajar, disebabkan
prolegnas merupakan hasil kesepakatan antara pemerintah dan DPR (dan juga DPD
bila terkait Pasal 22D UUD 1945), Menteri Hukum dan HAM mungkin saja memiliki
pandangan yang berbeda dengan DPR ihwal rencana memasukkan rencana (revisi)
undang-undang di luar pro legnas. Apalagi, merujuk Pasal 23 ayat (2) UU No
12/2011, sangat tidak mudah membangun alasan menerima rancangan undang-undang
di luar prioritas 2015.
Dengan melihat situasi yang berkembang saat
ini, menerima logika merevisi UU No 30/2002 amat mungkin bermuara pada
pemangkasan sejumlah wewenang KPK sebagai lembaga yang didesain khusus dalam
memberantas korupsi. Karena itu, selain alasan yuridis tersebut, hal lain
yang harus ditimbang secara serius ialah janji Presiden Jokowi sebagaimana
tertuang dalam Nawa Cita.Terkait dengan KPK, dalam Nawa Cita secara eksplisit
dinyatakan bahwa akan mendukung penguatan institusi antirasywah itu dalam
pencegah an dan pemberantasan korupsi dengan peningkatan kapasitas
kelembagaan dan pendanaan.
Sekiranya mampu merasakan dan menelusuri
motivasi di belakang rencana revisi UU No 30/2002 yang berkembang selama ini,
harusnya Menteri Hukum dan HAM tidak berada dalam posisi menerima usul DPR.
Artinya, meski tetap terdapat suara yang menghendaki revisi sebagai bagian
dari penguatan KPK, suara-suara tersebut belum tentu mencerminkan kekuatan
mayoritas DPR.
Untuk ini, sebagai pembantu Presiden, mestinya Menteri Hukum
dan HAM berpegang kepada komitmen Presiden Jokowi dalam Nawa Cita: menolak
segala bentuk pelemahan KPK. Terkait dengan soal itu, sangat mungkin timbul
gugatan: bukankah revisi tidak selalu akan bermuara pada pelemahan KPK?
Barangkali akan dengan mudah didengar
pandangan sebagian pihak di DPR bahwa revisi UU No 30/2002 tidak boleh
dilihat secara sinis akan selalu berujung pada pelemahan KPK. Namun, bilamana
cermat mengikuti perdebatan di sekitar rencana ini, sejak semula banyak fakta
empirik menuju ke arah pembatasan wewenang KPK. Sampai sejauh ini, salah satu
wewenang eksklusif KPK yang menjadi `incaran' revisi ialah wewenang penyadapan.
Jamak diketahui, penyadapan telah menjadi kekuatan inti KPK dalam membongkar
kasus-kasus korupsi. Pengalaman terbaru, operasi tangkap tangan di Musi
Banyuasin, Sumatra Selatan, misalnya, menjadi bukti betapa strategisnya
wewenang penyadapan. Artinya, bila wewenang itu dibatasi, sama saja dengan
mengamputasi KPK dalam mengungkap korupsi.
Mengapresiasi presiden
Mengawali artikel rubrik Kolom Pakar bertajuk
`Ketika KPK Berada di Tubir Jurang' (Media Indonesia, 1/6), saya kemukakan
bahwa perjalanan waktu sekitar lima bulan terakhir benar-benar menjadi mimpi
buruk lembaga antirasywah KPK. Dalam tenggat tersebut, lembaga yang diberikan
otoritas khusus memberantas korupsi itu seperti berjuang sendiri menghadapi
serangan mematikan dari berbagai penjuru mata angin. Dengan merujuk
perkembangan dari hari ke hari, boleh jadi, KPK tengah menanti nasib serupa
dengan lembaga antirasywah yang pernah ada, yaitu tengah menunggu kematian.
Salah satu dasar berpijak saya sampai ke pandangan demikian ialah tidak
jelasnya sikap pemimpin politik tertinggi negeri ini.
Begitu membaca sikap Menteri Hukum dan HAM,
sepertinya, saya sulit menarik lagi dasar berpijak tersebut. Namun, begitu
Presiden Jokowi secara tegas menolak rencana revisi UU No 30/2002, saya
melihat terjadi perubahan sikap begitu mendasar. Paling tidak, sikap tegas
seperti itu tidak begitu terasa sejak KPK menghadapi impitan persoalan sejak awal
2015. Dengan sikap Jokowi itu, tidak cukup alasan bagi DPR untuk terus
`memaksa' Menteri Hukum dan HAM melanjutkan kesepakatan saat rapat kerja
dengan Badan Legislasi DPR minggu lalu. Bagi Menteri Hukum dan HAM, sikap
Presiden Jokowi mesti harus dibaca sebagai perintah untuk tidak memasukkan
revisi UU No 30/2002 ke dalam Prolegnas 2015.
Tak hanya bagi Menteri Hukum dan HAM, perintah
untuk tidak meneruskan rencana revisi UU No 30/2002 disampaikan dalam
pertemuan yang melibatkan Kepala Kepolisian RI, Jaksa Agung RI, KPK, dan
beberapa kementerian dan lembaga terkait. Dengan melihat suasana yang
melingkupi penolakan tersebut, perintah Presiden Jokowi mesti diikuti dengan
pemaknaan yang sejalan oleh semua kalangan yang hadir dalam pertemuan
tersebut. Penegasan seperti itu mesti dikemukakan karena banyak fakta
membuktikan ada di antara pembantu presiden yang memiliki sikap dan pandangan
berlawanan dengan sikap Presiden Jokowi termasuk dalam menyikapi perkembangan
yang terkait dengan KPK.
Meski sikap Presiden Jokowi diapresiasi,
ketegasan untuk memberi perlindungan kepada KPK tentunya tak boleh berhenti
hanya sampai penolakan merevisi UU No 30/2002. Di tengah situasi tidak
menentu yang melanda KPK, sikap dan dukungan konkret Presiden sangat
diperlukan untuk menyelamatkan KPK. Bagaimanapun, Presiden Jokowi mesti yakin
bahwa menyelamatkan KPK ialah bagian strategis negeri ini keluar dari jebakan
perilaku koruptif yang kian masif.
Selain itu, Presiden Jokowi perlu pula
memberikan dukungan pada polisi dan jaksa untuk berbenah dan bergandengan
tangan dengan KPK dalam desain besar agenda pemberantasan korupsi.
Terlepas dari itu semua, masalah penting dan
sekaligus berbalut harapan dari sikap tegas Presiden Jokowi menolak rencana
revisi UU No 30/2002: penolakan itu akan menjadi titik balik (turning point) dalam melihat arti
penting KPK. Banyak kalangan berpandangan, bagi negara-negara dengan praktik
korupsi yang begitu masif, lembaga khusus antikorupsi tidak mungkin bekerja
optimal dan sangat mungkin terancam bubar bila pemimpin politik tidak
memiliki komitmen politik yang jelas. Salah satu wujud nyata pelaksanaan
komitmen politik tersebut memberikan dukungan kepada lembaga khusus ini dari
segala upaya yang dapat mengancam keberlangsungannya.
Dengan demikian, ketika menyatakan `belum
waktunya merevisi UU No 30/2002', Presiden Jokowi mestinya juga mengambil
langkah-langkah strategis lainnya memulihkan kondisi KPK. Di antara yang
paling krusial, bagaimana memastikan bahwa lembaga-lembaga penegak hukum lain
tidak menjadi ancaman nyata bagi mereka yang memilih mengabdi di KPK.
Artinya, kelanjutan dari penolakan terhadap revisi UU No 30/2002 menjadi
langkah penting berikutnya untuk mengetahui keseriusan Presiden Jokowi dalam
mendukung KPK sebagaimana tertuang dalam Nawa Cita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar