Bahasa Kita di "The New York Times"
Bambang Kaswanti Purwo ; Guru Besar Linguistik Unika Atma Jaya,
Jakarta
|
KOMPAS, 20 Juni 2015
Di pelbagai
kesempatan, termasuk pada forum resmi, sekian kali disuarakan keinginan agar
bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional atau-setidak-tidaknya-bahasa
komunikasi di tingkat regional: ASEAN.
Sementara itu, The New
York Times (25 Juli 2010) memaparkan tulisan Norimitsu Onishi, "As English Spreads, Indonesians Fear
for Their Language", yang menyingkapkan berita yang berarah balik
ini. Telah lahir generasi baru anak Indonesia, yang dibesarkan di Jakarta, tetapi tak fasih
berbahasa Indonesia karena tumbuh menjadi penutur berbahasa pertama bahasa
Inggris.
Tulisan di The New
York Times itu diawali dengan gambaran mengenai tiga anak Paulina Sugiarto
yang tengah bermain bersama di sebuah mal di Jakarta. Mereka bercakap-cakap
tidak di dalam bahasa nasional, Indonesia, melainkan di dalam bahasa Inggris.
Kelancaran mereka berbahasa Inggris mencengangkan sejumlah orangtua lain yang
kebetulan lewat dan mendengarnya. Orangtua ketiga anak itu, yang fasih
berbahasa Indonesia, pernah belajar di Amerika Serikat dan Australia dan,
ketika kembali di Indonesia, di rumah berkomunikasi di dalam bahasa Inggris dengan
anak-anak, yang lahir di Indonesia. Anak-anak itu mereka kirim ke sekolah di
Jakarta yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar.
"Mereka tahu bahwa mereka adalah anak
Indonesia," kata sang ibu, Paulina Sugiarto (34), sebagaimana dikutip The
New York Times. "Mereka cinta Indonesia. Hanya saja, mereka tak dapat
berbahasa Indonesia."
Menengah ke atas
Ini bukan potret
mengenai satu keluarga itu saja. Juga dapat dijumpai di kalangan keluarga
kaya kelas menengah ke atas, tak hanya di Jakarta, di kota besar lain. Salah
satu penyulutnya adalah kesan umum betapa tidak berhasil pengajaran bahasa
Inggris di sekolah menengah di Indonesia. Lalu sejumlah orangtua yang mampu
beralih menyekolahkan anak mereka ke sekolah yang lebih berfokus pada bahasa
Inggris. Langkah ini juga dipicu pandangan bahwa bahasa Inggris bertautan
dengan status sosial yang lebih tinggi sehingga bahasa Indonesia terturunkan
derajatnya menjadi berstatus kelas dua.
Apakah ini tanda mulai
mengalirnya arus antiklimaks dari pencapaian yang telah gigih diperjuangkan
para pejuang dan pendiri negara Indonesia? Akan mulai melunturkah semangat
generasi muda 28 Oktober 1928, yang berhasil mengumandangkan sumpah
menyatukan bangsa yang terdiri atas ratusan suku dengan lebih dari 700 bahasa
ini? Akankah gelora yang membara pada generasi muda ketika itu untuk
menyepakati dan menjunjung tinggi salah satu dialek bahasa Melayu yang
dinamakan "bahasa Indonesia" sebagai bahasa pemersatu mulai meniris
secara perlahan-lahan pada generasi muda masa kini?
Atau, apakah ini
gara-gara pada 2006 Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) mulai
diberlakukan di Indonesia, dengan salah satu dasar hukumnya UU No 20/2003
(Sistem Pendidikan Nasional) Pasal 50 Ayat 3:
"Pemerintah dan/atau
pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan
pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan
yang bertaraf internasional"?
Yang jelas, oleh
Mahkamah Konstitusi (MK), RSBI kemudian dibubarkan pada Januari 2013 setelah
MK mengabulkan gugatan masyarakat terhadap keberadaan RSBI. Kemudian menyusul
pengumuman Mendikbud ketika itu: tetap
memperbolehkan program belajar-mengajar RSBI sampai dengan akhir tahun
ajaran 2012/2013 sebab ketika itu di seluruh Indonesia tersua sekitar 1.300
RSBI berstatus sekolah negeri. Namun, sejauh manakah dampak kebijakan
pemerintah ini? Sebatas menjangkau sekolah negeri saja atau juga swasta?
Penelitian Rebecca
Urip di dalam tesis S-2 Program Studi Linguistik Terapan Bahasa Inggris,
Sekolah Pascasarjana, Unika Atma Jaya, Jakarta, yang diuji pada 28 Mei lalu
menyingkapkan kasus tiga keluarga di Jakarta yang anak-anaknya berbahasa
pertama bahasa Inggris. Delapan anak dari tiga keluarga ini (usia 4-17 tahun)
sejak TK mengikuti sekolah dengan pengantar bahasa Inggris. Pertanyaannya
sekarang: sejauh mana gejala "pemudaran" bahasa Indonesia di
kalangan generasi muda kini sedang berlangsung? Yang jelas, menurut Aimee
Dawis, yang mengajar komunikasi di Universitas Indonesia, sebagaimana dikutip
The New York Times, proses
pemudaran bahasa Indonesia ini bukanlah buah yang dihasilkan kebijakan
pemerintah, melainkan sesuatu yang berlangsung alami.
Gebrakan menggerakkan
sesuatu yang dicoba ditumbuhkan dengan kebijakan, sekalipun oleh pemerintah,
cenderung bergerak beberapa waktu lamanya sesudah itu berhenti. Namun,
sesuatu yang bergerak alami justru melangkah ke depan pasti, meski merayap
meluas perlahan dan tak tersadari. Akankah ini mengarah ke perkembangan tak
terkendali? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar