Babat
Ijazah Palsu
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN SINDO, 06 Juni 2015
Saya selalu mengatakan
kepada mahasiswa bahwa orang yang menggunakan ijazah palsu itu kalau menjadi
pejabat akan berani melakukan korupsi. Begitu juga orang yang mau mencuri
karya ilmiah orang lain (plagiasi) sangat berpotensi menjadi koruptor kalau
menduduki jabatan publik. Hal tersebut selalu saya nyatakan juga kepada
publik melalui media massa dan berbagai forum antarperguruan tinggi.
Ada dua alasan yang
mendasari pendapat saya itu. Pertama, pemalsuan ijazah atau plagiasi itu
sendiri sebenarnya sudah merupakan korupsi nonkonvensional. Kedua, orang yang
berani membohongi dirinya sendiri dengan menggunakan ijazah palsu dan
melakukan plagiasi pastilah akan berani menipu rakyat untuk melakukan
korupsi.
Jika kepada diri
sendiri saja bohong, tentukepada rakyat pun akan berani menipu. Memang tak
bisa dikatakan bahwa hanya orang yang berijazah palsu yang korupsi. Para
koruptor yang sekarang meringkuk di penjara itu, nyatanya, sebagian besar
berijazah asli. Saya hanya menekankan bahwa pembuat dan pengguna ijazah palsu
serta pelaku plagiasi itu sudah melakukan korupsi, minimal korupsi
nonkonvensional.
Mengacu pada Satjipto
Rahardjo, korupsi itu ada dua macam, yakni korupsi konvensional dan korupsi
nonkonvensional. Korupsi konvensional adalah korupsi dalam arti hukum pidana
yang memiliki unsur-unsur tertentu yakni menguntungkan diri sendiri, orang
lain, atau korporasi, dengan cara melawan hukum, dan merugikan keuangan
negara. Sedangkan korupsi nonkonvensional adalah semua sikap dan tindakan
sewenang-wenang atau pelanggaran-pelanggaran yang secara stipulatif tidak
disebut korupsi oleh hukum.
Orang yang suka
sewenang-wenang, menyalahgunakan jabatan, sok berkuasa, meminta dihormati dan
dilayani secara berlebihan, membuat dan menggunakan ijazah palsu serta
melakukan plagiasi dalam kegiatan akademis meskipun tidak melakukan korupsi
dalam arti hukum pidana, tetapi sejatinya orang itu sudah melakukan korupsi
secara nonkonvensional.
Orang yang suka
melakukan korupsi nonkonvensional kalau ada peluang tentu akan berani
melakukan korupsi konvensional.
Saya teringat kembali
pada apa yang sering saya teriakkan tentang ijazah palsu dan plagiasi ini
ketika pekan ini kita dikejutkan oleh berita tentang ijazah palsu.
Seperti dilansir oleh
Menristek-Dikti M Nasir, ditemukan adanya lembaga pendidikan tinggi yang
diduga mengeluarkan ijazah palsu dan banyaknya pegawai pemerintah yang
menggunakan ijazah palsu untuk menjadi pegawai atau untuk mendongkrak karier
kepegawaiannya. Terlepas dari apa pun motifnya, seperti ditudingkan oleh
sebagian orang, langkah Menristek-Dikti yang melansir dan kemudian melakukan
langkah-langkah penjatuhan sanksi dan pembenahan haruslah diapresiasi.
Ada yang seperti kaget
dan bertanya kepada saya: Kok , kita baru sekarang meributkan soal ijazah
palsu? Kok tidak dari dulu-dulu? Saya jawab dengan pertanyaan balik: Siapa
bilang baru sekarang? Pada awal kepresidenan SBY periode pertama (2004-2009),
masalah ijazah dan gelar palsu sudah diributkan oleh masyarakat. Bahkan,
Wapres Jusuf Kalla, kala itu, pernah menyatakan keheranannya karena kalau dia
berkunjung ke daerah-daerah, banyak kenalannya yang tak pernah diketahui
kapan kuliah dan di perguruan mana kuliahnya sudah memiliki gelar master dan
doktor. Pada sekitar tahun 2005-2006 itu kita ribut, tetapi tiba-tiba tak
jelas langkah lanjutnya.
Bahkan jauh sebelum
itu, tepatnya sejak 1990-an, kita juga pernah digegerkan oleh kasus ijazah
palsu. Dirjen Dikti Depdikbud kala itu, Bambang Suhendro yang kemudian
dilanjutkan oleh Satrio Sumantri Brojonegoro, berteriak keras karena
banyaknya ijazah palsu yang beredar dan dipakai untuk meraih kedudukan di
pemerintahan ataupun untuk sekadar gagah-gagahan. Sampai-sampai saat itu ada
istilah ijazah three in one, yakni
tiga ijazah dalam tiga jenjang (Sarjana/S-1, Master/S-2, Doktor/S-3) yang
bisa diperoleh sekaligus asal membayar sejumlah uang tertentu. Yang bisa
membayar Rp30 juta, langsung mendapat tiga ijazah tanpa harus kuliah.
Diberitakan juga adanya ustad yang karena menjadi muthawwif untuk umrah, sepulang dari umrah mampir di Singapura
dan diwisuda sebagai doktor di sebuah hotel berbintang. Gila, kan?
Masyarakat akademis,
saat itu, berteriak keras agar polisi mengusut dan menghukum para pembuat dan
pengguna ijazah palsu. Namun, polisi mengatakan tidak ada tindak pidana
karena tidak ada warga yang mengadu kepada kepala polisi karena dirugikan.
Ditjen Dikti mengatakan, pihaknyalah yang dirugikan, tetapi tetap saja tak
ada tindakan dari Polri.
Di Yogyakarta, saat
itu, Universitas Islam Indonesia (UII) menyelenggarakan seminar khusus
membahas aspek hukum pidana tentang ijazah palsu. Dosen hukum pidana dari UII
Artidjo Alkostar (kini sudah menjadi hakim agung) waktu itu diminta membuat analisis
dari aspek hukum pidana. Kesimpulannya, ada beberapa pasal di dalam KUH
Pidana yang dapat dipergunakan untuk mengadili pembuat dan pengguna ijazah
palsu. Meski hasil seminar sudah dipublikasikan dan dikirimkan kepada yang
berwenang dan berwajib, tak ada tindak lanjutnya juga.
Kali ini kita tidak
boleh terhenti lagi untuk menyelesaikan secara tuntas masalah ijazah palsu
ini. Kita harus serius dan tidak sungkan kepada siapa pun untuk menggunakan
instrumen hukum, baik hukum pidana maupun hukum administrasi negara, untuk
menyelesaikan masalah ini. Kalau gerakan ini “gembos” lagi dan tak ada
langkah majunya, kita ini bisa dinilai lebih bodoh daripada keledai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar