Ayo
(Jangan) Mondok
Ahmad Sahidah ; Dosen Filsafat di UUM Malaysia; Alumnus
Annuqayah
|
JAWA POS, 04 Juni 2015
GERAKAN #AyoMondok sempat menjadi topik hangat teratas (trending topic) di media sosial
Twitter. Itu menunjukkan bahwa ada banyak orang yang menyahuti seruan
Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Nahdlatul Ulama (NU), baik dari santri,
mantan santri, maupun khalayak, untuk mengajak masyarakat menyekolahkan
anaknya ke pondok pesantren. Namun, pada waktu yang sama, akun @hafidz_ ary
sempat memantik kegusaran. Sebab, pemilik akun kontroversial tersebut
menyatakan bahwa kaum ”sepilis” (sekularis, pluralis, dan liberalis) atau
Jaringan Islam Liberal telah menunggangi ajakan itu untuk mengukuhkan
pendirian dan kedudukannya. Tak pelak, kicauan sanggahan saling bersahutan
dan berhamburan.
Bagaimanapun,
keduanya berpijak pada cara berpikir yang tak sama, yakni gaya harfiah dan
kontekstual. Terkait Tuhan, misalnya, jelas mengandaikan pemikiran yang sama
sekali bertolak belakang, yang pertama persona dan yang kedua tidak. Di
sinilah silang sengkarut bermula dan pada gilirannya perdebatan tak
produktif.
Lalu adakah
pengajaran dan pembelajaran pondok terkait dengan isu-isu yang diributkan
kelompok-kelompok di atas? Tidak. Kebanyakan pesantren berlatar belakang Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) berada
di pelosok desa. Mereka masih merawat warisan lama seraya menjaga agar
tradisi tetap lestari.
Aplikasi
Tauhid
Ketika
belajar di Pondok Annuqayah, saya belajar ilmu tauhid melalui kitab Aqidah
al-Awam dan alHushun al-Hamidiyyah. Sebagai pelajar setingkat sekolah
menengah, saya berpikir sederhana tentang Tuhan. Dia adalah Mahasegala serta
mempunyai sifat wajib dan mustahil. Dengan menghafal sifat 20, saya tak perlu
lagi berpikir keras untuk memahami atribut Tuhan selogis mungkin karena ada
penghalang bahwa filsafat tak sepenuhnya bisa menjangkau teologi. Setelah
belajar di perguruan tinggi, baru saya menekuri soal ketuhanan di jurusan
akidah dan falsafah dengan pendekatan kritis, yang acap membuat miris.
Dengan
pemahaman yang sederhana, ketundukan pada Tuhan merembes pada ketaatan pada
kiai. Dulu kami berusaha keras mematuhi aturan pondok seperti hadir dalam
salat berjamaah dan pengajian kitab kuning. Selagi kiai tak ada kegiatan di
luar pondok, sosok panutan itu akan senantiasa memimpin sembahyang bersama di
surau. Dia mengajarkan ketenangan (thuma’ninah)
melalui perbuatan.
Tak hanya
terkait ibadah, para santri juga berhamburan ke luar bilik bila ada
pengumuman agar mereka keluar untuk mengangkut batu sebagai fondasi bangunan
fasilitas pondok. Dengan riang mereka bertempiaran menuju bukit untuk
memindahkan bongkahan batu. Kegiatan itu jelas merupakan praktik lapangan
bagaimana santri nanti bersikap empati dan peduli terhadap kepentingan
bersama tanpa pamrih. Hidup tak melulu transaksi, tapi juga bakti.
Bagaimanapun, sekolah yang hendak menjadikan murid berkarakter yang baik
mestilah memenuhi lima syarat, seperti diandaikan Rita dan Kenneth Dunn, yang
di antaranya meliputi kecerdasan fisiologis dan kematangan psikologis.
Menjawab
Tantangan
Citra pondok
pesantren yang menjadikan pelajaran agama sebagai keutamaan tak dapat
dielakkan. Dalam sejarah awalnya, lembaga pendidikan itu sejatinya ingin
menjadi pusat kajian ilmu keislaman, yang dulu terbatas pada ilmu-ilmu klasik
seperti tafsir, ushul fiqh, fikih, dan hadis. Namun, KH Hasyim Asy’ari telah
menyenaraikan bahan ajar umum seperti bahasa dan matematika sebagai tambahan
untuk meluaskan wawasan santri. Pada akhirnya, institusi tersebut tak lagi
membatasi jurusan agama, malah menambah jurusan umum untuk menyesuaikan
dengan perkembangan zaman.
Tak pelak,
banyak lembaga pesantren yang membuka universitas dengan berbagai jurusan
umum seperti pertanian, keperawatan, dan teknik. Itu membuktikan bahwa pondok
tak alergi terhadap perubahan dan pada waktu yang sama agama tak lagi
dikerangkeng dalam ide-ide kitab klasik yang membayangkan citra khas santri:
beserban, bersongkok, dan bersarung. Hari ini santri bisa tampil sebagai
pekerja profesional dengan bidang yang pernah digeluti di pesantren. Pada
akhirnya, pemisahan sekolah pondok dan umum tak menjadi penghalang untuk
menyuburkan nilai-nilai etik sebagai tujuan tertinggi dari kehidupan
beragama.
Hanya, era
reformasi membuka keran kebebasan berekspresi warga. Tak hanya terkait
ide-ide sekuler, ide keagamaan pun menyerbu dari segala penjuru dunia.
Aliranaliran baru yang dulu meniarap sekarang berani terang-terangan. Tak
hanya bergerak di jalan, kelompok-kelompok eksklusif itu juga membangun
lembaga pendidikan pondok. Tiba-tiba di sebuah perkampungan telah berdiri
megah sebuah masjid dan asrama, yang menjadi tempat belajar sekelompok santri
dengan pemahaman yang beraliran keras. Karena kehadirannya mengusik orang
kampung, lembaga yang berdiri tak jauh dari Kota Jember tersebut ditentang
dan akhirnya tutup.
Karena itu,
khalayak mesti mawas diri dengan keberadaan pondok-pondok baru yang tibatiba
berdiri megah. Bukannya menjadi oase, kehadirannya justru membuat resah.
Sebab, santri, ustad, dan pengasuhnya tampil secara eksklusif dan mencekoki
anak didiknya dengan doktrin tertutup. Pengalaman seorang ibu dari Jember
yang ”kehilangan” anaknya patut menjadi pelajaran. Pasalnya, setelah mondok,
si buah hati tiba-tiba berubah sikap dengan menyebut NKRI sebagai kafir. Dia
ingin lari dari negara tempatnya lahir dan pergi ke negara Islam. Sikap ketus
pada kedua orang tuanya makin menggenapi kegalauan ibu-bapaknya. Untungnya,
sebelum bertindak jauh, si anak ditarik dari ustad yang menjadikannya durhaka
kepada orang tua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar