Selasa, 23 Juni 2015

Aspirasi

Aspirasi

Putu Setia  ;   Pengarang; Wartawan Senior Tempo
TEMPO.CO, 21 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Aspirasi itu adalah soal harapan. Rakyat berharap bisa bercocok tanam lebih baik lalu menyalurkan aspirasi agar dibangun saluran irigasi. Rakyat berharap korupsi diberantas lebih dahsyat, lalu rakyat minta lembaga yang memberantas korupsi bekerja lebih kuat. Harapan rakyat itu semestinya ditampung oleh wakilnya dan diteruskan ke pejabat yang memang mengurusi kehidupan rakyat. Media massa dapat menjadi saluran aspirasi itu.

Nasib sial menimpa rakyat belakangan ini. Harapan itu tak sampai, bahkan tak klop dengan perilaku wakilnya. Rakyat gerah dengan maraknya korupsi dan berharap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diperkuat. Tapi yang terjadi, DPR, yang merupakan wakil rakyat, justru secara terstruktur dan sistemik melemahkan KPK dengan merevisi UU tentang KPK. Senjata KPK yang andal berupa penyadapan justru dipersoalkan keberadaannya.

Semangat merevisi UU KPK dilakukan pada saat DPR hanya berhasil membuat dua undang-undang selama enam bulan bekerja. Masih ada tiga puluh lebih undang-undang yang harus diselesaikan dalam enam bulan ke depan. Bukankah ini maha ajaib?

DPR juga seperti tak tahu malu. Lihat saja bagaimana mereka ngotot meminta dana aspirasi yang jumlah nominalnya sudah dipatok, sementara proyek yang mau digarap sedang dicari-cari di daerah pemilihannya. Besarnya minta ampun, Rp 20 miliar per anggota per tahun. Alasannya untuk menyerap aspirasi rakyat di daerah pemilihannya dan pemerataan pembangunan.

Mereka sudah merancukan yang mana tugas eksekutif dan yang mana tugas legislatif. Kalau mereka memang piawai menangkap aspirasi rakyat, catat apa yang dimaui rakyat, pelajari urgensinya, dan kalau dianggap tepat, salurkan ke eksekutif. Biarlah eksekutif, apakah itu pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi, atau pemerintah pusat, yang membuatkan programnya. DPR ikut memperjuangkan anggarannya, lalu mengawasi pembangunannya. Besar anggaran disesuaikan dengan proyek, tak harus dipatok jumlah tertentu.

Apakah benar dana aspirasi yang ngotot diminta DPR itu untuk pemerataan pembangunan? Tentu ini salah besar. Komposisi anggota DPR di setiap provinsi saja sudah beda, karena jumlah anggota DPR bersinergi dengan jumlah penduduk. Sebanyak 58 persen anggota DPR ada di Jawa. Di Sumatera ada 22 persen, Kalimantan hanya 8 persen, dan Sulawesi 6 persen. Di kawasan lain, terutama Indonesia timur, lebih rendah lagi. Justru di sana pembangunan harus digenjot supaya ada pemerataan di Nusantara ini.

Jika dana aspirasi versi DPR ini lolos-di era Presiden SBY sudah ditolak-masyarakat akan terbelah dan terjadi ketidaknyamanan. Anggota DPR itu terikat dengan konstituen di daerah pemilihannya. Anggota DPR dari Partai Golkar, misalnya, akan mendahulukan proyek di basis Golkar, demikian pula anggota DPR dari partai lain. Maka akan ada "jembatan ini dibangun oleh kader Golkar". Lebih parah lagi "jalan di kecamatan ini mulus dari dana aspirasi Golkar" sementara jalan di kecamatan lain berantakan karena basis Partai NasDem. 

Memang dana itu dikelola oleh pemerintah daerah, tetapi bukankah bupati dan gubernur adalah orang partai? Akan terjadi banyak permainan proyek kalau anggota DPR separtai dengan pejabat di daerah, bupati, atau gubernur. Juga penjegalan proyek jika anggota DPR tak separtai dengan pejabat di daerah itu. Hal seperti ini sudah terjadi ketika anggota DPRD mendapat hibah dana bansos (bantuan sosial).

Rakyat sudah banyak bersuara di media massa dan sesungguhnya inilah aspirasi rakyat. Sayangnya aspirasi ini tak sejalan dengan "penampung aspirasi".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar