Aspirasi
Putu Setia ; Pengarang; Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO, 21 Juni 2015
Aspirasi itu adalah soal harapan. Rakyat
berharap bisa bercocok tanam lebih baik lalu menyalurkan aspirasi agar
dibangun saluran irigasi. Rakyat berharap korupsi diberantas lebih dahsyat,
lalu rakyat minta lembaga yang memberantas korupsi bekerja lebih kuat.
Harapan rakyat itu semestinya ditampung oleh wakilnya dan diteruskan ke
pejabat yang memang mengurusi kehidupan rakyat. Media massa dapat menjadi
saluran aspirasi itu.
Nasib sial menimpa rakyat belakangan ini.
Harapan itu tak sampai, bahkan tak klop dengan perilaku wakilnya. Rakyat
gerah dengan maraknya korupsi dan berharap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
diperkuat. Tapi yang terjadi, DPR, yang merupakan wakil rakyat, justru secara
terstruktur dan sistemik melemahkan KPK dengan merevisi UU tentang KPK.
Senjata KPK yang andal berupa penyadapan justru dipersoalkan keberadaannya.
Semangat merevisi UU KPK dilakukan pada saat
DPR hanya berhasil membuat dua undang-undang selama enam bulan bekerja. Masih
ada tiga puluh lebih undang-undang yang harus diselesaikan dalam enam bulan
ke depan. Bukankah ini maha ajaib?
DPR juga seperti tak tahu malu. Lihat saja
bagaimana mereka ngotot meminta dana aspirasi yang jumlah nominalnya sudah
dipatok, sementara proyek yang mau digarap sedang dicari-cari di daerah
pemilihannya. Besarnya minta ampun, Rp 20 miliar per anggota per tahun.
Alasannya untuk menyerap aspirasi rakyat di daerah pemilihannya dan
pemerataan pembangunan.
Mereka sudah merancukan yang mana tugas
eksekutif dan yang mana tugas legislatif. Kalau mereka memang piawai
menangkap aspirasi rakyat, catat apa yang dimaui rakyat, pelajari urgensinya,
dan kalau dianggap tepat, salurkan ke eksekutif. Biarlah eksekutif, apakah itu
pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi, atau pemerintah pusat, yang
membuatkan programnya. DPR ikut memperjuangkan anggarannya, lalu mengawasi
pembangunannya. Besar anggaran disesuaikan dengan proyek, tak harus dipatok
jumlah tertentu.
Apakah benar dana aspirasi yang ngotot diminta
DPR itu untuk pemerataan pembangunan? Tentu ini salah besar. Komposisi
anggota DPR di setiap provinsi saja sudah beda, karena jumlah anggota DPR
bersinergi dengan jumlah penduduk. Sebanyak 58 persen anggota DPR ada di Jawa.
Di Sumatera ada 22 persen, Kalimantan hanya 8 persen, dan Sulawesi 6 persen.
Di kawasan lain, terutama Indonesia timur, lebih rendah lagi. Justru di sana
pembangunan harus digenjot supaya ada pemerataan di Nusantara ini.
Jika dana aspirasi versi DPR ini lolos-di era
Presiden SBY sudah ditolak-masyarakat akan terbelah dan terjadi
ketidaknyamanan. Anggota DPR itu terikat dengan konstituen di daerah
pemilihannya. Anggota DPR dari Partai Golkar, misalnya, akan mendahulukan
proyek di basis Golkar, demikian pula anggota DPR dari partai lain. Maka akan
ada "jembatan ini dibangun oleh kader Golkar". Lebih parah lagi
"jalan di kecamatan ini mulus dari dana aspirasi Golkar" sementara
jalan di kecamatan lain berantakan karena basis Partai NasDem.
Memang dana
itu dikelola oleh pemerintah daerah, tetapi bukankah bupati dan gubernur
adalah orang partai? Akan terjadi banyak permainan proyek kalau anggota DPR
separtai dengan pejabat di daerah, bupati, atau gubernur. Juga penjegalan
proyek jika anggota DPR tak separtai dengan pejabat di daerah itu. Hal
seperti ini sudah terjadi ketika anggota DPRD mendapat hibah dana bansos
(bantuan sosial).
Rakyat sudah banyak bersuara di media massa
dan sesungguhnya inilah aspirasi rakyat. Sayangnya aspirasi ini tak sejalan
dengan "penampung aspirasi". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar