Ambisi
Elite NU
Agoes Ali Masyhuri ; Pengasuh Pesantren Progresif Bumi
Shalawat, Sidoarjo, Jatim
|
JAWA POS, 06 Juni 2015
PRAISING more than
what someone deserves means licking one’s shoes. On the contrary, neglecting
praising for one who is entitled to get it, indicates stupidity and envy. Memuji seseorang
lebih daripada yang dia berhak menerimanya sama dengan menjilatnya.
Sebaliknya, melalaikan pujian bagi yang berhak menerimanya menunjukkan
kebodohan atau kedengkian.
NU kuharap tetap utuh walaupun di dalamnya ada
segelintir orang yang sangat berambisi untuk menjadi orang nomor satu di
organisasi sosial keagamaan terbesar itu. Keprihatinan dan kecemasan baru
banyak muncul dan menghiasi sudut-sudut pondok pesantren di seluruh republik
ini. Itu terjadi karena adanya segelintir orang yang punya ambisi jabatan di
NU bak kuda liar yang sulit dibendung dan dijinakkan.
Mereka secara tidak sadar merobek keutuhan NU,
bahkan merobohkan prinsip-prinsip organisasi yang telah ditanamkan para
muasis NU itu sendiri. Kecemasan tersebut hadir dari orangorang NU dari
berbagai tingkat, mulai awam sampai akademisi. Itu semua merupakan sesuatu
yang wajar karena mereka merasa memiliki NU.
Semangat saling menjatuhkan dan aroma tidak
sehat muncul ke permukaan yang tidak sepatutnya dilakukan seorang tokoh yang
sebenarnya layak diteladani. Gaung dan gelegar Muktamar Ke-33 NU di Jombang,
Jatim, 1–5 Agustus 2015, cukup menggembirakan menghiasi media sosial dewasa
ini.
Menipisnya kesadaran dan keinsyafan bersama di
antara kita –bahwa menjaga keutuhan dan membangun NU lebih sulit daripada
membongkar– merupakan indikasi kekerdilan dan kepicikan kita dalam menyikapi
realitas. Sebenarnya, keinginan untuk mengabdi dan menjadi pengurus NU
merupakan sesuatu yang wajar dan sah-sah saja, asalkan tetap diletakkan pada
norma-norma yang telah kita sepakati.
Sesungguhnya, untuk kepemimpinan dan yang
sejenisnya, termasuk perwalian/kekuasaan atas manusia yang lainnya, tidak
sepantasnya seseorang mengharapkan, menuntut, atau menawarkan dirinya untuk
itu. Seyogianya dia meminta kepada Allah keselamatan karena pada hakikatnya
dia tidak tahu apakah kekuasaan tersebut nanti berakibat baik atau buruk
baginya. Dia juga tidak tahu apakah mampu menjalankan amanah kepemimpinan itu
atau tidak.
Apabila dia memperoleh kepemimpinan tersebut
karena meminta dan berambisi terhadapnya, dia akan dibiarkan dengan beban
tanggung jawab jabatan itu. Jika ada seorang hamba yang dibiarkan dengan
tanggung jawab jabatan kepada dirinya, berarti dia tidak mendapat bimbingan
dari Allah, tidak diluruskan dan ditolong dalam segala urusannya.
Ada satu hal yang perlu kita sadari, pada era
sekarang ini, warga NU ingin melakukan perubahan ke taraf yang lebih baik
dalam segala dimensi kehidupan. Karena itu, realitas tersebut harus ditangkap
dan diimbangi para elite NU yang harus lebih mengerti dan memahami. Di sini,
peran konsistensi serta kesungguhan sangat penting dimiliki dan dilakukan
para elite NU guna mewujudkan iklim yang kondusif dalam suatu organisasi
supaya NU lebih mandiri dan berwibawa.
Para kiai sepuh harus tetap ambil bagian.
Artinya, para kiai sepuh harus menjadi kekuatan pengayom, perekat, dan
penyeimbang di tengahtengah masyarakat. Lebih-lebih, warga NU mendominasi
masyarakat bawah yang tinggal di perdesaan. Mereka lebih membutuhkan figur
panutan daripada orang yang jago berargumentasi dan mengumpulkan sejuta
definisi.
Dalam tulisan ini, mari kita merenungkan satu
firman Allah SWT, ’’Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat
Islam) umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan)
manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu’’ (QS
Al-Baqarah: 143). Umat Islam adalah ummatan wasathan,umat yang mendapat
petunjuk dari Allah SWT, sehingga menjadi umat yang adil dan pilihan serta
menjadi saksi atas keingkaran orang kafir. Umat Islam harus senantiasa
menegakkan keadilan dan kebenaran serta membela yang hak dan melenyapkan yang
batil.
Sepanjang sejarah peradaban manusia, tidak ada
perpecahan sebagai kebaikan bagi siapa pun di atas muka bumi ini, baik orang
yang terdahulu maupun generasi mendatang. Di sini, NU di bawah kepemimpinan
para kiai harus mampu tampil sebagai perekat masyarakat sekaligus pengayom
dan pembimbing.
Sejalan dengan sabda Mbah Wali Sunan Drajat, ’’Weono busono marang wong kang mudo.
Paweho dedamar marang wong kang kepetengan. Paweho teken marang wong kang
wuto. Paweho dedahar marang wong kang luwe.’’
Itulah yang dinamakan local wisdom. Tegasnya,
dalam berdakwah pada situasi yang tidak menentu ini, para kiai tidak cukup
hanya menyampaikan firman Allah dan sabda Rasul. Namun, mereka harus mampu
memberikan jalan keluar atas problem hidup yang dialami umat dewasa ini
dengan sikap serta pendekatan yang arif dan rendah hati sebagaimana yang
telah diteladankan Wali Songo dalam berdakwah di Republik ini.
Bukan lagi saatnya orang NU berpikir sempit
dan fanatik buta yang mengakibatkan kebodohan dan kepicikan berpikir dalam
menghadapi realitas apalagi bertengkar dengan sesama NU –yang sangat cukup
memalukan yang sebenarnya tidak perlu terjadi. NU harus berani melakukan
perbaikan manajerial secara menyeluruh dan tuntas.
NU harus mempunyai langkahlangkah konkret dan
strategsi untuk berani membersihkan orang-orang yang sering menjual dan
mengorbankan NU demi kepentingan pribadi mereka. Kalau hal itu tidak
dilakukan, jangan menyalahkan orang lain apabila NU tinggal nama. Di sini,
harus diakui, NU mempunyai nilai lebih jika dibandingkan dengan organisasi
sosial keagamaan yang lain. NU paling ramah dan toleran terhadap agama-agama
lain.
Tidak mengherankan, banyak kalangan nonmuslim
yang menaruh simpati kepada NU karena keramahan dan toleransinya. Itu
merupakan modal besar bagi NU untuk tampil sebagai perekat dan pengayom
bangsa di republik yang sangat majemuk ini.
Semoga bermanfaat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar