Agama dalam Konstitusi Kita
Faozan Amar ; Direktur
Eksekutif Al Wasath dan Dosen Studi Islam UHAMKA
|
KORAN SINDO, 15 Juni 2015
Indonesia adalah
negara yang secara kultur dan natur ditakdirkan sebagai negara yang majemuk.
Kemajemukan bisa dilihat dari segi suku, agama, ras, dan antargolongan
(SARA). Kemajemukan itu di satu sisi merupakan anugerah, tetapi manakala
tidak mampu untuk mengelolanya bisa menjadi musibah bagi bangsa Indonesia.
Menyambut bulan
Ramadan 1436 H, kini bangsa Indonesia diuji kembali tentang sikap saling
menghormati antarumat beragama. Terbaru adalah kicauan dari Menteri Agama
Lukman Hakim Saifudin yang meminta untuk menghormati orang yang tidak puasa. ”Warung-warung tak perlu dipaksa tutup.
Kita harus hormati juga hak mereka yang tak berkewajiban dan tak sedang
berpuasa,” demikian seperti dari akun Twitter Lukman Hakim,
@lukmansaifuddin, Senin (8/6). Kicauan tersebut menimbulkan pro dan kontra
dari para nitizen.
Dalam konteks agama,
para pendiri bangsa ini telah menyadari sepenuhnya akan kemajemukan sehingga
menempatkan agama secara rasional dan proporsional dalam konstitusi Republik
Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar agama dan kepercayaan bangsa Indonesia
betul-betul menjadi spirit dalam mewujudkan citacita kemerdekaan.
Perdebatan panjang
tentang dasar negara juga tidak terlepas dengan persoalan agama. Hal bisa
dibaca pada polemik antara Soekarno dan M Natsir yang dimuat di majalah Padji
Islam tahun 1940. Juga dalam perdebatan sidang-sidang BPUPK pada 1945.
Dalam konstitusi
Republik Indonesia, penempatan agama bisa dilihat pada: Pertama , Sila
Pertama Pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Pidato tanggal 1 Juni
1945 di depan sidang BPUPK tentang Pancasila Sebagai Dasar Negara, Soekarno
memaknai frasa “Ketuhanan Yang Maha Esa “ adalah :
1) Pada prinsipnya
menegaskan bahwa bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing
orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan, Tuhan-nya sendiri.
2) Pada prinsipnya,
hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat
menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa.
3) Pada prinsipnya,
segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara berkebudayaan yakni dengan cara
berakulturasi dengan kebudayaan- kebudayaan lokal bangsa Indonesia.
4) Pada prinsipnya,
Ketuhanan yang berbudi pekerti luhur, dengan sikap saling hormat menghormati
sesama pemeluk agama dan kepercayaan. Indonesia adalah negara yang ber-Tuhan
dan segenap agama yang ada di Indonesia ini mendapat tempat dan perlakuan
yang sama, oleh karena itu, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masingmasing dan beribadat menurut agama dan
kepercayaannya.
Kedua, penyebutan
frasa “Atas Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa”, di dalam alinea ketiga
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah satu bentuk pengakuan rasa syukur
bangsa Indonesia kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa. Artinya, tanpa ada “campur
tangan” Tuhan melalui Rahmat dan Berkat- Nya, kemerdekaan bangsa Indonesia
tidak akan terwujud. Karena itu, ini sekaligus menjadi bukti bahwa bangsa
Indonesia adalah bangsa yang religius, di mana ajaran agama tidak hanya
diyakini, tetapi juga mengamalkan ajaran agama.
Ketiga, negara
Indonesia ialah negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Sebab itu, Undang-Undang Dasar harus
mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara
untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh
cita-cita moral rakyat yang luhur.
Keempat, secara tegas
dinyatakan bahwa dalam mencapai empat tujuan bernegara itu, Indonesia
diselenggarakan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil
dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi
Seluruh Rakyat Indonesia.
Kelima, dalam Pasal 28
E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dinyatakan, “Setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara
dan meninggalkannya serta berhak kembali”. Hal ini bermakna bahwa
kebebasan beragama dan beribadat menurut agamanya merupakan hak asasi manusia
yang dijamin konstitusi.
Keenam, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 membuat satu khusus tentang agama,
yang tidak mengalami perubahan ketika diamendemen yakni Bab XI, Pasal 29 ayat
1 dan 2, yang menyatakan 1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. 2)
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Tidak adanya perubahan baik bab, pasal, maupun isi tentang agama sebagai
bukti bahwa agama memiliki landasan konstitusi tegas dan jelas. Sekalipun
Indonesia bukan negara yang berdasarkan agama.
Turunan dan
implementasi Pancasila dan UUD 1945 tersebut, dalam melahirkan beberapa
Undang-Undang, yakni : 1) UU No 1/1974 tentang Perkawinan. 2) UU No 12 / 2005
tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak- Hak Sipil dan Politik.
3) UU No 23/ 2011 tentang Pengelolaan Zakat. 4) UU No 13/2008 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji. 5) UU No 34/2014 Pengelolaan Keuangan Haji. 6)
UU No. 41/ 2004 tentang Pengelolaan Wakaf. 7) UU No 33/2014 tentang Jaminan
Produk Halal. 8) UU No 21/2008 tentang Perbankan Syariah.
Kendati demikian,
realitas di masyarakat menunjukkan:
1) Masih sering
terjadi konflik umat beragama; baik yang intra maupun yang antarumat beragama,
termasuk umat beragama dengan pemerintah.
2) Masih ada perebutan
rumah ibadah, baik intra maupun antarumat beragama.
3) Belum ada payung
hukum berupa undangundang yang mengatur perlindungan umat beragama, termasuk
bagi mereka dalam menjalankan ibadah puasa Ramadan.
4) Undang-undang yang
ada masih hanya menyangkut “kepentingan” agama tertentu, belum semua agama.
5) Payung hukum yang
ada baru sebatas surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri tentang pendirian
rumah ibadah.
Inilah saya kira tantangan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menyangkut kehidupan keagamaan di
negara kita. Dan, memasuki bulan Ramadan 1436 H yang kurang beberapa hari
ini, kita kembali diuji dalam mewujudkan kerukunan intern dan antarumat
beragama. Perlu kesungguhan bersama dalam menjawab tantangan tersebut agar
cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia dapat terwujud.
Wallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar