Torpedo
atas Supremasi Hukum
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN SINDO, 23 Mei 2015
Melihat
situasi Indonesia sekarang ini: Sebenarnya lebih kuat mana antara politik dan
hukum? Supremasi hukum ataukah supremasi politik yang berlaku di Indonesia
ini?
Itulah
pertanyaan yang sering diajukan kepada saya baik saat memberi kuliah di
kampus-kampus maupun melalui forum-forum lain, termasuk media sosial. Jawaban
teoretisnya, sih, mudah. Menjawab yang mana pun pasti ada teorinya. Menurut
konstitusi Indonesia adalah negara hukum. Tetapi dalam praktiknya hukum
selalu ditorpedo oleh kekuasaan politik.
Banyak
ketentuan hukum yang ditabrak oleh kekuasaan politik dan hukum menjadi tak
berdaya. Secara teoretis, memang tidak sulit memberikan jawaban atas
pertanyaan tersebut. Masalahnya apakah akan dilihat secara das Sollen (keharusan ideal) ataukah
secara das Sein (kenyataan yang ada
di depan mata). Kalau secara das Sollen,
karena Indonesia adalah negara hukum maka tak bisa ditawar, hukumlah yang
harus supreme.
Supremasi
hukum menggariskan hidup bernegara yang semuanya harus berdasar hukum, tunduk
pada hukum, dan kalau ada konflik harus dikembalikan pada hukum. Tetapi
secara das Sein, prinsip supremasi
hukum tidak selalu bisa muncul. Hukum kerap dikalahkan oleh politik sehingga
yang muncul dalam kenyataan adalah supremasi politik.
Munculnya
supremasi politik di atas supremasi hukum sebagai das Sein itu pun ada
penjelasan teoretisnya, yakni kenyataan bahwa hukum adalah produk politik.
Hukum dalam artinya sebagai peraturan resmi, terutama sebagai peraturan
perundang-undangan, merupakan produk politik sebab hukum hanya bisa dibuat
melalui keputusan politik.
Tidak
ada satu pun hukum dalam arti sebagai peraturan resmi yang bisa berlaku
sendiri tanpa diberlakukan oleh keputusan politik. Semua aturan hukum berlaku
karena keputusan pemegang kekuasaan politik yang memberlakukannya
Pemberlakuan hukum oleh otoritas politik itu terjadi dengan resultante atau
ke-sepakatan baik karena musyawarah yang fair, tukar-menukar kepentingan
antaraktor politik maupun karena dominasi satu kelompok politik pemenang.
Secara
teoretis pula, karena hubungan antara politik dan hukum yang seperti itu,
maka dalam penyelenggaraan negara akan selalu terjadi tolak tarik antara
politik dan hukum dan dalam tolak-tarik itu politik cenderung selalu menang.
Mengapa? Karena energi politik selalu lebih besar daripada energi hukum.
Bagaimanapun,
pembuatan dan pemberlakuan hukum sangat bergantung pada kekuasaan politik.
Itulah das Sein-nya, demikianlah faktanya. Kalau politik sudah sampai pada
tahap kalap maka hukum bisa ditabrak. Caranya bisa bermacam- macam. Ada yang
bermain kasar dengan menggunakan kekuasaan secara sepihak, membuat tafsir
hukum sendiri yang kemudian dipaksakan atas nama kekuasaan.
Bisa
juga pemaksaan politik itu dilakukan secara lebih halus yakni mengubah aturan
hukum agar sesuai dengan kehendak kekuasaan politik. Jika suatu aturan hukum
yang berlaku menghambat kepentingan politik yang berkuasa, aturan hukum itu
diubah dengan kekuasaan politik agar bisa memuaskan syahwat politik para
pemegang kekuasaan itu.
Pada
masa lalu, bahkan banyak hukum atau peraturan perundang-undangan yang sengaja
dibuat untuk membenarkan satu keinginan penguasa yang sebenarnya tidak layak
agar menjadi layak dan tidak salah menurut ”formalitas” hukum. Jadi kalau
secara teoretis saja tidaklah sulit untuk menemukan teori dan menjelaskan
fenomena tolak-tarik antara hukum dan politik itu.
Kalau
ditanya, lebih supreme atau lebih kuat yang mana antara kedua subsistem
kemasyarakatan, politik dan hukum, tersebut maka jawabannya bisa bergantung
pada teori mana yang akan dipakai, das Sollen ataukah das Sein. Namun,
masalah lemahnya hukum di hadapan politik tidak bisa hanya dijelaskan
teori-teori yang relatif itu.
Negara
kita ini menganut prinsip supremasi hukum bukan hanya teori, melainkan juga
sebagai kesadaran etik dan moral. Itulah sebabnya ada pedoman etik dan moral
dalam kehidupan bernegara kita, yakni meskipun dalam faktanya hukum merupakan
produk reslutante atau kesepakatan politik, tetapi jika hukum sudah
ditetapkan, maka semua harus tunduk pada hukum.
Yang
membuat hukum pun harus tunduk pada hukum yang dibuatnya. Di sinilah kita
harus meletakkan pemahaman supremasi hukum dalam hidup bernegara yang
berdasar konstitusi. Pada titik ini, saat hukum sudah diberlakukan secara sah
maka kedigdayaan politik harus tunduk pada supremasi hukum.
Pertanyaan
berikutnya: bagaimana jika terjadi konflik kepentingan yang kemudian
menimbulkan perbedaan penafsiran atas aturan hukum? Kalau itu yang terjadi
maka serahkanlah ke pengadilan agar diputus oleh hakim yang diberi otoritas
memutus oleh negara. Di dalam prinsip supremasi hukum siapa pun, termasuk
pemerintah dan partai politik, harus tunduk pada putusan pengadilan.
Di mana
pun di dunia ini berlaku kaidah hukmul haakim yarfahukmul haakim yarfaul
khilaaaf: putusan hakim mengakhiri konflik dan harus diikuti. Kalau kaidah
ini tidak diikuti, negara bisa kacau balau. Bagaimana jika dilakukan upaya
hukum banding atas putusan pengadilan? Tentu saja boleh.
Supremasi
hukum menyediakan jalan mulai dari banding, kasasi, sampai peninjauan kembali
(PK). Tetapi ada dasar etik, moral, dan rasionalitas publik (public common sense) dalam upaya hukum
itu. Ia tak boleh dilakukan atas dasar mau menang sendiri, akal-akalan,
mengulur-ulur waktu, dan sebagainya.
Apalagi
kalau disertai upaya mempengaruhi hakim, baik dengan kekuatan politik maupun
kekuatan uang. Kalau itu yang dilakukan maka tak ada arti lain kecuali
torpedo atas supremasi hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar