Strategi
Diplomasi Pasca-Death Penalty
Tantowi Yahya ; Wakil Ketua Komisi I DPR RI
|
MEDIA INDONESIA, 12 Mei 2015
Indonesia menjadi
sorotan dunia atas eksekusi hukuman mati terhadap sejumlah terpidana kasus
narkoba belum lama ini. Meskipun berbagai kecaman dan tekanan datang dari
masyarakat internasional, Pemerintah Indonesia mengirim sinyal tak akan
menghentikan eksekusi berikutnya.
Sejauh ini opini di
masyarakat terbelah antara mendukung dan menentang eksekusi mati. Pihak yang
mendukung menyandarkan argumennya pada ”kedaulatan hukum” Indonesia,
sementara yang menentang mempersoalkan kelayakan hukuman mati dilihat dari
kacamata hak asasi manusia (HAM). Penulis sendiri memahami kekecewaan
masyarakat dunia terhadap hukuman mati.
Namun, sebagai bangsa,
kita memiliki kedaulatan, termasuk kedaulatan dalam bidang hukum. Oleh karena
itu kita harus mendukung kebijakan yang sudah diambil oleh negara, dalam hal
ini Presiden Joko Widodo (Jokowi). Meski demikian, karena interaksi
antarnegara berjalan dinamis, dibutuhkan strategi yang tepat untuk mengelola
isu death penalty sehingga tidak mengganggu agenda politik luar negeri kita.
Justru kita harus bisa
mengubah krisis tersebut menjadi peluang (from
crisis to opportunity). Kementerian Luar Negeri (Kemlu) sebagai pihak
yang berada di depan dalam diplomasi internasional menghadapi berbagai
tantangan selepas hukuman mati tersebut.
Tantangan dimaksud di
antaranya kelanjutan kerja sama Selatan-Selatan yang didorong Indonesia
setelah peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) beberapa waktu lalu.
Presiden Jokowi secara lugas mengatakan tidak percaya lagi dengan World Bank,
Asian Development Bank (ADB) maupun International Monetary Fund (IMF). Atau
dalam bahasa Jokowi, ”menghilangkan dominasi negara ke negara lainnya”.
Hal itu akan
direalisasi dengan penguatan kapasitas ekonomi negara-negara Selatan agar
tidak lagi tergantung pada tiga lembaga tersebut (baca: Utara atau negara
maju). Meskipun sejumlah data yang dikutip Jokowi tentang utang Indonesia ke
IMF dibantah oleh Menkeu Bambang Brodjonegoro, kita anggap itulah sikap
Presiden Jokowi terhadap World Bank, ADB, dan IMF.
Pentingnya Dukungan Negara Sahabat
Pada titik ini, dengan
adanya hukuman mati, ambisi Indonesia untuk menjadi ”poros” ekonomi di antara
negara-negara Selatan dipastikan tak akan mudah. Paling tidak ada tiga alasan
yang dikhawatirkan penulis akan menjadi penghalang. Pertama, reaksi keras yang
ditunjukkan Brasil (salah satu anggota BRICS, yang cukup pesat kemajuan
ekonominya) setelah hukuman mati kepada dua warganya.
Selain Brasil,
beberapa warga negara Afrika juga menjalani eksekusi mati dan ini
mengakibatkan diplomasi Indonesia di Afrika juga tak akan ringan. Terlebih
saat ini muncul protokol di Afrika untuk penghapusan hukuman mati sebagai
bagian dari penghargaan HAM di Afrika. Kedua, hukuman mati akan mengganggu
hubungan Indonesia dengan negara-negara Utara.
Sebagian
besar negara-negara di Amerika Utara, Eropa, dan Australia sudah meratifikasi
pelarangan hukuman mati. Sebagaimana kita ketahui, negara-negara tersebut
memberikan reaksi keras sebelum dan setelah eksekusi dilakukan di Indonesia.
Dalam kaitan dengan diplomasi, reaksi keras mereka dapat dipahami.
Negara-negara
di atas selama 10 tahun terakhir kerap mendukung Indonesia, baik saat
menghadapi krisis maupun dalam panggung diplomasi. Saat bencana tsunami di
Aceh, 2004, negara-negara Utara banyak terlibat dalam rekonstruksi dan
rehabilitasi Aceh. Di panggung politik internasional, negara-negara tersebut
juga secara sungguh-sungguh telah memberikan dukungan kepada Indonesia
seperti pada saat pencabutan embargo militer AS kepada TNI, pembukaan kembali
rute penerbangan langsung Jakarta ke Amsterdam dan London, serta penguatan
kerja sama bidang pendidikan, budaya dan pariwisata dengan Australia.
Di
forum PBB, Indonesia yang sejak 1998 seolah ”terlempar dari panggung dunia”,
karena berbagai kasus pelanggaran HAM, sejak 2006 secara bertahap mendapatkan
kembali kepercayaan dari negara-negara Barat. Indikator naiknya posisi
Indonesia di panggung internasional dapat juga dilihat dari terpilihnya
Indonesia di sembilan badan PBB dan organisasi internasional lainnya.
Pada
badan-badan tersebut, Indonesia terpilih dengan rata-rata angka dukungan yang
cukup tinggi, sekitar 165 dari 192 anggota PBB. Bahkan Indonesia juga
dipercaya masuk ke dalam Dewan HAM PBB dan Dewan Keamanan (DK), sesuatu yang
di masa lalu sangat mustahil mengingat track record kita yang dianggap
sebagai negara pelanggar HAM. Bahkan, pada November 2007, Indonesia akan
menjadi ketua sidang DK PBB, menggantikan Prancis.
Atas
sejumlah capaian itu, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan Indonesia saat
ini merupakan negara paling dinamis dan penting di Asia-Pasifik. Dalam
konteks politik luar negeri Presiden Jokowi, menjadi agenda penting bagi
pemerintah untuk mempertahankan dan meningkatkan semua capaian tersebut
melalui serangkaian ”jurus-jurus” diplomasi yang mumpuni. Namun harapan
tersebut seakan membentur tembok selepas hukuman mati dilaksanakan.
Di
sinilah penulis melihat perlunya Kemlu dan jajarannya membuktikan diri mampu
mengubah krisis menjadi peluang. Ketiga, perlindungan terhadap TKI yang terancam
hukuman mati di berbagai negara. Data BNP2TKI menunjukkan, saat ini
setidaknya ada 279 TKI yang menghadapi hukuman mati di seluruh dunia. Jumlah
ini tentu bukan sekadar angka, melainkan jiwa manusia yang harus diupayakan
semaksimal mungkin untuk diselamatkan.
Jujur
kita katakan, belum ada upaya maksimal dari pemerintahan Jokowi untuk bisa
menyelamatkan TKI kita di luar negeri. Harapan akan nyawa TKI yang bisa
diselamatkan tampaknya makin tipis seiring pelaksanaan hukuman mati oleh
Pemerintah Indonesia. Negara-negara lain akan melihat apa yang kita lakukan
dan menjalankan hukuman yang sama kepada warga kita. Tiga titik krusial
itulah yang harus dijawab Presiden Jokowi dalam waktu dekat.
”Diplomat Super”
Dalam
upaya ke sana, meskipun berat, selalu ada jalan untuk mencari solusi. Selalu
ada kemungkinan, sekecil apa pun peluangnya. Maka dari itu diperlukan
strategi ekstra dari pemerintah, khususnya Kemlu sebagai garda terdepan
politik luar negeri (polugri) bangsa. Salah satu cara yang harus dilakukan adalah
memperkuat barisan diplomat dengan diplomat yang memiliki kapasitas, jam
terbang, dan pengalaman mumpuni, khususnya mereka yang akan bertugas di
negara-negara yang memiliki masalah dengan Indonesia selepas hukuman mati.
Diplomat
jenis ini harus memiliki kemampuan lobi, keuletan dalam negosiasi, kecakapan
dalam debat, dan kemampuan sebagai seorang marketer. Tanpa itu efek hukuman
mati hanya akan menjadi bencana yang sulit disembuhkan. Di tengah harapan
akan munculnya ”diplomat-diplomat super” tersebut, saat ini kita samarsamar
terdengar isu banyaknya orang non-Kemlu yang masuk sebagai calon dubes untuk
mengisi beberapa pos penting di luar negeri.
Penulis
menilai akomodasi merupakan hal yang wajar dalam politik bila takarannya
tepat, tidak berlebihan. Tapi untuk sektor-sektor krusial seperti Kemlu,
seharusnya politik akomodasi tersebut tidak dilakukan, paling tidak untuk
masa sekarang. Sebab yang kita hadapi bukan sekadar mengurus perusahaan,
melainkan menyangkut nyawa 279 TKI yang terancam hukuman mati di luar negeri,
citra Indonesia sebagai negara demokratis, dan pertumbuhan ekonomi kita.
Penulis mengharapkan agar Kemlu dengan diplomat-diplomat profesional dan
kompeten benar-benar menjadi garda terdepan diplomasi di tengah situasi
krisis saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar