Semiotika
Isra Mikraj
Muhbib Abdul Wahab ; Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
|
KORAN SINDO, 15 Mei 2015
Isra Mikraj Rasulullah SAW merupakan peristiwa luar biasa, bahkan
dianggap ”tidak masuk akal” (irasional) karena supercepatnya perjalanan
Mekkah-Baitul Maqdis-Sidratul Muntaha dan kembali lagi ke Mekkah yang
ditempuh kurang dari satu malam.
Kemajuan sains dan teknologi saat itu memang belum mampu menjelaskan
perjalanan spiritual (spiritual journey)
itu secara ilmiah. Namun, seiring dengan kemajuan teknologi digital dewasa
ini, peristiwa Isra Mikraj bukan hanya wajar dan rasional bagi Nabi SAW,
melainkan juga menginspirasi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
misalnya pembuatan pesawat supersonik, telekomunikasi nirkabel, jaringan
internet dan satelit, dan sebagainya.
Peristiwa Isra Mikraj terjadi pada tahun ke-10 kenabian setelah Nabi
SAW mengalami masa-masa sulit dan penuh ujian dalam berdakwah di Mekkah. Saat
itu Nabi SAW diuji keteguhan imannya oleh Allah SWT dengan wafatnya istri
tercinta, Khadijah, dan paman beliau, Abu Thalib, yang selalu membela
perjuangan dakwahnya.
Tahun dukacita (‘amul khuzni)
ini menandai betapa mentalitas Nabi SAW begitu kuat menerima segala macam
cobaan, di samping permusuhan yang sangat sengit dan tiada henti dari kaum
kafir Quraisy sehingga wajar jika kemudian Allah ”menghiburnya” dengan
memperjalankannya menuju Sidratul Muntaha untuk beraudiensi langsung
dengan-Nya.
Perjalanan dan prosesi Isra Mikraj sungguh sarat dengan tanda-tanda
yang kaya dengan pesan-pesan mulia untuk umat manusia. Salah satu tujuan
Allah memperjalankan Nabi SAW dalam prosesi Isra Mikraj adalah
”mendemonstrasikan” tandatanda kebesaran-Nya.
Allah SWT berfirman: ”Mahasuci Allah yang telah memperjalankan
hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa yang telah Kami
berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan (demonstrasikan) tanda-tanda
kebesaran Kami...” (QS al-Isra, ayat 1). Karena itu, peristiwa sakral ini
sangat menarik dipahami dan dinarasikan dengan pendekatan semiotika karena
dalam peristiwa ini terdapat aneka tanda yang sangat sarat dengan makna dan
pesan kehidupan.
Isra dan Masjid
Simbol Persatuan
Isra merupakan simbol perjalanan suci pada malam hari yang penuh
keheningan dan kedalaman makna. Perjalanan ini dimulai dari Masjidilharam
menuju Masjidilaqsa di Baitul Maqdis, Palestina. Secara semiotik, masjid
melambangkan kesucian sekaligus persatuan. Pesan moral yang dapat dipetik
dari perjalanan lintas masjid ini adalah pendakian spiritual menuju Tuhan itu
harus dimulai dari penyucian hati dengan menjadikan masjid sebagai basis
persatuan, pengabdian, dan perjuangan.
Masjid adalah pusat unifikasi, penyatuan, dan persatuan umat. Dari
Masjidilharam Nabi SAW bertitik tolak menuju Sidratul Muntaha dengan
”transit” terlebih dahulu di Masjidilaqsa di Baitul Maqdis (Rumah Kesucian).
Saat transit di Masjidilaqsa, Nabi SAW melaksanakan salat dua rakaat di dalamnya.
Di masjid ini pula Nabi SAW dipertemukan dengan para nabi sebelumnya dan Nabi
SAW didaulat menjadi imam salat bagi mereka.
Peristiwa ini melambangkan persatuan visi dan misi tauhid para nabi dan
rasul dalam membebaskan umat manusia dari penjajahan akidah (syirik) menuju
cahaya iman. Mengapa Masjidilaqsa menjadi ”titik temu” dan reuni para nabi
dan rasul? Karena, di Baitul Maqdis inilah para nabi dan rasul pernah
mendakwahkan agama Allah.
Sekurang-kurangnya Ibrahim AS, Musa AS, Sulaiman AS, dan Isa AS pernah
menjadikan Baitul Maqdis sebagai tempat suci dan pusat penyatuan ibadah
mereka. Agama Yahudi, Nasrani, dan Islam bersumber dari sumber yang sama
yaitu Tuhan Yang Maha Esa, mengajarkan iman tauhid yang sama, dan
berorientasi kepada persatuan dan kesatuan umat.
Jika asal-usul agama samawi (Abrahamic
religions) itu satu, sejatinya perjalanan Isra merupakan simbol yang
menunjukkan makna bahwa umat beragama itu mestinya bersaudara, tidak gampang
berpecah belah, apalagi terlibat konflik dan perang saudara. Semua agama
tersebut sama-sama menghormati kesucian tempat ibadah mereka.
Lambang-lambang kesucian itu ”dibingkai” dalam sebuah nama masjid:
tempat bersujud, pusat sakralitas, dan kesucian hati. Hati yang suci, dari
pemeluk agama mana pun, pasti memancarkan pemikiran yang jernih, sikap dan
tindakan yang mulia, dan jauh dari kekerasan, anarkisme, konflik, apalagi
peperangan. Kesucian masjid merupakan simbol persatuan dan perdamaian abadi.
Mikraj Simbol
Pendakian Spiritual
Jika Isra melambangkan perjalanan horizontal, lintas masjid, lintas
agama, lintas sosialbudaya, dan lintas peradaban, Mikraj dari Masjidilaqsa
menuju Sidratul Muntaha (puncak spiritualitas) menunjukkan tanda perjalanan
vertikal, perjalanan mendaki, lintas langit, lintas planet, lintas alam
menuju sebuah puncak transendensi dan spiritualitas kehidupan.
Di Sidratul Muntaha inilah Nabi SAW secara langsung bertemu,
beraudiensi, berdialog, dan ”bercengkerama” dengan Sang Kekasih-Nya, Allah
SWT. Menarik digarisbawahi bahwa sebelum melakukan perjalanan vertikal,
setelah keluar dari Masjidilaqsa, Nabi SAW diuji ”fit and proper test” oleh
malaikat Jibril. Beliau disodori dua gelas, masing-masing berisi khamr
(miras, narkoba, dan sejenisnya) dan susu, lalu diminta memilih salah satu
dari keduanya.
Nabi SAW memilih gelas yang berisi susu. Jibril kemudian menyatakan:
”Engkau memilih fitrah”. Artinya, Nabi SAW memilih kesucian, kesehatan,
kebaikan, dan kemuliaan karena susu itu simbol minuman terbaik untuk
kesehatan, kebaikan, dan kemuliaan perilaku peminumnya. Sebaliknya, khamr
merupakan lambang keburukan dan kejahatan.
Dengan kata lain, sebelum Mikraj atau sebelum menemui Tuhan, manusia
harus memilih fitrahnya sebagai makhluk yang cenderung menyukai kesucian,
kebaikan, kesehatan, dan kemuliaan, bukan memilih kotoran (karena khamr itu
najis), keburukan, dan kejahatan sebab menurut sabda Nabi SAW: ”Khamr itu
biang kerok segala keburukan, kekejian, dan kejahatan” (HR ad-Daruqutni).
Dalam Mikraj menuju Sidratul Muntaha, Nabi SAW dipertemukan dengan Adam
AS di langit pertama, Isa bin Maryam AS di langit kedua, Yusuf AS di langit
ketiga, Idris AS di langit keempat, Harun AS di langit kelima, Musa AS di
langit keenam, dan Ibrahim AS di langit ketujuh. Semua Nabi menyambut baik
”visitasi” Muhammad SAW dan mendoakan kebaikan baginya dan bagi umatnya (HR
al- Bukhari).
Untuk mencapai martabat yang tinggi, Nabi SAW diajak ”silaturahmi”
dengan para nabi untuk mendapat suntikan mental spiritual yang meneguhkan
imannya. ”Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi” (QS Maryam,
ayat 57). Prosesi pendakian spiritual Mikraj itu menunjukkan pentingnya
”silaturahmi spiritual” dengan para nabi senior dan doa kebaikan agar
memperoleh pencerahan dan dukungan moral dalam rangka mencapai puncak
”kenikmatan spiritual” bertemu Tuhan.
Dalam pertemuannya di Sidratul Muntaha, Nabi SAW mendapatkan perintah
dari Allah SWT untuk melaksanakan salat lima waktu. Perintah salat yang
diterima langsung di Sidratul Muntaha itu menunjukkan betapatinggi
danmulianya salatsehingga ia berfungsi sebagai tiang agama (HR at-Turmudzi,
an- Nasa’i, Ahmad, Baihaqi, Ibn Majah, dan at-Thabarani). Di akhiratkelak,
yangpalingpertamadiperhitungkan (dihisab) oleh Allah adalah salat.
Karena itu, salat menjadi barometer baik dan tidak kinerja seorang
muslim. Jika salat yang dikerjakannya baik (ikhlas, khusyuk, dan bermakna),
niscaya semua kinerjanya baik. Sebaliknya, jika salatnya buruk, semua
kinerjanya juga buruk (HR at-Turmudzi, an-Nasa’i, Ibn Majah, Ahmad, dan
at-Thabarani). Salat sebagai tiang agama (‘imaduddin) melambangkan bahwa
keberislaman seseorang itu akan runtuh jika tidak menegakkan salat. Sebab
itu, salat harus efektif dan fungsional.
Salat yang efektif dan fungsional adalah salat yang sukses mengantarkan
mushalli (orang yang salat) untuk menjauhkan diri dari perbuatan keji dan
mungkar (QS al-‘Ankabut, ayat 45), termasuk korupsi dan prostitusi. Dengan
demikian, puncak pendakian seorang muslim melalui salat itu harus membuat
hidup sukses dengan tidak melakukan perbuatan tercela, menjauhkan diri dari
segala bentuk kemaksiatan, kejahatan kemanusiaan, dan kebobrokan moral.
Sebagai mikraj al-mukmin,salat idealnya merupakan simbolisasi
peningkatan harkat dan martabat mushalli sehingga ia tampil menjadi hamba
yang selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan sebaliknya, menjadi
orang yang mudah tergoda dengan tipu daya urusan duniawi.
Jalan pendakian spiritual melalui salat juga semestinya dapat memberi
relaksasi dan stabilisasi ketenangan jiwa mushalli sehingga melalui Isra
Mikraj ini sejatinya kita semua dididik untuk selalu menyucikan diri dengan
menghiasi hati, pikiran, dan perbuatan dengan keluhuran moral, kecerdasan
intelektual, kesalehan sosial, dan rasa kemanusiaan yang universal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar