Semiotik
Suara Peringatan Megawati
Stanislaus Sandarupa ; Dosen Antropolinguistik
pada Fakultas Ilmu-ilmu Budaya, Universitas
Hasanuddin
|
KOMPAS, 09 Mei 2015
Ada persoalan tersisa
dari Kongres IV PDIP di Bali, April 2015, menyangkut pemberian salam dan
identitas kepartaian dalam budaya politik demokrasi.
Dalam dunia politik
ada pandangan yang mengatakan: loyalitas
terhadap partai berhenti ketika seorang terpilih jadi Presiden. Pandangan
ini dibantah Megawati dalam pidatonya yang dihadiri Presiden Joko Widodo dan
Wakil Presiden Jusuf Kalla, ”Ingat
kalian adalah petugas partai. Petugas partai itu adalah perpanjangan tangan
dari partai. Kalau kalian tidak mau disebut sebagai petugas partai, silakan
keluar dari partai.”
Bagaimana kita
memahami tindakan sosial politik Megawati dalam pidato ini?
Teks denotasi
Perhatian pertama-tama
diarahkan pada teks denotasi, yaitu semua kegiatan pemakaian bahasa dalam
pidato, terutama isyarat-isyarat (cues) yangdipakai untuk menghasilkan dasar
kerangka interpretasi. Megawati memakai kata ’mengatakan’, verbum discendi,
’ingat’ yang kata kerjanya mengingatkan, yaitu mengatakan sesuatu dalam cara
tertentu seperti mengingatkan kewajiban. Terlebih lagi mengingatkan masuk
kategori kata kerja performatif, yaitu ia terjadi dengan
mengatakannya.Mengingatkan juga punya dimensi kesepakatan masa lampau yang
berlatartulisan tangan, janji, wacana kerakyatan, ideologi, dan getirnya
perpecahan selama kampanye politik.
Banyak interpretasi
pidato dalam media melenceng karena kata mengingatkan diganti, misalnya
dengan kata ’menegaskan’. Menegaskan berarti mengatakan dengan tegas, tidak
ragu-ragu. Interpretasi ini semakin tidak tepat jika kata menegaskan
dikaitkan dengan bentuk tuturan perintah disertai dengan kata kalian.
Tidak ada koherensi
antara menegaskan dan memerintahkan. Ia hanya koheren dengan menyatakan.
Mengingatkan koheren dengan memerintahkan sebagai kontekstualitas.
Dengan demikian,
verbum discendi, bentuk perintah, performatif, kata-kata kalian dan petugas
partai merupakan isyarat-isyarat yang menunjuk ciri-ciri setting yang dapat
menghasilkan kerangka interpretif.
Teks interaksional
Sebagai tindakan
sosial politik, interpretasinya tidak dicari dalam makna kata yang dipakai,
tetapi lebih dari itu. Di sini dipakai dua konsep, yaitu indeks dan suara
yang saling berkaitan.
Indeks merupakan
keterhubungan dua elemen secara kausal, kebersamaan, dan persentuhan
(Silverstein 2003). Adalah sejumlah isyarat di atas yang menghubungkan teks
denotasi dan teks interaksional sebuah konstruksi hubungan sosial,
identifikasi diri dan lain sebagai kelompok sosial tertentu.
Isyarat mengingatkan
terjadi antara pengingat dan pelupa. Ia muncul dalam bentuk perintah yang
performatif. Salah satu syaratnya adalah yang memberikan perintah
berkedudukan lebih tinggi daripada yang diperintah (Austin 1962). Untuk itu,
pemakaian kata kalian untuk semua kader PDIP—entah itu yang di legislatif
atau eksekutif—menjadi tepat sekali apalagi dengan menyebut mereka petugas
partai, termasuk Jokowi dan Kalla. Tidak ada kekacauan bahasa politik,
malahmembangun satu pidatokontekstual koheren.
Kedua, konsep suara
atau voice (Bakhtin 1981 [1935]) menjelaskan satu cara bagaimana isyarat
indeks menerangi konteks relevan. Konsep ini berkaitan dengan stratifikasi
dan keragaman dalam bahasa. Bakhtin berpendapat bahasa sudah diambil alih
secara keseluruhan, penuh dengan intensi dan aksen. Setiap kata sudah punya
selera profesi, genre, partai, dan lain-lain.Bahasa hidup dalam konteks.
Dalam kampanye politik
di Jawa pada 2014, misalnya, Megawati pernah meminta rakyat memilih Jokowi
dengan mengatakan: ”pilihlah si kerempeng ini”. Kata ini lalu diambil alih
lawan politik dan menjadi metafor utama dalam ”Sajak Seekor Ikan”-nya Fadli.
Baik dalam kampanye maupun dalam puisi, kata kerempeng punya makna sama,
yaitu sangat kurus sehingga tulang rusuk tampak menonjol.
Namun, kata ini
mengindeks suara berbeda dua kelompok yang berseteru pada saat kampanye.
Suara Megawati adalah kedekatan, keakraban, dan kesamaan identitas dengan
Jokowi, sedangkan suara Fadli menyorot relasi antara ikan hiu (Megawati) yang
akan memangsa ikan kecil (Jokowi) di lautan lepas. Dengan demikian, berbicara
lewat suara berarti memakai kata-kata yang mengindeks posisi-posisi sosial.
Kata-kata mencirikan anggota- anggota kelompok tertentu.
Pidato Megawati lewat
mediasi isyarat-isyarat verbal mengonstruksi dua posisi interaksional dan
mendialogkan dua suara internal PDIP : pemimpin dan yang dipimpin. Presiden
partai adalah Megawati, yang dipimpin adalah anggota dan kader partai.Sebagai
pimpinan tertinggi ia berkuasa penuh dan memerintahkan kader yang bertugas di
legislatif dan eksekutif untuk keluar dari partai kalau tidak mau disebut
petugas partai.
Perintah keras ini
keluar dalam situasi politik kacau seperti banyaknya bunuh diri dan
pembunuhan, narkoba dan begal, tidak dilantiknya Budi Gunawan sebagai Kepala
Polri dan lengsernya Abraham Samad sebagai Ketua KPK, kurs rupiah terhadap
dollar AS terus melemah, perhatian masyarakat ke batu akik agar lupa kondisi
sosial ekonomi di mana harga beras, lombok, dan bawang membubung tinggi,
serta masalah kepartaian Golkar.
Masyarakat mulai
mempertanyakan makna sebuah blusukan. Semakin memakmurkan rakyat kah suatu
ideologi besar PDIP atau semakin menyengsarakankah mereka lewat praktik
sirkulasi uang membangun proyek-proyek raksasa, mengenyangkan elite dengan cara
meniadakan subsidi BBM?
Pelajaran demokrasi
Pelajaran terpenting
kehidupan demokrasi yang dapat ditarik dari pidato Megawati, pertama,
berkaitan dengan mentalitas dan cara berpikir kontekstual. Pidato
menggambarkan bahwa ideologi PDIPsama dengan ideologi semua, ideologi
kerakyatan untuk kemakmuran rakyat. Presiden Indonesia milik semua dan suara
memperjuangkan rakyat dilakukan petugas partai.
Kedua, manusia adalah
makhluk menjadi yang berpindah dari satu peran ke peran lain. Ketika Jokowi
sudah menjadi Presiden, ia ke Singapura menghadiri wisuda anaknya naik
pesawat Garuda, duduk di bangku tempat orangtua-orangtua yang anaknya
diwisuda.
Demikian pula ketika
ia menghadiri Kongres PDIP. Posisinya dikonstruksi bukan sebagai Presiden
Indonesia melainkan petugas partai di eksekutif yang berhadapan dengan
presiden partai. Berpikir demokratis adalah berpikir kontekstual. Janganlah
setelah Presiden lalu ia menjadi presiden di semua konteks, bahkan anak-istri
lebih seperti presiden, dan seterusnya. Kita angkat topi pada Presiden dan
PDIP dalam hal ini.
Tulisan ini memiliki
keterbatasan dalam hal ia didasarkan pada data televisi dan internet serta
berita di Kompas. Ia berada di bawah bayang-bayang allegory of the cave Plato. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar