Refleksi
Enam Bulan Nawacita
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald Kasali
|
KORAN SINDO, 30 April 2015
Banyak penggemar sepak
bola yang tidak habis mengerti bagaimana tim sehebat Brasil bisa dibantai 1-7
oleh Jerman pada Piala Dunia 2014.
Apalagi pertandingan
itu dilakukan di Brasil. Juga bagaimana Spanyol yang juara Piala Dunia 2010
dan juara Piala Eropa 2012 bisa takluk telak 1-5 kepada Belanda? Di tingkat
klub-klub Eropa sampai sekarang kita masih bingung dengan Barcelona yang
kalah 0-7 secara agregat dari Bayern Muenchenpada semifinal Liga Champions
2012/2013.
Atau Bayern Muenchen
yang ditumbangkan Real Madrid 0-4 pada pertemuan kedua semifinal Liga
Champions 2013/2014. Jawabannya kita tahu beberapa waktu kemudian. Baik
pelatih tim Brasil, Spanyol, Barcelona atau Bayern Muenchen mengakui mereka
salah menerapkan strategi. Begitulah, tim sehebat apa pun, penuh dengan
pemain bertalenta, bisa tak berkutik ketika sang dirigen, pelatihnya, salah
menerapkan strategi.
Kasus di Perusahaan
Kasus serupa terjadi
di dunia bisnis. Saya bersahabat dengan banyak eksekutif, baik di lingkungan
BUMN maupun swasta. Beberapa di antaranya terkesan sangat hebat dalam
mengkritik program orang lain. Ia paham betul tentang industrinya. Kita bisa
terkagum-kagum mendengarkan paparannya.
Tapi apa yang terjadi
ketika dia diminta memimpin perusahaan yang tengah bermasalah atau yang
industrinya agak bergejolak? Kinerja perusahaannya ternyata kurang optimal.
Ini sama persis dengan menterimenteri yang terkesan hebat. Ada apa? Kita
tahu, memimpin perusahaan besar, apalagi kementerian, tak bisa lagi memakai
gaya one man show.
Semua harus diurus
bersama. Kita tak membutuhkan superman, tetapi superteam. Kata Henry Ford, “Coming together is a beginning. Keeping
together is progress. Working together is success.” Usahakanlah mimpi di
kasur yang sama ya harus sama, supaya selaras.
Dalam banyak kasus,
saya lihat persoalan utama yang dihadapipara CEO adalah soal membangun culture dan chemistry. Sebagai CEO, teman saya yang lain, membangun suasana
kerja yang informal dan organisasi yang flat agar pengambilan keputusan bisa
cepat. Untuk itu ia ingin mengembangkan robbust discussion di perusahaannya.
Dalam robbust
discussion, sebelum rapat diselenggarakan, isu-isu penting harus dibahas dulu
secara informal dalam suasana yang santai. Sambil minum kopi, bisa di ruang
kerja, kafe, bahkan sambil makan siang. Intinya kesepakatan sudah harus
dicapai sebelum kita masuk ruang rapat. Jadi begitu di ruang rapat, kita
hanya tinggal ketok palu. Tapi, itu ternyata tidak terjadi.
Para eksekutif yang
ada di bawahnya telanjur terbentuk dalam kultur yang agak birokratis. Mereka
terlalu takut mengambil keputusan. Mereka lebih suka keputusan diambil
bersama-sama di ruang rapat yang ada notulensi dan kata putus disertai
ketukan palu. Akibatnya banyak hal mesti diambil lewat jalur formal. Bahkan
untuk masalah-masalah sepele sekalipun.
Anda tahu akibatnya?
Pertama, agenda rapat jadi bertumpuk-tumpuk. Sebentarsebentar rapat. Tapi,
celakanya ini rupanya cocok betul dengan selera para eksekutif tadi. Sebab
dengan mengikuti banyak rapat, dia jadi kelihatan sibuk bekerja. Kedua,
begitu masuk rapat, suasana pun jadi serbaformal. Diskusi tidak cair.
Debat menjadi kurang
hangat. Hanya begitu ada ucapan yang menyinggung satu pihak, mereka akan
ngotot habis-habisan mempertahankan argumentasinya. Bukan demi kebaikan
perusahaan, tapi lebih memanjakan egonya. Begitulah, dengan suasana yang
semacam itu, akhirnya terlalu banyak formalitas di perusahaan tersebut.
Suasana menjadi kaku. Pengambilan keputusan menjadi lambat. Pada gilirannya
kinerja perusahaan pun menjadi kurang optimal.
Culture dan Chemistry
Mengurus negara
sebetulnya mirip dengan mengurus tim sepak bola atau perusahaan. Kita perlu
membangun dan memiliki culture dan chemistry kerja yang sama. Itulah yang
kurang terlihat dalam jajaran Kabinet Kerja pimpinan Presiden Joko Widodo.
Coba saja Anda amati.
Dalam rapat kabinet,
suasananya masih sama. Semua menteri (betul bahwa seharusnya demikian) hadir
lebih dulu dengan Presiden dan Wakil Presiden menyusul kemudian setelah semua
lengkap. Tapi, ketika Presiden dan Wakil Presiden akan memasuki ruang rapat,
mereka berdiri dan mengambil sikap sempurna.
Apa bedanya suasana
yang seperti itu dengan rapat-rapat pemerintahan terdahulu? Nyaris tidak ada.
Saya melihat banyak menteri yang masih sering pontang-panting, takut sekali
kalau dipanggil Presiden. Apalagi sekarang, oknum politisi dari partai
pengusungnya (dan juga dari lawan-lawannya) tak henti-hentinya bicara wacana
reshuffle .
Sudah ngebet betul
tampaknya untuk merebut jabatan menteri. Tapi ini sekaligus mengganggu
kondisi psikologis orang kerja dari kelompok profesional yang tak punya
dukungan politik kuat. Maaf saja, kini banyak beredar SMS di berbagai
kementerian, di kalangan birokrat tingkat tinggi, bahwa jabatan bapak atau
ibu menterinya sudah di ujung tanduk.
Mereka meramalkan
bosnya hanya bertahan paling lama setahun atau dua tahun. Maka jangan heran
kalau pembangkangan akan mulai jadi biasa, merusak spirit tim dan chemistry organisasi. Pada banyak
organisasi, untuk memudahkan penilaian kinerja, sudah lama diaplikasikan balanced scorecard.
Melalui aplikasi ini,
setiap orang akan memiliki key
performance indicator (KPI) atau target-target yang mesti dicapainya. Ini
saya lihat juga belum muncul. Padahal dulu ada di Kantor UKP4 yang dipimpin
Kuntoro Mangkusubroto. Beruntung Kementerian Kelautan dan Perikanan dipimpin
Susi Pudjiastuti yang “orang swasta”.
Mereka kini mulai
menerapkan appliques balanced scorecard.
Kementerian lain? Padahal, balanced
scorecard bukan hanya aplikasi pengukur kinerja. Aplikasi ini juga
memungkinkan kita “berkomunikasi dengan bahasa yang sama”. Jadi ketika kita
menilai kinerja seseorang, alat ukurnya sama. Bukan sekadar adu kuat
argumentasi atau pencitraan belaka.
Alat inilah yang
mestinya dipakai Presiden Jokowi jika ingin me-reshuffle kabinetnya.
Bukanhanyaberdasarkan bisikan, tekanan media, serbuan pasukan cyber, atau
serangan balik kelompok yang terancam. Oleh karena belum “berkomunikasi dengan
memakai bahasa yang sama”, kita lihat beberapa potret kinerja pemerintahan
masih kurang sesuai dengan Nawacita.
Contohnya, dalam
Nawacita, pemerintahan Jokowi-JK ingin memperkuat daya saing produk kita di
pasar internasional. Bagaimana realisasinya? Ekspor produk kita selama
Januari- Maret 2015 turun sampai 11,67% ketimbang periode yang sama tahun
sebelumnya. Memang ini baru enam bulan, tapi baik juga sinyal ini kita
perhatikan agar tidak nyungsep lagi.
Masih dari Nawacita,
pemerintah ingin menggencarkan upaya pemberantasan korupsi. Nyatanya? Di
mana-mana kita justru membaca berita tentang pelemahan KPK dan serangan
polisi terhadap pejuang antikorupsi. Pemerintah menargetkan wajib belajar 12
tahun yang bebas dari pungutan. Nyatanya pungutan masih terjadi. Bahkan dalam
kemasan yang lebih beragam.
Melalui Nawacita,
pemerintah ingin melakukan penegakan hukum yang bebas dari korupsi,
bermartabat, dan tepercaya. Cobalah Anda bertanya kepada Nenek Asyani. Itukah
yang ia rasakan? Kita pasti ingin memiliki tim sepak bola yang hebat. Untuk
itu kita mesti memiliki PSSI yang hebat pula. Celakanya yang terjadi
pemerintah malah membekukan PSSI.
Koordinasi tampaknya
masih menjadi persoalan besar di pemerintahan kita. Betul, warisan lama bukan
main gawatnya. Ditambah lagi pertumbuhan ekonomi Asia sedang mengalami ujian
berat, indeks harga komoditas masih melemah. Banyak pekerjaan rumah yang kini
sudah rampung di tangan pemerintahan baru.
Geraknya terasa cepat.
Tapi timnya (terutama dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi) belum
bergerak seirama, chemistry-nya belum terbentuk, dan mereka belum pandai
membaca sinyal kecuali beberapa menteri. Terlepas dari rongrongan politisi,
saya lihat Kementerian BUMN malah bagus. Karena kelak BUMN ini akan menjadi
motor penggerak yang penting bagi pertumbuhan ekonomi.
Saya merasa Presiden
Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla belum sepenuhnya menjadi dirigen dari sebuah
orkestra besar yang bernama Indonesia. Sebab, di sana, masih “terlalu banyak
kelompok yang bermain”.
Kata Lee Iacocca, “I have always found that the speed of the
boss is the speed of the team.“ Saya khawatir, kalau chemistry ini tak
diperbaiki, kali ini Iacocca keliru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar