Prostitusi
dan Privasi
Ignatius Haryanto ; Peneliti Senior di LSPP
|
KORAN TEMPO, 30 April 2015
Bagaimana kita
merespons ketika media berlomba-lomba mengungkap isi akun @tataa_chubby milik
Deudeuh Alfisahrin, perempuan yang ditemukan meninggal di kamar kosnya pada
awal April lalu? Sejumlah pihak menuding media telah melanggar privasi ketika
mengorek-ngorek isi akun tersebut, tapi di pihak lain kita juga perlu
bertanya, seberapa privatkah media sosial bernama Twitter ataupun Facebook?
Kemajuan teknologi
yang ada saat ini, termasuk munculnya perangkat gawai terbaru dan juga media
sosial, memberi cara baru untuk memasarkan dunia prostitusi. Mungkin saja
dunia prostitusi pun bertransformasi, di mana para pekerja seks komersial
kini tak lagi mengandalkan "mami", atau germo untuk mendapatkan
konsumen, karena mereka kini bisa memasarkan sendiri lewat jejaring media
sosial yang ada. Akun @tataa_chubby hanyalah salah satu akun yang terpantau
memiliki aktivitas dalam dunia prostitusi, itu pun karena adanya kasus
kriminal di dalamnya.
Apakah masih ada ruang
privat dalam dunia media sosial ini? Penulis katakan "tetap ada".
Karena privasi di sini mungkin bisa didefinisikan sebagai "sesuatu yang
tidak dibagikan atau diumumkan begitu saja kepada orang lain, atau kepada
orang yang tak ia kenal". Jika kita memeriksa akun @tataa_chubby, kita
akan melihat bahwa cuitan pemilik akun ini memang sudah jelas menunjukkan
adanya suatu penawaran atau arah menuju ke transaksi seksual.
Yang berbeda, jika hal
ini dikomunikasikan via gawai saja (misalnya SMS atau WhatsApp), interaksi
ini tak akan terbaca orang lain. Tapi ketika komunikasi ini dilakukan lewat
Twitter (ataupun Facebook, misalnya), orang lain yang terhubung (pun yang tak
terhubung) bisa melihat percakapan tersebut. Twitter memiliki fasilitas
direct message (DM) jika pesannya tak ingin dilihat orang lain, namun
komunikasi keduanya tak sepenuhnya dilakukan via DM.
Jadi, sadar atau
tidak, sebenarnya Dedeuh telah meninggalkan jejak kepada siapa pun yang
hendak memeriksa bagaimana sejarah interaksi mereka, untuk kemudian dilihat
orang banyak. Lalu, apakah mereka (baik orang biasa ataupun orang media) yang
telah membaca sejarah interaksi antarpihak, telah melanggar privasi? Rasanya
tidak, karena hal tersebut disampaikan secara terbuka. Bahwa hal ini
merupakan bagian dari perilaku "mengintip" ataupun stalking, ya,
memang betul.
Dalam hal media
membongkar akun @tataa_chubby, apakah media dapat dikatakan melanggar
privasi? Menurut saya, hal ini masih sesuatu yang bisa diterima. Akun
tersebut telah menampilkan dirinya sebagai bagian dari transaksi yang
dilakukan pemiliknya, dan akun tersebut dengan sadar dipergunakan untuk
"memasarkan" dirinya. Soal lokasi ataupun harga, menurut akun ini
adalah hal yang dianggap privat. Hal tentang privasi dalam kasus ini justru
perlu dijaga, misalnya ekspos terhadap keluarga Deudeuh, baik mantan suami
ataupun anaknya.
Rumusan etika terkait
dengan masalah privasi memang tak pernah bisa hitam-putih, karena kasus etika
yang terjadi selalu kontekstual, selalu memiliki kerumitan tersendiri dan
historis yang berbeda antara kasus satu dan kasus lainnya. Bagaimanapun juga,
kasus ini ketika menyeruak ke permukaan, mengajak kita kembali merenung apa
saja sisi gelap yang telah hadir dari kemajuan teknologi ini? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar