Polri
Mengalah, Kisruh Polri-KPK Reda
Bambang Soesatyo ; Sekretaris Fraksi Partai Golkar; Anggota
Komisi III DPR RI
|
KORAN SINDO, 06 Mei 2015
Menangguhkan penahanan
sambil terus melakukan proses hukum atas kasus yang dituduhkan kepada Novel
Baswedan, sekali lagi, menjadi jalan tengah atau opsi terbaik bagi Polri dan
pemerintah.
Berkat kemauan Polri
menahan diri alias mengalah, republik ini diharapkan makin kondusif. Entah
seperti apa jadinya suasana di negara ini seandainya Bareskrim Mabes Polri
tetap pada pendiriannya, menahan Novel Baswedan, penyidik pada Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) itu. Suasana pasti akan sangat bising karena
munculnya pro-kontra atas langkah Polri menahan Novel kendati sesuai dengan
prosedur hukum.
Publik akan frustrasi
karena harus menyaksikan lagi kisruh Polri versus KPK. Kepercayaan kepada
pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi)-Wapres Jusuf Kalla (JK) bisa ambruk
ke titik terendah karena publik akan menilai dua pemimpin tidak mampu
mengontrol dan mengendalikan dua institusi itu. Kisruh Polri versus KPK
sebelumnya masih segar dalam ingatan publik.
Apalagi, beberapa hari
sebelum penangkapan Novel, publik juga menyimak berita tentang Ketua KPK
(nonaktif) Abraham Samad yang sempat juga akan ditahan kepolisian di
Sulawesi. Kalau pada kasus Novel tidak diambil jalan tengah, persepsi
sebagian publik di negara ini terhadap pemerintah pasti akan memburuk.
Kredibilitas pemerintah praktis tertolong setelah Kapolri Jenderal Pol
Badrodin Haiti sepakat menangguhkan penahanan Novel Baswedan, dengan jaminan
lima pemimpin KPK.
Namun, juga disepakati
bahwa proses hukum kasus Novel akan berlanjut hingga dituntaskan di
pengadilan. “Kesepakatannya diproses
sampai ke pengadilan,” kata Badrodin saat jumpa pers di Mabes Polri,
Jakarta, Sabtu (2/5). Jalan tengah ini tantangan yang menarik, baik bagi
Bareskrim Mabes Polri maupun bagi Novel Baswedan. Bagi Polri, tantangannya
tak lain adalah membuktikan apa yang dituduhkan kepada Novel memang
mengandung kebenaran, yang sudah barang tentu harus didukung dengan
bukti-bukti yang memadai.
Tentu saja Polri juga
harus bisa menghadirkan saksi pelapor dan saksi-saksi lain yang diperlukan.
Sebaliknya, Novel Baswedan sudah menegaskan kesiapannya menjalani proses
hukum agar kasusnya tuntas. “Pada
dasarnya, saya ingin semua ini diselesaikan dengan tuntas. Apa pun langkah
yang akan ditempuh, saya siap menghadapi,” tegas Novel pada konferensi
pers di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (2/5).
Novel merupakan
tersangka kasus dugaan penganiayaan terhadap pelaku pencurian sarang burung
walet. Perkara ini terjadi pada 18 Februari 2004 di Pantai Panjang Ujung Kota
Bengkulu. Dalam peristiwa itu, polisi menangkap enam pencuri sarang burung
walet. Setelah diinterogasi, terjadi penembakan yang menyebabkan satu orang
tewas. Novel saat itu berpangkat inspektur satu (iptu) dan menjabat Kasat
Reskrim Polres Bengkulu.
Dia dinilai
bertanggung jawab atas penembakan itu. Kasus ini dilaporkan oleh Yogi
Hariyanto. Pada Oktober 2012, Direskrimum Polda Bengkulu Kombes Dedi Irianto
bersama sejumlah petugas dari Polda Bengkulu dan Polda Metro Jaya pernah
mendatangi KPK untuk menangkap Novel. Upaya itu gagal berkat imbauan Presiden
SBY. Belakangan kasus itu harus diproses lagi agar tidak kedaluwarsa dan
dapat dibuktikan secara hukum. Sebelum ditangkap, Novel dua kali mangkir dari
panggilan pemeriksaan.
Karena dinilai tidak
kooperatif itulah, penyidik Bareskrim Mabes Polri menciduk Novel di rumahnya
di Kelapa Gading, Jakarta Utara, Jumat (1/5) dini hari. Dia kemudian ditahan
di Mako Brimob Depok. Surat penangkapan Novel bernomor SP.Kap/19/IV/2015/
Dittipidum yang memuat perintah Bareskrim untuk membawa Novel Baswedan ke
kantor polisi untuk segera dilakukan pemeriksaan karena Novel diduga keras
bertanggung jawab atas penganiayaan yang mengakibatkan luka berat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 351 ayat (2) KUHP dan atau Pasal 422 KUHP jo Pasal 52
KUHP.
Momentum Harmonisasi
Baik kesepakatan
penangguhan penahanan Novel maupun kesepakatan melanjutkan proses hukum kasus
yang dituduhkan itu hingga ke pengadilan merupakan jalan tengah yang harus
dipilih Polri. Pilihan ini respons Polri atas permintaan (untuk tidak
mengatakan intervensi) Presiden Jokowi agar institusi negara tidak lagi
membuat langkah-langkah yang kontroversial karena kontroversi seringkali
menimbulkan ketidakpastian.
Saat ini, ketika
perekonomian nasional sedang mengalami pelambatan, dibutuhkan suasana
kondusif agar pemulihan bisa terwujud. Selain itu, dua kesepakatan tersebut
juga memungkinkan penuntasan kasus dimaksud berjalan lebih fair. Kesan siapa
kalah dan siapa menang hilang dengan sendirinya. Mekanisme pengadilanlah yang
akan memastikan siapa yang salah dan siapa yang benar.
Karena itulah, dua
kesepakatan itu patut diterima sebagai tantangan yang cukup menarik bagi
masing-masing pihak. Posisi Polri memang cukup dilematis. Kalau kasus Novel
tidak segera ditindaklanjuti hingga berstatus kedaluwarsa, Polri akan
dipersalahkan oleh korban atau pihak lain yang merasa dirugikan dalam kasus
itu. Polri bahkan bisa dituntut oleh para korban atau keluarga mereka.
Sebaliknya, jika dalam
situasi sekarang ini Polri maju terus menangani kasus tersebut sesuai standar
prosedur operasi, persepsi publik bisa negatif. Apalagi, usia kasus itu sudah
sangat lama. Polri bisa dinilai tidak mendukung upaya pemerintah memperbarui
sinergi penegakan hukum antarinstitusi penegak hukum yang sempat menimbulkan
keragu-raguan publik akibat kisruh Polri dengan KPK belum lama ini.
Karena itu,
penangguhan penahanan Novel bisa dimaknai sebagai niat baik dan kesungguhan
Polri mendukung pemerintah. Sikap sebagian publik yang semula sempat gusar
bisa berbalik menjadi simpati kepada Polri. Apalagi, jika Polri bisa tampil
menjadi pemenang di pengadilan kasus Novel nanti. Dua kesepakatan itu juga
bisa menjadi momentum pemulihan hubungan dan kerja sama Polri dengan KPK.
Syaratnya sederhana
saja, Polri dan Novel bersama KPK harus kooperatif menyelesaikan kasus ini.
Selain itu, proses hukumnya juga harus dibuat transparan agar publik bisa
memahami persoalan secara jernih. Transparansi akan menghilangkan prasangka
buruk serta menghilangkan kesan ada tebang pilih dalam penegakan hukum. Kalau
ihwal ini bisa terlaksana, publik akan memberi apresiasi kepada Polri, KPK,
maupun pemerintah.
Aspek lain yang
menarik disimak dari kasus yang terakhir ini adalah gambaran belum tuntasnya
konsolidasi pemerintahan Presiden Jokowi-Wapres JK. Nyaris berulangnya kisruh
Polri dengan KPK itu menimbulkan pertanyaan seputar kapabilitas dua pemimpin
mengendalikan institusi negara. Muncul kesan bahwa dua pemimpin tampaknya
masih harus bersusah payah untuk sekadar mewujudkan harmoni antara Polri dan
KPK.
Kemudian, Presiden dan
Wapres juga nyaris memperkuat kesan itu. Banyak orang harus dan terpaksa
mengernyitkan dahi ketika Presiden Jokowi dan Wapres JK berbeda dalam
menyikapi kasus penangkapan dan penahanan Novel Baswedan oleh Polri. Presiden
minta agar Novel tak harus ditahan, Wapres justru membuat pernyataan
bernuansa bisa memaklumi langkah Polri.
Sudah barang tentu
perbedaan sikap ini tak hanya menyedot perhatian publik, tapi juga
menimbulkan pertanyaanpertanyaan yang sangat spekulatif. Kalau perbedaan
seperti ini terjadi berulang-ulang, Presiden dan Wapres justru menjadi sumber
ketidakpastian itu sendiri. Semoga, insiden seperti itu tidak terjadi lagi.
Karena itu, sangat penting bagi Presiden dan Wapres merampungkan konsolidasi
pemerintahan sekarang ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar