Polisi
dan Amanat Konstitusi
Tjatur Sapto Edy ; Anggota Komisi III DPR
|
KORAN SINDO, 08 Mei 2015
Penangkapan terhadap
penyidik KPK, Novel Baswedan, seolah mengingatkan kembali aksi saling
berhadapan antara Polri dan KPK.
Betapa pun peristiwa
tersebut terasa mendidih dalam wacana publik, namun yang seyogianya tak
terabaikan bahkan jauh lebih krusial adalah terkait seluk-beluk penggunaan
kekerasan oleh kepolisian dalam menangani kejahatan.
Berkelindan dengan
peristiwa tersebut adalah aksi pembunuhan, yang berlanjut dengan bunuh diri,
oleh sesama personel Polri di Sumatera Utara beberapa hari lalu. Inti
perdebatan tentang kekerasan oleh personel polisi selalu berkutat pada
pertanyaan: apakah kekerasan telah melampaui batas (eksesif) sehingga dapat
dikategorikan sebagai perilaku brutal, ataukah kekerasan masih dalam standar
operasi kerja personel polisi?
Pertanyaan itu muncul
sebagai konsekuensi demokratisasi, di mana terjadi pelipatgandaan kepekaan
publik terhadap segala hal yang berasosiasi dengan keamanan dan keselamatan
masyarakat. Apabila tidak dikelola dengan baik, isu kekerasan di lingkungan
kepolisian dipastikan akan mengancam legitimasi lembaga kepolisian di mata
publik.
Semakin berat jika
dikaitkan dengan beban finansial yang dikeluarkan untuk mengobati sasaran
maupun personel yang cedera dalam situasi penembakan, termasuk kemungkinan
kompensasi yang harus dikeluarkan ketika terbukti bahwa penembakan oleh
personel merupakan tindakan yang salah. Hingga kini kajian ilmiah dan
pembahasan di Parlemen tentang kekerasan oleh institusi kepolisian di
Indonesia belum memadai.
Ironisnya, gambaran
situasinya memang ”tidak menguntungkan” pihak kepolisian karena berbagai
literatur telanjur menganggap perilaku brutal sebagai satu dari dua subkultur
menyimpang di sangat banyak organisasi kepolisian, di samping perilaku
koruptif. Terlebih ketika personel polisi menggunakan kekerasan dengan
senjata api, pertanyaan ”brutal atau standar” semestinya akan dapat dijawab
secara lebih terukur. Ini sekaligus menunjukkan pertanggungjawaban anggaran
lembaga kepolisian kepada masyarakat.
Polri harus mampu
menjelaskan antara lain jumlah butir peluru yang digunakan, jumlah personel
yang menggunakan senjata api, situasi yang melatarbelakangi penggunaan
senjata api, ragam dan jumlah sasaran yang terkena tembakan, akibat
penembakan pada sasaran dan personel, hingga simpulan mengenai sifat
penggunaan senjata api (sesuai standar ataupun penyalahgunaan).
Dari simpulan itu,
Polri kemudian perlu memaparkan bentuk-bentuk penindakan terhadap personel
yang menggunakan senjata apinya di luar ketentuan. Kesungguhan Polri dalam
menyajikan informasi mengenai ihwal di atas sudah sepantasnya menjadi unsur
penting dalam penilaian kinerja korps Tribrata. Dengan asumsi bahwa persepsi
pada gilirannya akan memengaruhi perilaku aktual personel, semakin sering
personel polisi menggunakan senjata apinya, semakin patut pula dipertanyakan
apa sesungguhnya persepsi para personel tentang situasi maupun orang yang
mereka hadapi.
Pada aspek framing
itulah, rujukan informasi menjadi sesuatu yang krusial membentuk perilaku
penggunaan senjata api oleh personel. Apabila personel polisi memperoleh
referensi bahwa ada relasi negatif antara mereka dan masyarakat yang mereka
layani, baik referensi yang bersumber dari internal maupun eksternal
organisasi kepolisian, dikhawatirkan personel akan lebih tersugesti untuk
meletupkan senjata mereka.
Selanjutnya, manakala
masyarakat sudah kadung mencap polisi terlalu ringan tangan, masyarakat pun
akan terdorong menampilkan kekerasan sebagai antisipasi terhadap kehadiran
polisi. Tentusaja, ketika oknum personel polisi menyalahgunakan senjata api
mereka, pembenahan semestinya tidak dilakukan sebatas terhadap individu-individu
yang bersangkutan.
Ini selaras dengan
teori-teori modern bahwa pembenahan organisasi kepolisian harus menyasar
aspek individu serta aspek organisasi secara menyeluruh dan terintegrasi.
Atas dasar itu, sebagai sebuah sistem, divisi-divisi terkait di lembaga
kepolisian juga patut merespons fenomena kekerasan tersebut, utamanya divisi
yang berurusan dengan sumber daya manusia serta pendidikan dan pelatihan
personel.
Intinya, semakin
intens upaya yang seluruh lini institusi kepolisian lakukan untuk menyisir
tendensi kekerasan dari para personelnya, semakin realistis untuk berharap
bahwa akan berkurang pula aksi-aksi penembakan seperti yang Polri nyatakan
telah dilakukan anak buah Novel.
Kembali pada Amanat Konstitusi
Sangat menarik plus
menggelitik apabila potret tentang penggunaan senjata api oleh personel Polri
dihadapkan dengan Konstitusi UUD 1945 dan UU Kepolisian Republik Indonesia.
Kedua peranti perundang-undangan tersebut secara” ajaib” menguraikan fungsi
kerja Polri ke dalam urutan-urutan yang berbeda satu sama lain. Dalam UUD
1945 Pasal 30 ayat 4 disebutkan bahwa ”Kepolisian Negara RI sebagai alat
negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi,
mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum”.
Kata ”serta” dalam
ayat ini— mengacu pada KBBI—menunjukkan bahwa frase di depan kata tersebut
lebih utama daripada frase di belakangnya. Dus, dalam ayat ini harus dimaknai
bahwa dalam menjalankan fungsinya menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat,
kepolisian seharusnya bertugas lebih mengedepankan perlindungan, pengayoman,
dan pelayanan kepada masyarakat walaupun harus tetap menjalankan penegakan
hukum.
Sangat berbeda dengan
yang termaktub dalam konstitusi, UU RI No 2/2002 tentang Kepolisian Negara RI
Pasal 5 dan Pasal 13 justru menempatkan tugas menegakkan hukum baru kemudian
melindungi, mengayomi, melayani masyarakat. Sangat bisa dipahami bahwa dalam
menjalankan tugas, doktrin kepolisian lebih berpegang kepada UU No 2/2002
sebagai pijakan operasional.
Dengan begitu, wajah
kepolisian lebih maskulin yang penuh kekerasan daripada feminin yang penuh
kelembutan sebagaimana amanat konstitusi. Ke depan seraya menunggu pembahasan
UU Kepolisian yang baru penulis berharap kepolisian kembali ke amanat
konstitusi.
Kepolisian harus
meningkatkan profesionalitas dengan berperan sebagai ”ibu” bagi masyarakat
yang mengedepankan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Baru kemudian kepolisian melakukan penegakan hukum kepada anggota masyarakat
yang melawan tugas kepolisian yang utama tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar