Pilkada
Serentak dan Ancaman Kebencian
Alamsyah M Dja’far ; Peneliti
The Wahid Institute Jakarta
|
KOMPAS, 22 Mei 2015
Di
pengujung tahun ini, 269 daerah di Indonesia menggelar pemilihan kepala
daerah serentak tahap pertama: 9 provinsi, 36 kota, dan 224 kabupaten.
Sisanya digelar Februari 2016 untuk tahap kedua dan Juni 2018 untuk tahap
ketiga.
Jumlah
daerah pada tahap pertama mencapai 53 persen dari 537 provinsi dan kabupaten
atau kota di seluruh Indonesia.
Hajatan
politik ”borongan” ini merupakan pengalaman baru bagi Indonesia, bahkan
dunia. Begitulah kata Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Husni Kamil Manik
beberapa bulan lalu. Jadi, kita memang masih meraba-raba bagaimana praktiknya
nanti. Apalagi, capaian dan tantangan pilkada serentak ini belum pernah ada
presedennya.
Waspadai isu SARA
Melihat
kasus Pilkada DKI Jakarta 2012 dan Pilpres 2014, dalam pilkada serentak perlu
diwaspadai ujaran kebencian (hate
speech) berbasis agama. Inilah tantangan cukup serius yang perlu segera
dikelola agar tidak menodai pesta demokrasi lokal.
Bagi
sebagian kalangan, ujaran kebencian masih dianggap cara efektif mendulang
dukungan politik sekaligus menurunkan pesona lawan. Dalam dua kasus di atas,
Joko Widodo—kini Presiden RI—sangat merasakan dampak yang ditimbulkannya,
baik secara politis maupun sosial. Ibunya dituduh Kristen, dirinya dihujat
antek komunis dan Yahudi, keturunan Tionghoa, dan bahkan tak bisa berwudu.
Kita
tahu, praktik kotor dalam Pilkada DKI dan Pilpres tak membuat Jokowi kalah.
Namun, daya rusaknya betul-betul nyata. Ujaran kebencian berhasil menurunkan
elektabilitas Jokowi di wilayah Jawa Timur dan Jawa Barat pada pilpres lalu.
Dalam
masyarakat, seseorang memang dengan mudah membelah identitas seseorang:
Muslim-Kristen; pribumi-Tionghoa; antek Zionis-bukan; dan seterusnya,
khususnya dalam percakapan di media sosial. Hingga puluhan tahun ke depan,
residunya masih akan susah dibersihkan.
Ancaman
meroketnya kekerasan dan konflik sosial dalam pilkada serentak tampaknya tak
akan terjadi. Secara umum masyarakat makin dewasa mengikuti pilkada. Namun,
untuk memuaskan berahi politik, sebagian kecil lagi memang masih akan
menggunakan cara apa pun, termasuk kekerasan. Laporan Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia, misalnya, ”hanya” menemukan 5 persen kasus kekerasan
terjadi terkait pilkada sebanyak 500 kali sepanjang 2005-2008. Pada 2010, International Crisis Group mencatat
pada 220 pilkada terjadi 20 kasus kekerasan.
Akan
tetapi, ancaman serius berikut yang penting direspons adalah meningkatnya kekerasan
nonfisik. Salah satunya dalam bentuk ujaran kebencian menjelang dan saat
pilkada.
Banyak
riset menunjukkan, hubungan kekerasan dan pilkada tak selalu seperti kompor
dan api. Bahan baku konflik sudah hadir sebelum pilkada, bahkan jauh
sebelumnya. Misalnya isu Kristenisasi, aliran sesat, stigma kafir, ateis,
atau komunis. Maka, momen politik seperti pilkada sering kali menjadi arena
berbagai aktor (politisi, birokrasi, tokoh agama, tokoh masyarakat)
mengangkat sentimen intoleransi keagamaan yang sudah ada itu untuk mobilisasi
elektoral. Jadi, untuk mengatasi konflik, kita harus bergerak menuju sumber
masalah, tak hanya terpaku pada momen pilkada.
Konflik keagamaan
Pandangan
ini salah satunya diperkuat oleh hasil riset Center for Religious and Cross-cultural
Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada bertajuk ”Politik Lokal dan Konflik
Keagamaan”. Hasil riset yang dirilis Februari 2015 ini berusaha melihat
konflik keagamaan dan relasinya dengan pilkada di tiga wilayah: Sampang,
Bekasi, dan Kupang.
Di Sampang
isu Syiah, Bekasi isu pendirian gereja, dan Kupang tentang pendirian masjid.
Dalam semua kasus tersebut, pilkada mempertemukan kekuatan-kekuatan berbeda
dalam kepentingan bersama menekan kelompok korban, umumnya kelompok
minoritas. Riset ini juga mengingatkan bahaya politik intoleransi semacam
itu: antagonisme dan polarisasi berdasar sentimen komunal dalam jangka
panjang.
Mengapa
ujaran kebencian perlu dilawan? Karena daya rusaknya tidak hanya terhadap
struktur demokrasi, tetapi juga terhadap nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.
Warga dunia melihat dengan ngilu apa yang terjadi dalam perang atau kasus
pelanggaran berat seperti Rwanda.
Dalam
tragedi yang terakhir, 800.000 warga suku Tutsi dan Hutu moderat dibantai
dalam seratus hari. Sebelumnya ujaran-ujaran kebencian diserukan lewat radio
Mille Collines. Demi mencegah peristiwa berulang, tahun 1976 PBB mengadopsi
larangan ujaran kebencian dalam Pasal 20 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil
dan Politik. Kovenan ini kita ratifikasi tahun 2005.
Daya rusak
Di era
Reformasi, kita juga masih menyaksikan daya rusak ujaran kebencian yang
mengakibatkan nyawa melayang, korban fisik, trauma, terusir dari kampung dan
hidup sebagai pengungsi. Mereka di antaranya Jemaat Ahmadiyah Indonesia,
Syiah Sampang, kelompok yang dituduh sesat, dan kelompok minoritas.
Menurut
Artikel 19, organisasi asal Inggris yang berjuang merawat kebebasan
berekspresi, ada empat kata kunci dalam ujaran kebencian: kebencian,
diskriminasi, kekerasan, dan permusuhan. Kebencian yang bisa dikategorikan
ujaran kebencian adalah ketika berdampak dan mewujud dalam diskriminasi,
kekerasan, dan permusuhan.
Contoh
paling baik dari praktik ini adalah pernyataan atau tulisan-tulisan di
media-media daring yang berusaha menghasut, mengajak perang, membunuh,
merendahkan, dan mengancam kelompok tertentu, khususnya minoritas.
Bentuk-bentuk pelabelan yang pada dasarnya jahat dan lahir akibat kebencian
juga bisa disebut ujaran kebencian.
Umumnya
pelabelan dan stigmatisasi dengan kata-kata seperti kafir, antek zionis,
musuh umat, Cina, dan Kristen. Kata-kata yang lebih terang dalam ujaran
kebencian biasanya diikuti dengan intimidasi dan ancaman: habisi, ganyang,
perangi, dan lain-lain.
Merujuk
laporan-laporan pemantauan sejumlah lembaga, beberapa daerah rawan merebaknya
kasus ujaran kebencian muncul di pilkada beberapa kabupaten di Jawa Barat
seperti Sukabumi dan Indramayu; sejumlah kabupaten di DIY; atau beberapa
kabupaten di Jawa Timur. Di wilayah-wilayah tersebut, kasus-kasus intoleransi
banyak terjadi, termasuk kasus ujaran kebencian selama Pilpres 2014.
Ada
sejumlah langkah untuk mengantisipasi ancaman ini. Pertama, meyakinkan para
peserta pilkada bahwa penggunaan praktik ujaran kebencian hanya akan
meninggalkan problem jangka panjang bagi daerah tersebut. Dalam banyak kasus,
cara-cara kotor itu tak membuat mereka menang meski sebagian kasus
menunjukkan sebaliknya. Praktik itu justru akan menjadi beban sejarah yang
tak ringan dalam masa pemerintahan mereka jika ia betul-betul terpilih.
Kedua,
memperkuat pengawasan melalui lembaga-lembaga resmi, seperti badan pengawas
pemilu, maupun masyarakat umum, seperti tokoh agama dan tokoh masyarakat. Di
sini peran NGO-NGO lokal dan nasional juga penting.
Merujuk laporan NGO
Laporan-laporan
mereka menjadi rujukan sekaligus fakta sejarah yang menjadi pembelajaran
penting bagi Indonesia, bahkan dunia. Penting diingat, tantangan ujaran
kebencian bukan hanya masalah Indonesia, melainkan juga dunia.
Ketiga,
penegakan hukum (law inforcement).
Untuk menimbulkan efek jera, kasus-kasus ujaran kebencian harus diproses
hukum secara adil. Ada banyak payung hukum yang bisa dipakai, misalnya Pasal
156 KUHP atau Pasal 86 UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD.
Proses hukum itu tak boleh hanya berani untuk kelompok minoritas, tetapi loyo
bagi kaum mayoritas.
Keempat,
pengarusutamaan politik toleransi. Dalam jangka panjang, gerakan dan
kesadaran mengedepankan politik toleransi harus diperkokoh. Politik yang
berkeadaban harus mengedepankan penghargaan atas keragaman agama/keyakinan,
bukan penyeragaman. Dengan begitu kita bisa berharap, kelak visi toleransi
menjadi salah satu ukuran dan standar penilaian memilih kepala daerah.
Gerakan ini bisa dilakukan lewat pendidikan formal dan informal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar