Pertobatan
dan Rekonsiliasi Nasional
Freddy Numberi ; Tokoh Masyarakat Papua
|
KORAN SINDO, 30 April 2015
Sudah 52 tahun (sejak
1 Mei 1963), Papua ada dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Namun, hingga kini, seperti yang terjadi di Paniai, Desember tahun
lalu, betapa masih saja terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua.
Bart Spruit dalam bukunya, Leviathan (2000), mengatakan: ”Zonden uit het verleden geven geestelijke machten een bruggenhoofd
om in het heden hun doeleinden af te dwingen. Pas wanneer verzoening is
gedaan over de zonden uit het verleden krijgt God de kans het verleden te
doen medewerken ten goede”.
Artinya, dosa-dosa
masa lalu memberikan penguasa-penguasa rohani suatu kekuatan untuk memaksakan
kehendak mereka. Bilamana pengampunan terjadi terhadap dosa-dosa di masa
lalu, barulah Tuhan mendapat kesempatan membuat masa silam itu bekerja sama
dan bermakna bagi kebaikan masa kini.
Dalam tulisan
tersebut, Spruit mengisahkan tentang pembunuhan yang terjadi di Banda
(Maluku) antara rakyat Banda melawan Belanda yang dimulai pada 1609, kemudian
pada 1621 di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen memancung
40 orang Banda yang disebut sebagai ”orang kaya” oleh prajurit Jepang yang
disewa Belanda.
Dendam yang terus
membara ini, menurut Spruit, perlu ada pertobatan melalui doa demi
penyembuhan bersama sehingga Tuhan dapat membantu pihak- pihak yang
bersengketa membangun masa depannya. Itu pula yang hakikatnya terjadi di
Papua hingga kini. Maka itu, merefleksikan kembali sejarah bagaimana proses
integrasi Papua ke NKRI menjadi penting.
Proses dekolonisasi
yang berlarut-larut mencapai puncaknya saat penandatanganan pengakuan
kemerdekaan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada 27
Desember 1949. Saat itu masalah Papua ditunda satu tahun. Artinya, status
Papua akan dibahas lagi pada 27 Desember 1950. Setelah perjanjian 27 Desember
1949, Belanda mulai serius memperhatikan Nederlands Nieuw Guinea.
Sebelum Perang Dunia
II, Pemerintah Belanda hanya menggunakan daerah Nederlands Nieuw Guinea di
Digul (Merauke) sebagai tempat pembuangan bagi para komunis dan nasionalis
Indonesia yang melawan Belanda. Namun, daerah itu hanya menjadi anak tiri
yang dilupakan, dikenal sebagai daerah buangan bagi mereka yang dianggap
membangkang terhadap Pemerintah Belanda.
Baru kemudian setelah
Belanda mengakui Indonesia sebagai negara merdeka, masalah Papua yang pembahasannya
ditunda satu tahun menjadi isu sensitif antara Belanda dan Indonesia.
Puncaknya terjadi pada Agustus 1960 sebelum John F Kennedy terpilih sebagai
presiden Amerika Serikat (AS) yang ke-35, Presiden Soekarno memutuskan
hubungan diplomatik Indonesia dengan Belanda.
Sikap tegas Soekarno
itu tentu saja mengundang kekhawatiran Amerika Serikat. Negara adidaya itu
khawatir Indonesia menjadi negara komunis karena pengaruh Uni Soviet dan
China waktu itu. Karena itulah, AS akhirnya menekan Belanda untuk segera
menyerahkan Papua kepada Indonesia.
Ironisnya, proses awal
internasionalisasi masalah Papua oleh Belanda, Indonesia dan Amerika Serikat
melalui PBB tidak melibatkan rakyat Papua. Saat itu, berdasarkan New York
Agreement pada 15 Mei 1962, Belanda menyerahkan Papua kepada PBB melalui United Nations Temporary Executive
Authority (UNTEA) pada 1 Oktober 1962.
Selanjutnya, 1 Mei
1963, PBB melalui UNTEA secara resmi menyerahkan Papua kepada Indonesia.
Namun, peristiwa bergabungnya (integrasi) Papua ke pangkuan Indonesia tak
dimeriahkan secara besar-besaran. Sebaliknya, atas nama kedaulatan negara
untuk mengatasi konflik yang ada digelar operasi militer secara
besar-besaran.
Operasi itu antara
lain Operasi Sadar (1965-1967), Operasi Barathayuda (1967- 1969), dan Operasi
Wibawa (1969). Operasi ini digelar dalam rangka menghadapi rencana Penentuan
Pendapat Rakyat pada 1969. Yang jelas, ekses kekerasan akibat operasi-operasi
militer itu tak dapat diceritakan secara bebas, dibungkam oleh sistem
pemerintahan yang otoriter serta ”mati rasio” karena moncong senjata.
Preseden buruk masa
lalu itu menjadi ingatan kolektif rakyat Papua yang mendalam sehingga
perlupenyembuhan. Ituberlangsung setelah Reformasi 1998. Indonesia memasuki
suatu pemerintahan yang demokratis.
Pemerintahan
demokratis sejatinya didukung oleh suatu ”civilian supremacy” yang kuat dan
solid. Di antaranya dapat mengontrol institusi yang dipercayai untuk memegang
senjata agar tidak disalahgunakan terhadap rakyatnya sendiri sehingga tak
berakhir pada pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Pertobatan Nasional
Sejarah masa lalu
harus menjadi pedoman (kompas) dalam membuat peta jalan (roadmap) bagi solusi Papua secara tuntas, berkeadilan, dan
bermartabat. Rasa curiga terhadap rakyat Papua harus dihilangkan. Program-program
pemerintah yang diturunkan harus melibatkan mereka serta mendengar suara
mereka tentang apa yang mereka butuhkan.
Ini sejalan dengan apa
yang dikatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Natal Nasional di Jayapura,
27 Desember 2014 : ”Rakyat Papua juga butuh didengarkan, diajak bicara. Kita
ingin akhiri konflik. Jangan ada lagi kekerasan.” Indonesia jangan mengulang
pengalaman masa lalu (Hindia Belanda), di mana Papua sebagai bagian dari NKRI
hanya menjadi anak tiri yang dilupakan.
Selain itu, Papua juga
jangan hanya digunakan untuk memperkaya kelompok tertentu dalam rezim
pemerintahan yang terus berganti. Kekayaan alam Papua justru harus digunakan
untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran orang Papua sebagai warga
negara Indonesia yang terhormat dalam rangka memenangkan hati dan pikiran
rakyat Papua serta menyembuhkan (healing) luka-luka masa lalu.
Tanggal 1 Mei 1963
merupakan suatu momen sejarah yang patut diperingati secara nasional, sebagai
Hari Integrasi Nasional (HIN). HIN harus kita maknai sebagai momentum untuk
Pertobatan Nasional karena perjalanan waktu yang begitu panjang dan telah
banyak menelan korban. Kita selalu berbeda pendapat dan tidak saling percaya.
Ini berlaku tidak
hanya untuk Papua, tetapi juga seluruh Indonesia, terutama korban akibat
pelanggaran hak asasi manusia (Tragedi Trisakti-12 Mei 1998, Theys Eluay-10
November 2001, Munir-7 September 2004, Kelly Kwalik-16 Desember 2009). Kita
perlu pertobatan dan rekonsiliasi nasional agar bangsa Indonesia terhindar
dari konflik internal yang terus berlanjut dan entah kapan berakhirnya.
Maka itu, peringatan 1
Mei sebagai HIN harus diisi dengan doa bersama untuk pemulihan bangsa dan
dengan ”civic mission” prajurit TNI dan Polri secara besar-besaran di Papua,
baik itu bakti kesehatan, bakti sosial (perbaikan sekolah, gereja), maupun
lainnya. Hal ini tidak lain untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat
Papua terhadap pemerintah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar