Mikraj
dan Agama Arak-Arakan
Asep Salahudin ; Dekan Fakultas Syariah IAILM Suryalaya
Tasikmalaya;
Peneliti di Lakpesdam PWNU Provinsi Jawa Barat
|
MEDIA INDONESIA, 15 Mei 2015
MISALKAN kita
hidup di zaman jahiliah prakenabian, tentu ada banyak ritus yang akan
dilakukan. Salah satunya, arak-arakan menuju Tuhan latta, memanggul uzza, dan
mengibarkan manat. Meminta keberkahan dengan darah dan air mata, sambil
mengorbankan anak-anak dan menistakan kaum perempuan. Setelah ritual itu
dilakukan secara saksama, maka merayakan peperangan antarsuku (safak
ad-dima’) seolah menjadi satu keharusan. Membela puak dianggap sebagai sebuah
kehormatan, kemuliaan, dan keagungan. Setelah itu, kebencian terus beranak
pinak. Yang kalah menyusun siasat, yang menang tidak henti menebar teror dan
ketakutan.
Kekerasan menjadi
bagian integral dari tradisi jahiliah yang tidak dapat dipisahkan dari
politik hariannya. Peperangan yang acap kali juga dipicu oleh perebutan lahan
ekonomi, gengsi etnisitas, perburuan pengaruh di tengah kabilah, dan atau
ihwal perempuan yang diperebutkan untuk dijadikan selir yang kesekian
kalinya.
Harkat manusia
tidak diletakkan di atas tindakan keutamaan, tapi keberanian fisik serta
militansi mempertahankan egoisme dan egosentrisme. Keunggulan sebuah etnik
bukan berdasarkan prestasi yang dilakukannya, melainkan semata karena trah
keturunan. Kemuliaan bukan karena concern atas persoalan sosial
kemasyarakatan, melainkan seberapa hebat kita menyebarkan paham sektarian,
seberapa kukuh kita dapat bersikap partisan, dan terus memberikan kontribusi
untuk kepentingan sempit kelompok dan kaumnya.
Interupsi mikraj
Dalam atmosfer
yang gandrung akan kekerasan seperti inilah Muhammad SAW diturunkan. Dalam
penggalan risalahnya pada awalawal karier kenabiannya, beliau dimirajkan
menuju langit ketujuh untuk meraih pencerahan. Oleh-oleh dari peristiwa
spiritual mikraj itu tidak lain ialah kebaktian salat lima waktu sehari
semalam.
Salat bukan
sekadar bagaimana kita membangun dialog yang intim secara vertikal dengan
Sang Kuasa, melainkan dalam visi Alquran, salat yang benar itu manakala mampu
menjadi modal sosial untuk membangun tata kelola kehidupan yang terbebas dari
tindakan politik negatif, perbuatan munkar, dan perangai barbarian. Innash shalata tanha ‘anil fahsya
wal-munkar.
Salat menjadi
lambang bagaimana kita mampu mencungkil sikap pongah dari diri dan lingkungan
sekitar lewat deklarasi ungkapan takbir Allahu
Akbar sebagai pembuka salat, sekaligus tekad untuk tidak pernah lelah
menebarkan damai kasih kepada sekeliling, seperti disimbolisasikan pada
penghujung sembahyang lewat ungkapan salam ke sebelah kiri dan kanan. Kata
Muhammad SAW, “Sebarkan salam di antara kalian”. Bahkan, kalau kita
perhatikan agama yang dibawanya tidak dinamainya dengan menisbatkan kepada
dirinya atau tempat kelahirannya, tapi pada jantung agama itu, yakni
kepasrahan (islam) sekaligus peran sosialnya, selamat (salam).
Hakikat risalah
Muhammad SAW
datang untuk mempromosikan hakikat ‘keberanian’ (syajaah), hidup dalam damai
(salamah), mengapresiasi keragaman dengan lapang (tasamuh) dan membangun
kohesivitas sosial yang diacukan pada semangat kebersamaan dan spirit saling
membantu dalam kebaikan (ta’awun), menyampaikan pentingnya ruang publik
dibangun di atas haluan keadilan (al-adalah), egalitarianisme (al-musawah),
saling menasihati (tawashi dan tanahi), saling mengajar (ta’alum),
percampuran (tazawuj), dan saling berteman (tashaduq dan ta’anus).
Dalam
mempromosikan tawaran hidup penuh adab itu, Muhammad SAW melakukannya dengan penuh
kesantunan lewat kepemimpinan yang dijangkarkan pada semangat keteladanan,
pada satunya kata dengan perbuatan. Sebagaimana terpantul dari karakter
individu yang melekat dalam dirinya, yakni kejujuran, transparansi, amanah,
dan kecerdasan.
`Revolusi sosial'
yang dilakukannya menjadi berhasil karena dimulai sejak awal oleh revolusi
mental secara masif, terpadu, dan sistema tis. Akhlak dijadikan poros utama
dalam tata kelola pemerintahannya.
Dikatakannya,
“Jujurlah, karena kejujuran pintu kebaikan dan kebaikan pintu surga.”
Disuruhnya seorang yang hendak mempelajari risalah Tuhan, hanya satu
perintah, “Jangan dusta!” Di atas haluan akhlak yang luhur, keragaman
dijunjung tinggi. Manusia tidak dibedakan berdasarkan ketidaksamaan
keyakinan, etnik bahasa, dan keturunan, tapi justru dibiarkan terjadi
kontestasi sosial berlandaskan kerja (amal), keutamaan (takwa) dan etos
hospitalitas (kedermawanan).
Maka menjadi
sangat maklum kalau senarai hikayat yang datang kepada kita, potret Muhammad
SAW yang pertama kali membesuk Yahudi yang justru tiap hari kerjanya
mencederai dan meludahi Nabi. Gambaran orang yang menampik tawaran malaikat
untuk menghancurkan kaum yang telah menerornya. Atau –dalam konteks keluarga—
orang besar ini yang masih menjahit bajunya sendiri ketika sobek, tidak
berani mengetuk malam-malam rumahnya saat istrinya ditemukan tertidur pulas,
dan pilihan hidupnya yang sederhana sampai rumahnya menyatu dengan masjid dan
setiap saat terbuka menerima pengaduan dari masyarakat yang haknya terampas,
dari aspirasi rakyat yang belum tersalurkan, atau dari sebuah harapan masa
depan yang mesti didiskusikan dengan sang Nabi.
Muhammad SAW yang
bukan hanya hadir sebagai Nabi, namun juga menjadi pertanda hidup yang luhur
dan memberikan derajat keluhuran bagi semesta dan kemanusiaan. Dia Menjadi
inspirasi bagaimana negara dikelola dengan benar dan agama dihadirkan ke
tengah publik dalam maknanya yang substansial. Disebutkannya bahwa ad-din huwa annishat, yakni agama itu
ialah nasihat agar kita dapat hidup dengan baik dan tertib. Dinobatkannya
bahwa beragama itu jangan sampai membuat kita emosional dan kehilangan akal
sehat. Agama sebanding dengan daulat akal dan pemuliaan terhadap pikiran. Ad-dinu huwal aqlu.
Agama yang gaduh
Hari ini abad 21
justru yang kita temukan ialah keberagaman yang telah kehilangan etika
personal dan sekaligus etika sosial. Telah kehilangan keteladanan dan
kehilangan spirit mikraj. Zaman yang melam bangkan punahnya penghargaan
terhadap nalar.
Beragama menjadi
identik dengan ‘hura-hura’. Religiositas diturunkan maknanya menjadi
arak-arakan mengibarkan bendera, menghunus pedang dan pentungan, serta
mengepalkan tangan sambil berteriak-teriak memanggil nama Tuhan. Agama
menjadi sangat ‘komunal’ dan kehilangan sisi penghayatan intim yang berwatak
individual serta menghangatkan.
Agama yang sangat
ramai dengan khotbah dan pekik fatwa, tetapi lupa bagaimana nilai-nilai agama
itu diinternalisasikan dalam basis kesadaran, dihunjamkan menjadi sebuah
keinsafan yang menukik dalam palung hati yang paling dalam.
Agama hari ini
tampaknya lebih tertarik berjubahkan ‘politik’, sehingga yang namanya
‘identitas’ menjadi dianggap paling penting. Agama yang sudah bermetamorfosis
menjadi politik, pada akhirnya tidak bisa dibedakan lagi dengan ‘partai
politik’. Umat dan jemaah pun menjadi sebangun dengan kader partai. Bahkan,
bisa jadi pimpinan agama merangkap aktivis partai. Pengajian tak ubahnya
kampanye.
Maka tidak
mengherankan tak ubahnya partai politik agama menjadi begitu sangat
membutuhkan tim sukses, memerlukan mikrofon untuk melipatgandakan suara,
menghajatkan spanduk, baliho, dan buku saku untuk mempercepat agama itu dapat
‘dijual’ di tengah konstituen di ‘pasar gelap’ demokrasi yang belum matang.
Kalau perlu disimpulkan bahwa memperjuangkan partai anu sama dengan berjuang
untuk agama.
Peristiwa
bersejarah Mikraj pada 27 Rajab yang bertepatan dengan 16 Mei 2015,
seharusnya mengingatkan kita bahwa rute beragama yang benar mensyaratkan kita
untuk tidak pernah lelah berupaya ‘memirajkan’ kualitas rohaniah kita,
menaikkan makna sembahyang bukan hanya secara personal, melaimn juga memiliki
dampak sosial bagi upaya penciptaan ruang kehidupan yang utama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar