Merdeka!
Belum Merdeka! Beluuuuum...!
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga
Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
|
KORAN SINDO, 23 Mei 2015
Pada
masa pergerakan kemerdekaan, kata ”merdeka” terasa penuh pesona, berisi
kekuatan magisme yang kental, dan impian suci, impian seluruh bangsa yang
teraniaya, dan diberkati Tuhan sepenuhnya.
Impian
itu tiba-tiba seperti berubah menjadi sejenis janji masa depan yang
mengimbauimbau dari kegelapan yang samar-samar di mata, tapi begitu jelas di
hati. Janji masa depan itu begitu pasti. Kata ”merdeka” pun menjadi ideologi
pembebasan, yang menggerakkan segenap energi kehidupan, dan memperoleh rahmat
Tuhan.
Tak
mengherankan bila kita mengakui bahwa berkat rahmat Tuhanlah, kita merdeka.
Kita bersyukur impian seluruh bangsa tercapai. Pada masa pergerakan, kata
”merdeka” nikmat didengar telinga, menggairahkan segenap cita rasa, dan suci,
mungkin bahkan menjadi mantra suci. Ketika ke seluruh dunia Bung Karno dan
Bung Hatta, atas nama rakyat Indonesia, menyatakan kemerdekaan kita, dunia
seperti diterjang sebuah ”goro-goro”.
Bumi
gonjang, langit gonjing, dunia kaget Indonesia merdeka. Ada pula yang kaget
mendengar nama Indonesia. Kita sendiri kaget dan bersyukur. Kita bersyukur
karena berita mengagetkan itu sebenarnya sudah lama menjadi bagian dari hidup
kita, aspirasi kita, perjuangan kita, pertaruhan hidup-mati kita. ”Merdeka
atau mati”, tak punya alternatif lain.
Tak
terdengar orang berteriak: merdeka, kaya, berpangkat. Hanya ada ”merdeka atau
mati” tadi. ”Perang Sabil” dikumandangkan. Orang pun dengan sendirinya tak
takut mati. Mati tak menjadi masalah asal negeri ini merdeka. Chairil Anwar
melukiskan perasaan kecewa para pejuang yang sudah gugur, yang tak bisa
berteriak ”Merdeka!” dan angkat senjata lagi karena ”kami mati muda”. Yang
tinggal tulang diliputi debu.
Tidak
turut lagi meneriakkan kata ”Merdeka!” menjadi penyesalan. Para pejuang itu
turut memberikan andil besar, dan dengan sendirinya memiliki pula saham besar
di negeri yang telah mereka bikin merdeka. Di taman makam pahlawan banyak
pejuang, pahlawan, dan mereka yang ber t a ruh nyawa untuk negeri kita ini.
Tapi, pahlawan-pahlawan sejati banyak juga dikubur- kubur tak bernama dan tak
dikenal.
Kepahlawanan
mereka pun tak diakui. Para pendiri bangsa kita sungguh besar jasanya. Tapi,
para penerusnya, yang dulu tak pernah tahu apa arti perang kemerdekaan, apa
arti perjuangan, dan bertaruh nyawa untuk membikin negeri ini merdeka, apa
namanya?
Ketika
diberi jabatan dan kewenangan menyelenggarakan tata aturan pemerintahan yang
memperlihatkan bahwa kita ini bangsa merdeka, mereka berebut kursi, tapi tak
terlihat sama sekali semangat menata kehidupan sebuah bangsa merdeka. Mereka
memiliki kedaulatan penuh, tapi kedaulatan itu tak dipergunakan sebagaimana
mestinya.
Kedaulatan
di tangannya harus disesuaikan dengan kepentingan politik global, terutama
kepentingan negara-negara besar yang menjadi bos besar dalam percaturan
global tadi. Kepada mereka itulah dipersembahkan segala apa yang dia punya.
Mengabdi kepentingan global menjadi cita-cita suci dan semangat perjuangan
untuk memenangkan citra bahwa dirinya demokratis, kawan sejati orang luar,
disanjung dan dipuja oleh mereka, tapi kita sendiri dibikin telantar.
Kebijakannya
membuat meriah pasar global dan sangat akomodatif pada modal global. Namanya
disebut-sebut di pasaran bebas. Tapi, jangan salah, di antara para pelaku
pasar global itu sendiri, biarpun dibikin beruntung, ada saja yang heran atau
kaget mengapa ada pemimpin bangsa yang begitu tega menjual masa depan
bangsanya sendiri pada ”kita” yaitu pemain utama pasar global tadi.
Bahkan
ada juga yang meremehkannya biarpun mereka memperoleh untung besar karena
kebijakannya. Orang itu disebutnya pengkhianat bagi bangsanya sendiri. Tentu
saja. Orang lain dimuliakan, bangsanya sendiri dicekik lehernya. Segenap
kebijakannya memiliki warna khas seperti itu.
Untuk
sekadar contoh, UU Pertambangan, Pengelolaan Bisnis Minyak, dan Gas Bumi, UU
Perbankan, UU Perkebunan, pemasaran produk pertanian kita, semua dikhianati
demi mengabdi pasar global. Mengkhianati bangsa sendiri sekarang ini
kelihatannya tak terlalu berdosa. Berkhianat bahkan disebut demokratis karena
begitulah aturan yang dibuat secara global.
Kita
dijajah secara global, dibohongi beramai- ramai, ditindas semena-mena oleh
apa yang bernama global. Dan, pemimpin kita ledalede , tidak tegas, tidak
jelas. Hanya kalau harga dirinya disentuh, barulah merasa terganggu. Situasi
seperti itu harus diteruskan sekarang? Dan, kita harus mengikuti jejak rezim
pemerintahan yang tak peduli pada bangsanya sendiri dan sebentar- sebentar
mengiblat kepentingan negara-negara besar? Kita telah sesat di jalan.
Dalam
masa sepuluh tahun, sebelum pemerintahan ini, begitu produktif menyusun UU,
tak kurang dari 21 UU banyaknya, yang semuanya memastikan terjaminnya
kepentingan asing, tanpa peduli kehancuran yang harus diterima bangsanya
sendiri. Tak perlu disebut reformasi baru atau revolusi mental, dan revolusi
lainnya, asal semua itu tak ditiru, tak dikembangkan, tak diteruskan, kita
sudah selamat.
Kita
tidak tersesat. Hanya jika kita bisa memastikan terputusnya pengabdian pada
bangsa asing, artinya kita mengabdi kepada bangsa kita sendiri dengan sepenuh
hati, sepenuh jiwa raga kita, barulah kita layak berteriak merdeka. Hanya
jika semua itu diakhiri, dan mengabdi bangsa sendiri dimulai, barulah kita
layak menyebut diri kita demokrat. Itu pun boleh jadi belum tentu tepat.
Kalau
kita berteriak merdeka, menganggap diri kita bangsa merdeka, mengira para
penggede kita berjuang untuk bangsa, sebaiknya pelan-pelan saja. Teriak
”Merdeka!” itu harus diberi tekanan serbapenuh keraguan: betulkah kita
merdeka. Tiap kata ”Merdeka!” haruslah diniatkan untuk menyatakan
keragu-raguan yang jelas, apakah kita ini merdeka, apakah para pemimpin
menghayati maknanya, dan apakah mereka bekerja untuk kita.
Pemerintah
yang belum bisa memilih program yang tepat buat bangsanya sendiri, apa
mulianya? Negeri agraris yang kebijakannya mematikan petani, yaitu petani
garam, petani kopi, petani cengkeh, petani tembakau, petani teh, petani
jeruk, petani pisang, petani apel, petani sayur, apa gunanya kebijakan macam
itu? Apa cukup layak negeri yang dipimpin dengan gaya kepemimpinan seperti
itu disebut negara merdeka?
Dulu,
zaman Bung Karno, kita pernah merdeka, dan kita pernah bangga menjadi bangsa
merdeka. Kita pernah punya harga diri. Kita pernah dihormati negara-negara
baik dan dibenci negara-negara kolonialisme dan imperialisme. Di bawah
pemerintahan yang takut dan hanya bisa membebek kepentingan asing, kita malu.
Kita
tidak lagi merasa terhormat karena kita tidak merdeka. Jadi, kalau di suatu
forum, ada yang memimpin kita supaya berteriak ”Merdeka!”, saya jawab: Belum.
Kalau dia masih berteriak ”Merdeka!” saya jawab lagi: Belum. Kalau
teriakannya lebih keras, lebih panjang: ”Merdeka!” saya jawab lebih panjang:
beluuuuum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar