Meningkatkan
Nilai Tawar Pekerja Indonesia
Dimas Aryo Wicaksono ; Anggota Himpunan Psikologi Indonesia
(Himpsi)
|
JAWA POS, 04 Mei 2015
HARI Buruh 1 Mei lalu
terasa spesial karena sudah diperingati sebagai hari libur nasional. Itu
berarti di mata pemerintah buruh sudah mulai dianggap sebagai mitra strategis
yang perlu dirangkul. Suasana spesial tersebut seharusnya juga diikuti dengan
semangat mengangkat isu yang lebih spesial bila dibandingkan dengan isu
musiman tentang hari buruh seperti kenaikan upah dan jaminan-jaminan kerja
yang lain. Misalnya, mengangkat isu yang lebih strategis tentang bagaimana
meningkatkan posisi tawar buruh itu sendiri serta menjadikan buruh atau
pekerja sebagai mitra strategis perusahaan untuk mencapai keunggulan kompetitif
dan nilai tambah bagi perusahaan.
Sebagaimana negara
berkembang yang memiliki jumlah penduduk yang besar, Indonesia masih dianggap
surga bagi investasi, terutama yang bersifat padat karya, karena jumlah
tenaga kerja yang banyak sehingga biayanya menjadi murah. Naomi Klein (2001)
dalam bukunya, No Logo, menjelaskan bagaimana industri-industri maju
mengalihkan proses produksi dari negara asalnya ke negara-negara berkembang
dengan jumlah penduduk yang banyak guna membayar upah tenaga kerja murah dengan
berdalih alih teknologi dan investasi.
Sementara itu, tidak
meratanya kualitas dan kesempatan pendidikan serta anggapan bahwa buruh
adalah objek bukan subjek masih tidak bisa dilepaskan, bahkan dari diri buruh
itu sendiri. Kenyataan tersebut justru semakin membuat posisi tawar menjadi
lemah. Sebab, pada akhirnya, buruh menjadi pihak yang selalu bergantung demi
memenuhi kebutuhan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Hal itu tampak di
setiap peringatan hari buruh dari tahun ke tahun bahwa yang disuarakan selalu
sama, yaitu tuntutan upah buruh meningkat, penghapusan sistem outsourcing,
jaminan pensiun dan kesehatan, serta isu-isu general seperti turunnya harga
bahan pokok, tarif sasar listrik (TDL), dan bahan bakar minyak (BBM).
David Guest (1987)
menegaskan, salah satu tujuan mengelola sumber daya manusia (SDM) di
perusahaan ialah meningkatkan komitmen karyawan terhadap perusahaan. Hal itu
lebih didasarkan kepada keyakinan bahwa karyawan yang punya komitmen akan
melakukan apa pun dan memikirkan yang terbaik demi perusahaannya. Itu
menguntungkan organisasi. Terlebih lagi diyakini bahwa salah satu sumber
keunggulan kompetitif perusahaan terletak pada manusianya, yaitu pengetahuan,
keterampilan, dan kemampuan yang menjadikan pembeda pada perusahaan tersebut.
Konsekuensinya, untuk mendapatkan pekerja yang berkomitmen, perusahaan harus
menunjukkan komitmen kepada pekerjanya.
Lebih substantif
adalah paradigma yang menempatkan SDM sebagai aset yang paling berharga,
bukan biaya yang membebani. Menempatkan SDM sebagai aset yang berharga dan
mampu memberikan nilai tambah bagi organisasi berarti lebih memahami pekerja
secara personal, sebagai subjek. Lebih lanjut, pergeseran dalam paradigma
pengelolaan SDM juga menggambarkan bahwa individu seharusnya menonjolkan apa
yang menjadi kontrak psikologisnya dengan perusahaan ketimbang menggalang
kekuatan melalui serikat buruh sambil berharap suaranya akan terwakili di
sana. Kontrak psikologis itu pula yang hendaknya dapat ditangkap perusahaan
guna memahami pekerjanya sebagai individu yang utuh.
Rosseau (dalam Brinner
dan Conway, 2005) menjelaskan bahwa kontrak psikologis adalah keyakinan
individu akan adanya hubungan timbal balik antara dirinya dan perusahaan
tempat dia bekerja bahwa hal tersebut memengaruhi sikap, perilaku, dan
pikiran individu ketika bekerja. Kontrak psikologis mengandung pengharapan
atas apa yang akan dia berikan (pemikiran, keterampilan, usaha, dan
kemampuan) dengan timbal balik yang akan diperoleh.
Dalam implementasinya,
penempatan pekerja sebagai mitra strategis perusahaan masih menimbulkan
kekhawatiran. Meningkatnya posisi tawar dapat mengarah kepada tuntutan yang
semakin kompleks dari pekerja kepada perusahaannya. Terdapat beberapa langkah
yang dapat dipertimbangkan untuk menunjukkan bahwa pekerja adalah mitra
strategis, pertama dengan memahami apa yang menjadi kontrak psikologis
mereka.
Perusahaan tidak perlu
berfokus bahwa pekerja hanya mengharapkan imbalan ’’materi’’ semata, tetapi
melalui upaya menciptakan lingkungan kerja yang kondusif. Misalnya, memberikan
apresiasi kepada pekerja, komunikasi yang lebih terbuka, otonomi dan dukungan
perusahaan yang bertujuan agar individu lebih nyaman dalam bekerja.
Kedua, pekerja
sendirilah yang harus meningkatkan posisi tawar. Jika pekerja masih meyakini
dirinya sebagai objek, itu justru semakin melemahkan posisinya. Untuk
meningkatkan posisi tawar di hubungan kerja, pekerja perlu menyadari bahwa
mereka juga memiliki kontrak psikologis. Mereka harus yakin bahwa dengan
memberikan sesuatu kepada perusahaan, posisi tawar akan meningkat.
Keahlian,
keterampilan, dan pengetahuan adalah modal yang berharga dan unik yang
dimiliki oleh setiap pekerja adalah nilai tambah bagi perusahaan.
Pekerja harus yakin
atas modal-modal yang dimiliki diikuti dengan kemauan yang tinggi untuk
meningkatkan kapasitasnya.
Jika pekerja terus
berupaya meningkatkan kemampuannya, isu outsourcing tidak perlu
dikhawatirkan. Pekerja-pekerja portofolio dengan modal yang terus
ditingkatkan memungkinkan posisi tawarnya juga meningkat tidak secara vertikal
pada satu perusahaan saja akan tetapi sangat mungkin untuk naik diagonal
lintas perusahaan.
Pada akhirnya, upaya
meningkatkan posisi tawar pekerja justru merupakan upaya strategis dalam
meningkatkan keunggulan kompetitif perusahaan. Dari sisi pekerja,
meningkatkan nilai tawar merupakan misi pribadi sekaligus memiliki nilai
kontribusi dalam meningkatnya martabat bangsa menjadi bangsa yang lebih
dihargai oleh negara lain. Buruh menjadi mitra strategis adalah pilihan yang
sangat mungkin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar