Mengembalikan
Ijazah
Akh Muzakki ; Dekan
FISIP dan FEBI UIN Sunan Ampel Surabaya
|
JAWA POS, 22 Mei 2015
Sekolah
atau kuliah merupakan upaya institusionalisasi program pendidikan.
Konsekuensinya, produk yang dilahirkan akan mengalami formalisasi oleh
negara. Bentuknya adalah sertifikasi kemampuan akademik dan bahkan
profesional melalui penyematan ijazah sebagai tanda tamat belajar.
Namun,
ujung proses pendidikan adalah memanusiakan manusia melalui pengembangan dan
penguasaan kemampuan serta keahlian tertentu. Istilah terkininya adalah
kompetensi. Juga, pendidikan sejatinya berorientasi untuk menumbuhkan potensi
keterampilan personal-sosial peserta didik yang diperlukan untuk kehidupan ke
depan (life skill). Nah, ijazah
merupakan ukuran simbolis atas penguasaan kompetensi yang dimaksud.
Ironi
besar segera muncul saat ijazah direduksi hanya sebatas formalitas tanpa
substansi. Praktiknya, ijazah diberikan hanya untuk kepentingan
gagah-gagahan. Kepentingannya untuk menambah kemewahan formalitas semu
pribadi. Apalagi formalitas itu berproses melalui mekanisme instan, culas,
dan berorientasi bisnis material belaka.
Praktik
jual beli ijazah yang kini kembali menyeruak melalui sejumlah kasus di
perguruan tinggi menyadarkan bahwa ironi besar tersebut bukan isapan jempol.
Sebanyak 18 kampus di Jabodetabek dan satu lagi di NTT dilaporkan Kemenristek
Dikti telah melakukan praktik jual beli itu.? Ijazah S-1 diperjualbelikan
dengan kisaran harga Rp 16 juta–Rp 25 juta. Kini Kemenristek Dikti menelusuri
praktik jual beli ijazah tersebut (Jawa
Pos, 19/5/2015).
Kasus
jual beli ijazah itu mengingatkan kita pada kasus serupa di beberapa kota
pada 2008. Istilah populer untuk menggambarkan kasus tersebut saat itu adalah
’’sarjana bodong’’ atau ’’mahasiswa dan sarjana gadungan’’. Kasus-kasus itu
tidak saja terjadi di kampus swasta, melainkan juga di kampus negeri.
Kasus
jual beli ijazah tidak menjadi dominasi nomenklatur keilmuan tertentu. Pada
2008, jual beli ijazah terjadi pada program studi yang terkait dengan
teknologi dan kedokteran. Kini praktik itu kebanyakan terjadi di
jurusan-jurusan yang terkait dengan ilmu ekonomi dan hukum (detik.com, 20/5/2015).
Itu
semua menjelaskan bahwa praktik culas jual beli ijazah terjadi hampir merata
di berbagai disiplin keilmuan. Karena itu, terasa mendesak bagi kita semua
untuk menelaah dan merefleksikan kembali filosofi serta substansi dasar
konsep ijazah. Penelaahan ini penting dilakukan agar bisa menjadi bahan baku
sekaligus langkah awal untuk membenahi moral pendidikan tinggi nasional.
’’Ijazah’’
merupakan kata bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Arab. Dalam bahasa
aslinya, ’’ijazah’’ tidak terlepas dari dua substansi dasar: sistem transmisi
otoritas akademik dan ketersambungan otentisitas. Dalam khazanah akademik
yang berlaku dalam bahasa dan peradaban Arab, konsep ’’ijazah’’ diambil dan
kerap diidentikkan dengan tradisi periwayatan hadis dalam tradisi keilmuan
Islam.
Sistem
transmisi hadis didasarkan pada penggunaan isnad (mata rantai transmisi
periwayatan) yang menyertai matan (isi kandungan teks) setiap hadis. Isnad
berperan untuk mendukung keaslian periwayatan hadis. Kepentingannya, mata
rantai ketersambungan para periwayat hadis dengan Rasulullah Muhammad SAW
bisa dijamin. Juga, otentisitas serta validitas substansi hadis bisa
digaransi.
Praktik
pemberian ijazah yang berlaku luas saat ini layak belajar dari konsep isnad.
Riilnya, isnad memiliki peran yang sangat penting karena terkait dengan
pemberian otoritas akademik. William A. Graham, pakar studi agama dari
Harvard University, dalam tulisannya Traditionalism
in Islam: An Essay in Interpretation (lihat The Journal of Interdisciplinary History, vol 23, no 3 [1993]: 502)
menjelaskan bahwa isnad merupakan proses penyematan atau pemberian otoritas.
Dasarnya adalah ketersambungan dengan asal tradisi suci melalui mata rantai
transmisi pribadi dan jaringan individu-individu yang mewakili setiap
generasi yang terkait dari sumber aslinya (Nabi Muhammad atau salah satu
sahabatnya) hingga periwayat terakhir.
Sistem
ijazah, awalnya, memang merupakan proses dan bentuk sertifikasi personal (personal certification). Yakni,
pemberian otoritas akademik lebih didasarkan pada kredibilitas personal
seorang individu dan dilakukan melalui jaringan personal. Dipraktikannya konsep
isnad dalam keilmuan hadis tersebut sangat jelas menunjukkan kuatnya
sertifikasi personal yang dimaksud.
Namun,
dalam perkembangan berikutnya, sertifikasi kelembagaan (institutional certification) menguat. Otorisasi tidak saja
dilakukan melalui ijazah lisan-personal lewat transmisi face-to-face antara guru dan murid, melainkan juga ijazah formal
melalui transmisi hadis yang bisa memvalidasi teks hadis tertulis. Dalam
ijazah formal itu, guru memberikan sertifikasi untuk menjamin ketersambungan
dan silsilah ilmiahnya ke gurunya untuk terus kembali kepada Nabi Muhammad
melalui sahabat, seorang syekh/guru, atau penulis buku tertentu (William A. Graham, 1993: 511).
Jadi,
ijazah merupakan bentuk otorisasi yang menunjuk pada ketepercayaan dan
penjaminan apakah tradisi dan atau kompetensi tertentu telah ditransmisikan
atau dialihkan melalui jaringan tepercaya lintas generasi. Mekanisme ijazah
seperti itu penting untuk menjamin sistem transmisi otoritas akademik dan
ketersambungan otentisitas.
Sebagai
refleksi atas kondisi saat ini, praktik pemberian ijazah selayaknya menunjuk
pada dua makna mendasar. Pertama, pemegang ijazah berarti bahwa kompetensinya
pada bidang yang ditekuni sudah diakui. Pengakuan atas kompetensi itu
menunjukkan bahwa penguasaan yang bersangkutan terhadap standar kemampuan
yang diinginkan diakui secara formal.
Kedua,
pemegang ijazah berarti bahwa otoritasnya dalam bidang yang dikuasai dianggap
sudah terjamin. Sebagai akibat langsung dari penjaminan otoritas yang
dimaksud, pemegang ijazah diakui sangat layak dijadikan referensi bagi
standardisasi kemampuan dan keterampilan apa pun yang terkait dengan bidang
yang ditekuni.
Mengacu
pada prinsip tersebut, praktik jual beli ijazah hanya akan meruntuhkan
substansi ijazah yang begitu luhur. Tidak ada manfaat substantif dari praktik
jual beli ijazah kecuali justru membanting harga kemanusiaan bangsa ini.
Kalau praktik culas jual beli ijazah tersebut tidak ditangani serius,
pendidikan yang sejatinya memanusiakan manusia justru akan menjerumuskan
manusia ke jurang kehinaan karena praktik hidup tanpa makna substantif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar