Mencerdaskan
Kehidupan Bangsa
Yudi Latif ; Pemikir Kenegaraan dan Kebangsaan
|
KOMPAS, 05 Mei 2015
Hari Pendidikan
Nasional kita peringati dengan belasungkawa yang mendalam atas kejatuhan
secara kolosal mutu keterdidikan bangsa. Ukuran yang paling memilukan dari
keterpurukan ini bukanlah rendahnya peringkat Indonesia dalam kemampuan baca,
matematika, dan sains menurut standar Programme
for International Student Assessment, melainkan pada kemerosotan mutu
kecerdasan para politisi dan penyelenggara negara sebagai produk pendidikan.
Demokrasi tanpa
kecerdasan adalah kegaduhan dalam kebutaan. Situasi ini melen- ceng jauh dari
imperatif konstitusi kita. Dalam Pembukaan UUD 1945 terkandung "empat
pokok pikiran" haluan negara sebagai transformasi nilai-nilai Pancasila.
Pertama, negara yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan
berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Kedua, negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Ketiga, negara yang berkedaulatan rakyat berdasar atas
kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Keempat, negara berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, yang
mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara, untuk memelihara
budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat
yang luhur.
Untuk mewujudkan empat
pokok pikiran tersebut, Pembukaan UUD 1945 juga menggariskan empat fungsi
negara (sistem pemerintahan negara), seperti tertuang dalam alinea keempat.
Pertama, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia; kedua, memajukan kesejahteraan umum; ketiga, mencerdaskan
kehidupan bangsa; keempat, ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Jika kita perhatikan
secara saksama, para pendiri bangsa secara konsisten mengupayakan
korespondensi antara empat pokok pikiran itu dan empat fungsi negara. Urutan
pokok pikiran berpasangan dengan urutan fungsi negara. Maka, tampaklah bahwa
pokok pikiran ketiga, "negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas
kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan" berpasangan dengan fungsi
negara ketiga, "mencerdaskan kehidupan bangsa". Dengan kata lain,
demokrasi berdasarkan cita kerakyatan dan permusyawaratan memerlukan
kepemimpinan hikmat-kebijaksanaan yang meniscayakan kecerdasan bangsa.
Pengertian kecerdasan
di sini lebih dari sekadar kecerdasan kognitif, melainkan kecerdasan
multidimensional berbasis kesadaran eksistensial: ke dalam dan ke luar. Ke
dalam, manusia cerdas mengenali siapa dirinya sebagai "perwujudan
khusus" dari alam, yang harus menemu-kenali kekhasan potensi dirinya
sebagai dasar pembentuk karakter personal.
Keluar, manusia cerdas
mampu mengenali dan mengembangkan kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem
pengetahuan, dan sistem perilaku bersama, melalui olah pikir, olah rasa, olah
karsa, dan olah raga. Kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan,
dan sistem perilaku ini secara keseluruhan membentuk lingkungan sosial yang
dapat menentukan apakah disposisi karakter personal berkembang menjadi warga
negara yang berkarakter baik atau buruk.
Kebudayaan sebagai
lingkungan sosial bisa juga disebut sebagai wahana pembentukan karakter
kolektif. Pengertian "bangsa" (nation) yang terkenal dari Otto
Bauer menyatakan, "Bangsa adalah satu persamaan, satu persatuan
karakter, watak, yang persatuan karakter atau watak ini tumbuh, lahir,
terjadi karena persatuan pengalaman."
Dengan kata lain,
perilaku manusia adalah fungsi dari karakter personal dan karakter kolektif.
Ditinjau dari sudut ini, proses pendidikan harus mampu melahirkan
pribadi-pribadi berkarakter sekaligus menjadi warga negara (pribadi yang
membangsa) yang berkarakter. Keterpurukan dunia pendidikan kita tampak dari
defisit manusia berkarakter dan warga negara yang berkarakter. Di atas
kemarau karakter seperti itu tumbuh para politisi dan para penyelenggara
negara yang kerdil.
Demokrasi dirayakan
dengan mediokrasi dan korupsi. Di republik korup dan jahil, keadaban publik
hancur. Setiap warga berlomba mengkhianati negeri dan sesamanya; rasa saling
percaya lenyap karena sumpah dan keimanan disalahgunakan; hukum dan institusi
lumpuh tak mampu meredam penyalahgunaan. Ketamakan dan hasrat meraih
kehormatan rendah merajalela. Kehidupan mengalami kematian: kebaikan
dimusuhi, kejahatan diagungkan.
Dalam puing-puing
keruntuhan kecerdasan dan keadaban, yang diambil dari warisan luhur para
pendiri bangsa hanyalah abunya, bukan apinya. Peringatan Konferensi Asia
Afrika (KAA) masih digemakan, tetapi karakter dasarnya luput dari
penghayatan.
KAA, 60 tahun yang
lalu, adalah cermin kebesaran karakter kita sebagai bangsa, pembawa obor
harapan bagi dunia. Menjelang konferensi, para pemenang nobel, sarjana
humanis, dan penulis kenamaan dunia mengirimkan surat kepada PM Ali
Sastroamidjojo. "Dunia telah jemu akan penindasan, dogma, dan
peperangan. Dunia telah jemu melihat nafsu penjajah pelbagai negara atau
nafsu mendirikan pakta-pakta pertahanan.... Cara Caesar, yang menggunakan
kekuasaan perjuangan hidup, telah kandas di Moskwa dan Washington juga di Roma.
Kami sangat mengharap agar Tuan dapat menjadi Asoka untuk menyatukan kembali
dunia kita dalam suatu masyarakat berdasarkan cinta sesama, suatu dunia di
mana masyarakat saling mengerti, masyarakat teknik dan masyarakat seni dapat
berkembang menuju kesempurnaan."
Perkembangan demokrasi
Indonesia seperti mengenakan baju terbalik, momentum datang memberi peluang
meneruskan obor kebesaran bangsa, tetapi yang memainkan peran hanyalah
manusia-manusia kerdil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar