Membenahi
Data Beras
Toto Subandriyo ; Alumnus
IPB dan Magister Manajemen UNSOED
|
TEMPO, 21 Mei 2015
Polemik
tentang rencana pemerintah mengimpor beras tidak perlu terjadi jika negara
ini memiliki data statistik pangan yang akurat. Polemik ini mengemuka setelah
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data angka sementara produksi padi
nasional 2014 pada awal Maret 2015. Menurut data tersebut, produksi padi
nasional 2014 mencapai 70,83 juta ton GKG (setara dengan 41 juta ton beras).
Jika
diasumsikan jumlah penduduk sekitar 250 juta orang dan angka konsumsi beras
mengacu pada standar BPS sebesar 113,48 kilogram per kapita per tahun,
kebutuhan beras nasional mencapai 28,37 juta ton. Jika semua data tersebut
benar, pada awal 2015 terdapat surplus produksi beras di atas 10 juta ton.
Pertanyaannya, mengapa pemerintah mewacanakan mengimpor beras? Mengapa harga
beras tetap stabil tinggi hingga kini?
Data
yang kurang akurat menyangkut produksi dan konsumsi beras dituduh sebagai
biang kesemrawutan manajemen beras selama ini. Karena itu, banyak kalangan
yang menyuarakan agar pemerintah segera membenahi database beras. Data beras
yang kurang akurat telah memunculkan kondisi "swasembada semu".
Jumlah produksi riil beras lebih kecil dibanding angka penghitungan di atas
kertas.
Selama
ini, data statistik konsumsi beras antarkementerian/lembaga sangat beragam.
Kementerian Pertanian mematok angka 139,15 kilogram per kapita per tahun; BPS
menggunakan angka 113,48 kilogram per kapita per tahun; sedangkan Data Susenas
2012 mematok angka 98 kilogram per kapita per tahun. Beragamnya data ini
sangat menyulitkan penghitungan surplus produksi beras yang sebenarnya.
Data
produksi beras nasional dihitung dari data kolaborasi antara Kementerian
Pertanian dan BPS. Data yang menyangkut luas tanam, luas panen, dan luas
gagal panen (puso), menjadi tanggung jawab Dinas Pertanian. Sedangkan data
menyangkut produktivitas menjadi tanggung jawab BPS.
Berbagai
kendala, seperti kurangnya sarana, terbatasnya pengetahuan petugas, serta usia
petugas yang rata-rata sudah tua, membuat pengukuran luasan panen dilakukan
hanya dengan perkiraan pandangan mata (eye estimate). Pengumpulan data
produktivitas dengan cara "ubinan" juga masih menggunakan peralatan
sederhana. Pengumpulan data seperti ini sangat memungkinkan terjadinya human
error. Bias data pengukuran luas panen dan produktivitas ini secara berantai
berimbas pada data produksi nasional.
Pada era
digital sekarang ini, cara pengumpulan data produksi dengan perkiraan
pandangan mata tidak bisa dipertahankan lagi. Petugas lapangan pertanian dan
petugas statistik harusnya sudah dibekali ilmu dan peralatan modern seperti
GPS (global positioning system). Teknologi pengindraan jauh menggunakan
satelit sudah berkembang pesat, sehingga dapat dimanfaatkan untuk menghitung
produksi pangan secara akurat.
Bagi
bangsa Indonesia, komoditas beras tak hanya penting secara ekonomi, tapi juga
sangat strategis secara sosial dan politik. Ungkapan Jawa telah mengatakan
"beras akeh, pikiran semeleh". Jika masyarakat memiliki stok beras
yang cukup, kecil kemungkinan terjadi gejolak sosial. Semua itu bisa diawali
dari upaya membenahi data beras. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar