Membaca
Arah Revisi UU Bank Indonesia
Mukhamad Misbakhun ; Anggota
Komisi XI DPR RI
|
KORAN SINDO, 21 Mei 2015
Pada
awal 2015, Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) 2015-2019. Salah satu Rancangan Undang-Undang (RUU) yang termasuk
sebagai Prolegnas Prioritas adalah RUU tentang Perubahan Kedua atas UU No 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Agenda revisi UU BI terbilang cukup
mendesak, mengingat fungsi dan kewenangannya yang semakin mengundang polemik
setelah terbentuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai amanat UUNo
23Tahun1999 tentang BI.
Kelahiran
OJK tidak sekadar mengoptimalkan perlindungan serta kepercayaan masyarakat
pada pemanfaatan jasa keuangan dan perbankan, tapi sekaligus memberi efek
yuridis bagi posisi dan peran BI sebagai pelaksana kebijakan moneter,
pengatur, dan penjaga kelancaran sistem pembayaran. Pada gilirannya, tuntutan
revisi terhadap UU BI menjadi sebuah keharusan.
Dengan
demikian, kekhawatiran tentang tumpang tindih fungsi dan kewenangan antara
OJK dan BI bisa diatasi. Dalam konteks tersebut, agenda revisi UU BI
sejatinya mengerucut pada ihwal yang mendemarkasi peran dan kewenangan
masing-masing institusi. Secara khusus, revisi UU BI juga berusaha menemukan
kembali (reinventing) peran BI yang
cenderung berada dalam area sumir (grey
area) dan berbagi peran dengan OJK yang justru memerlukan kinerja yang sinergis.
Beberapa
poin penting penguatan dan perubahan yang bisa diajukan adalah: pertama, BI
sebagai fully policy maker.
Kewenangan dalam pengelolaan kebijakan bukanlah hal baru. Dengan tegas UU
mencantumkan tugas kebijakan moneter sebagai salah satu kewenangan BI.
Kebijakan tersebut difungsikan dalam rangka mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah serta menjaga inflasi.
Meski
demikian, kondisi aktual nilai rupiah yang sedang terpuruk seakan
menenggelamkan peran BI yang berlindung di balik argumentasi kondisi global.
Walau pada prinsipnya, pandangan BI tidak boleh diganggu oleh
komentar-komentar yang bisa mengusik independensinya dalam menjalankan tugas
mulia menjaga kepentingan ekonomi nasional.
Kedua,
penegasankewenangan kebijakan macro-prudential.
Merujuk pada poin pertama, BI sejatinya lebih terfokus pada kebijakan macro-prudential yaitu kebijakan
moneter untuk menjaga inflasi, suku bunga, dan stabilitas rupiah, mengelola
cadangan devisa serta sistem pembayaran nasional.
OJK
diarahkan pada kebijakan micro-prudential, berupa pengaturan dan pengawasan
yang terintegrasi di industri keuangan baik industri perbankan maupun pasar
modal dan industri keuangan nonbank seperti asuransi, dana pensiun,
perusahaan pembiayaan, serta lembaga keuangan mikro.
Muncul
kekhawatiran akan terjadi tumpang tindih/overlapping
dalam pelaksanaan kebijakan pengawasan macroprudential yang dibuat oleh BI
dan kebijakan pengawasan microprudential rancangan OJK. Walaupun pengawasan
macroprudential dan pengawasan micro-prudential masing-masing memiliki tujuan
yang berbeda, tetap saja membutuhkan koordinasi dalam penerapannya.
Pengawasan
macro-prudential bertujuan untuk
mengarahkan dan mendorong bank sekaligus mengawasinya agar dapat berperan
dalam berbagai program pencapaian ekonomi makro. Sementara pengawasan microprudential bertujuan untuk
mengupayakan agar setiap bank secara individual senantiasa berada dalam
keadaan sehat sehingga mampu menjaga kepercayaan masyarakat sebagai kunci
utama dalam bisnis perbankan.
Ketiga,
penjaga stabilitas. Perkembangan dan pembangunan ekonomi yang semakin
kompleks, sistem keuangan yang semakin maju, serta perekonomian internasional
yang semakin kompetitif dan terintegrasi mengharuskan kebijakan moneter
seharusnya dititikberatkan pada upaya untuk memelihara stabilitas nilai
rupiah. Upaya menjaga stabilitas inilah yang sepenuhnya membuat BI memiliki
peran sebagai “lender of the last
resort“ (LOLR).
Dalam UU
BI, peran tersebut tidak termaktub dengan jelas, tegas, dan rinci, selain sebagai
pertimbangan terkait fungsi dan kewenangan BI. Sebagaimana peran macro-prudential yang juga tidak
disebutkan dengan tegas, sudah seharusnya peran penjaga stabilitas ini
membuat institusi BI tampak perkasa di tengah gejolak nilai tukar rupiah yang
setiap saat mengintai.
Pada
titik inilah, kita memahami makna independensi BI, sebagaimana diamanatkan
dalam Pasal 4 UU BI sesuai dengan Pasal 23D UUD 1945. Independensi dimaknai
sebagai keterlepasan dan kemandirian BI dalam mengelola kebijakannya, tanpa intervensi
negara/pemerintah (political interest)
yang dipandang sarat kepentingan tertentu.
Namun,
independensi ini tidak bisa dipakai untuk melindungi institusi dari kritik
yang justru bersifat konstruktif demi kepentingan masyarakat. Apalagi
berlindung dalam kekuasaannya demi menguntungkan pihak-pihak tertentu. Dengan
kata lain, salah satu mindset yang
dikandung oleh revisi UU BI adalah independensi dalam proses, tidak dalam
tujuan.
Memetakan Peran Baru BI
Berdasarkan
tiga fokus penguatan sekaligus perubahan di atas, peran BI dan OJK bisa
dipetakan. Pengaturan dan pengawasan yang dimiliki oleh kedua institusi
tersebut ditempatkan secara proporsional. Sejak terbentuk OJK, peran BI
sebagai bank sentral tidak lagi mencakup tugas pengawasan perbankan. Fungsi
dan kewenangan BI lebih pada pengawalan stabilitas moneter, stabilitas sistem
pembayaran, dan stabilitas sistem keuangan.
Hal ini
berbeda dengan kewenangan sebelumnya, di mana BI berperan aktif dalam 2 (dua)
hal sekaligus yakni macroprudential
supervision dan microprudential
supervision. BI berkewajiban melakukan pengawasan terhadap aktivitas
lembaga keuangan, khususnya perbankan, yang memiliki pengaruh signifikan pada
sistem keuangan atau perekonomian.
BI juga
berkewajiban melakukan pengawasan terhadap lembaga keuangan, khususnya
perbankan, dengan tujuan untuk menjaga tingkat kesehatan lembaga keuangan
secara individu. Dalih pengawasan sistem pembayaran inilah yang membuat BI
sebagai Bank Sentral masih berhubungan langsung dengan industri perbankan.
Terlepasnya
sistem pembayaran kepada OJK membuat BI lebih fokus mengurus dan menjaga
stabilitas nilai rupiah dan inflasi serta pembuatan regulasi. Dengan
kewenangan yang terfokus, Bank Sentral diharapkan bisa mengakhiri sebagian
lemahnya koordinasi antara BI dan OJK.
Sebagaimana
kita ketahui, lemahnya koordinasi dan pertukaran informasi antara BI dan OJK
berakibat pada kerentanan ekonomi Indonesia terhadap krisis ekonomi, baik
yang disebabkan oleh krisis moneter maupun krisis sistem keuangan. Demikian
juga pada fungsi lender of the last resort BI yang tidak berjalan optimal
disebabkan minimnya informasi yang dimiliki oleh BI tentang kondisi sistem
keuangan di tingkat lembaga keuangan individual yang saat ini berada di bawah
pantauan OJK.
Peran BI
ke depan harus difungsikan sebagai Bank Sentral yang memiliki tugas utama
yang terfokus pada macroprudential dan policy maker. Karena sebagai Bank
Sentral yang independen, BI perlu berjarak dengan industri. Untuk itu, sistem
pembayaran yang selama ini masih ada dalam kewenangan BI harus secara ikhlas
dilepaskan kepada OJK.
Karena
itu, pemetaan peran yang jelas dan tegas menjadi bahan masukan bagi revisi UU
BI. Sejumlah wilayah abu-abu yang berpotensi menyisakan tanda tanya dan
persoalan bagi sistem keuangan secara keseluruhan seharusnya menjadi clear
dan terang dalam hasil revisi UU BI tersebut.
Pada
akhirnya, revisi UU BI akan melerai sengkarut fungsi dan kewenangan yang
melingkupi institusi BI dan OJK. Ke depan kita akan melihat sinergitas
kinerja kedua institusi tersebut di bawah payung perundang-undangan yang
saling mendukung satu sama lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar