Melampaui
Teknokrasi Ekonomi
Airlangga Pribadi Kusman ; Pengajar Departemen Politik FISIP
Universitas Airlangga; Kandidat PhD Asia Research Center Murdoch University
|
KORAN SINDO, 07 Mei 2015
Demokrasi membawa
kebijaksanaan politik baru, bahwa melampaui sekadar memilih pemimpin secara
demokratis, suara dan pendapat warga harus dilibatkan dalam proses
pengelolaan negara.
Kendati demikian, di
tengah keinsyafan tentang pentingnya kehendak rakyat, sebuah persepsi dominan
masih tertanam kuat ketika berhubungan dengan perumusan kebijakan dalam
wilayah ekonomi yakni serahkan persoalan pada bidang di atas pada ahlinya
yakni kaum teknokrat.
Akibatnya di wilayah
sosial-ekonomi–ranah paling vital dari kehidupan publik– hubungan antara
negara dan masyarakat sipil tidak dibangun berdasarkan proses demokrasi dan
partisipasi, namun dibentuk oleh asumsi-asumsi saintifik dengan jargon-jargon
kaum teknokrat yang semakin menjauhkan warga negara terlibat memengaruhi
proses kebijakan yang terkait dengan hajat hidup mereka.
Dalam sejarah
kehidupan republik, monopoli teknokrasi dalam ranah kebijakan publik salah
satu warisan sejarah Orde Baru yang paling kuat membentuk kehidupan bernegara
pascaotoritarianisme. Ketika ranah ekonomi menjadi ruang yang hanya bisa
diakses oleh kaum teknokrat, tanpa akses yang memadai bagi publik untuk
terlibat dalam pengambilan kebijakan, sering kita tidak menyadari bahwa
asumsi-asumsi dasar dari kebijakan sosial-ekonomi yang digunakan masih
berjalan dalam logika usang empat puluh tahun lalu.
Kita membayangkan
bahwa seiring dengan suksesi kepemimpinan nasional dari pemerintahan Presiden
SBY ke Presiden Joko Widodo, pemerintahan kita akan mengelola republik dengan
jalan baru.
Meski demikian, fokus
kebijakan sematamata pada investasi dari luar, penyesuaian bahan bakar minyak
(BBM) dengan harga pasar dunia, maupun ketergantungan kita pada utang luar
negeri–pada awal 2015 utang luar negeri kita mencapai USD298,6 miliar, naik
2,05% dibanding bulan sebelumnya– memperlihatkan asumsi- asumsi ekonomi usang
teknokratik Orde Baru tentang prioritas pertumbuhan daripada pemerataan dan
absennya prioritas pada hak sosial-ekonomi warga masih berurat akar dalam
pengambilan kebijakan nasional.
Jejak narasi
teknokratik ekonomi tanpa disadari juga terlihat dalam pidato Presiden Ir
Joko Widodo dalam Konferensi Asia-Afrika lalu yang terkesan megah dan
patriotik. Betul bahwa Presiden berani bersuara beda dengan menawarkan
arsitektur ekonomi dunia baru selain paradigma umum yang hanya menempatkan
IMF, Bank Dunia, dan ADB sebagai poros ekonomi utama.
Namun, ketika teks
pidato itu kita cermati secara jeli, titik tekan inisiatif Jokowi adalah pada
perluasan investasi-investasi dari luar dengan pelenturan regulasi pemerintah
tanpa perhatian yang memadai bagaimana baik hak-hak sosial-ekonomi warga
negara maupun penguatan ekonomi skala kecil menengah harus diberdayakan
menghadapi konfigurasi ekonomi global yang tengah diproyeksikan.
Padahal, prasyarat
utama kita melangkah sebagai bagian dari kekuatan dunia baru dalam pergaulan
bangsa-bangsa adalah pengutamaan kemakmuran dan ketahanan ekonomi dari warga
negara sebagai subjek dari sebuah kebijakan.
Ketimpangan Sosial
Di jantung kepercayaan
mendalam atas investasi asing dan pertumbuhan sebagai panglima dalam
paradigma rezim sekarang (dan rezim-rezim sebelumnya) tertanam cara pandang
teknokratik lama yang masih mempercayai ekonomi akan membawa kemakmuran dalam
logika trickle down effect.
Sebuah kebijakan yang
pro terhadap kaum kaya dan mempercayai bahwa dengan relaksasi regulasi atas
pasar finansial, tenaga kerja maupun produk barang memudahkan kaum kaya untuk
menciptakan uang yang akan dialirkan ke bawah menciptakan kemakmuran.
Sehubungan dengan
doktrin kaum teknokrat propasar di atas, Profesor ekonomi asal Cambridge
University Ha-Joon Chang (2014) dalam Economics:
The UserEconomics: The Users Guide menguraikan sebuah seruan keras bahwa
ranah kebijakan ekonomi terlalu penting untuk diserahkan pada kaum teknokrat.
Bukan berarti bahwa
investasi asing itu buruk bagi ekonomi, namun investasi sebagai penggerak
ekonomi harus diikuti dengan perhatian negara untuk memperhatikan problem
ketimpangan sosial (social inequality),
baik dalam konteks ketimpangan pendapatan, ketimpangan redistribusi
kemakmuran, maupun ketimpangan sumber daya manusia.
Paradigma teknokratik
usang yang mengutamakan investasi, utang, dan pertumbuhan di atas problem
ketimpangan sosial dan pemerataan melupakan bahwa kesehatan ekonomi tidak
akan lebih baik tanpa perhatian pada mereka yang terpinggirkan. Ketimpangan
sosial harus diantisipasi bukan saja terkait dengan problem yang harus
diselesaikan terkait dengan kewajiban moralnya.
Ketimpangan sosial yang
dalam indeks gini 2014 mencapai angka 0,41 menjadi sebuah persoalan penting
karena perhatian seksama terhadap hal tersebut akan memengaruhi penurunan
kohesivitas sosial, stabilitas politik, dan akhirnya mengguncang iklim
investasi dalam negeri itu sendiri. Di sisi lain ketika seluruh kehidupan
social diserahkan pada mekanisme pasar, institusi-institusi publik seperti
pendidikan tidak akan dapat diakses oleh mereka dari kelompok yang malang.
Kita akan kehilangan
potensi sumber daya manusia yang dapat melahirkan kaum-kaum terdidik sebagai
inovator dan inspirator dari pembangunan nasional. Problem-problem di atas
muncul menjadi masalah laten di negeri kita karena selama ini kebijakan
pembangunan tidak memberikan akses yang memadai di luar kaum teknokrat ekonomi
yang hanya melayani kekuatan ekonomi besar.
Satu hal yang patut
untuk kita ketahui bersama bahwa capaian-capaian maju terkait kemakmuran
rakyat yang terjadi di negara kapitalis besar seperti Amerika Serikat
tidaklah lahir dari abstraksi-abstraksi teoritis kaum teknokrat yang melayani
pasar. Seperti diuraikan Michael Lux (2009) dalam The Progressive Revolution, prestasi terbaik dari Amerika Serikat
untuk memberikan kesejahteraan rakyatnya dihasilkan saat pemerintah mendengar
seruan dari gerakan-gerakan sosial mulai dari pendidikan publik sampai dengan
hak-hak sosial kaum kulit hitam, dari kebijakan upah minimum sampai jaminan
sosial untuk warganya.
Sejarah negeri kita
pun pernah memiliki catatan menarik terkait bagaimana pelibatan masyarakat
akar rumput kaum tani dalam pengambilan kebijakan. Pada masa pemerintahan
Soekarno 1960 menetapkan perundang-undangan tentang pengelolaan agraria yang
mengutamakan fungsi sosial di atas fungsi privat dari tanah, rakyat kecil
ikut dilibatkan dalam risetriset tentang kondisi sosial dan kepemilikan tanah
di wilayah mereka masing-masing.
Rakyat sebagai subjek
politik tidak diabaikan dalam kebijakan publik. Sudah saatnya republik ini
dikelola dengan jalan baru yang lebih membumi dan lebih memperhatikan
suara-suara kaum marginal. Untuk memulainya, sudah saatnya kanal-kanal
kebijakan ekonomi dibuka aksesnya bukan lagi diserahkan hanya kepada kaum
teknokrat, namun juga pelibatan agensiagensi akar rumput yang selama ini
memperjuangkan hajat hidup mereka yang terpinggirkan.
Dengan jalan itulah,
kita memasuki era baru kehidupan berdemokrasi, kehidupan republik yang
memperluas demokrasi mengarah pada demokrasi sosial-ekonomi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar