Masalah
Kepemimpinan Parpol
M Alfan Alfian ; Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas
Nasional
|
KOMPAS, 18 Mei 2015
Beberapa bulan
lalu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebagai partai berkuasa
telah menggelar kongres yang mengukuhkan kembali Megawati Soekarnoputri
sebagai ketua umumnya.
Demikian pula dengan Partai
Amanat Nasional (PAN), di mana Zulkifli Hasan sebagai kandidat penantang
mengalahkan petahana Hatta Rajasa. Partai Bulan Bintang (PBB) juga telah
selesai menggelar muktamar dengan ketua umum terpilih Yusril Ihza Mahendra.
Sementara dua partai politik,
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golongan Karya (Golkar),
terbelah dalam dualisme kepengurusan dalam versi kongres yang berbeda-beda.
Bulan ini, Partai Demokrat menggelar kongres, di mana Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) terpilih menjadi ketua umum. Apa yang bisa digarisbawahi dari
fenomena kongres-kongres parpol?
Krisis demokrasi internal
Yang cukup mencolok justru
problem kepemimpinan. Gelaran akbar parpol-parpol dan sesudahnya seolah
sekadar menggarisbawahi saja fenomena personalisasi kelembagaan.
Dalam batas tertentu, hal
demikian mengonfirmasi lemahnya kelembagaan parpol dan menguatnya
ketergantungan pada sosok sentral. Selanjutnya, parpol pun membentuk wajahnya
yang tidak lagi sekadar oligarkis, tetapi personal terpusat pada sosok elite
puncaknya. Fenomena ini diperkuat dengan pola hubungan neo-patrimonialistik,
kalau bukan feodalistik dalam bentuk lain. Sindiran ekstremnya, parpol-parpol
bak kerajaan-kerajaan feodal masa lalu dalam modifikasinya di masa kini.
Demokrasi memang masih diberi
tempat di parpol-parpol, tetapi kerap sempit dan marjinal belaka. Yang lazim
dalam proses politik internal parpol ialah pola mobilisasi, bukan membiarkan
partisipasi berkembang secara demokratis. Para kader non-elite sebagai
kelompok yang bukan puncak penentu keputusan, sekadar dimobilisasi oleh
elite-elite penentu, bukan dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan
secara otonom. Demokrasi terbatas, itulah yang dominan menyembul dalam tubuh
parpol-parpol.
Hazan dan Rahat dalam Democracy
within Parties (2010)
mencatat bahwa demokrasi internal sesungguhnya merupakan isu yang lazim saja,
menyertai pergulatan internal parpol. Pergulatan itu bagian dari dinamika
dalam tata aturan yang demokratis. Elite-elite parpol yang bergulat itu pada
akhirnya akan ada pemenang yang lantas memiliki legitimasi dalam penentuan
seleksi kandidat di segala pemilu. Memang, demokrasi internal parpol berbeda
konteksnya dengan demokrasi antarpartai. Namun, terdapat tuntutan partisipasi
inklusif dalam parpol.
Partisipasi inklusif dalam
pengambilan keputusan itu mencerminkan kemandirian parpol dalam proses
pengambilan keputusan (decisional
autonomy). Menurut Randall dan Svasand (2002), hal itu merupakan salah
satu dimensi penting dalam pelembagaan parpol, selain penanaman nilai-nilai (value infusions), kesisteman (systemness), dan otentisitas citra
parpol (reification). Di atas itu
semua, faktor kepemimpinan sangat menentukan, ke mana parpol hendak dibangun,
ke arah kelembagaan yang, meminjam tesis Acemoglu dan Robinson (2012),
inklusif ataukah ekstraktif.
Yang inklusif ialah yang
demokratis, tidak membatasi partisipasi, memberi kesempatan yang sama bagi
setiap kader parpol untuk meraih karier organisasi. Yang ekstraktif, semua
sumber daya diarahkan untuk menopang sosok sentral elite berkuasa untuk
melanggengkan kekuasaannya. Dalam lingkungan kelembagaan parpol yang
ekstraktif, secara jangka pendek eksistensi parpol mungkin masih bisa
terjaga, tetapi sangat berisiko jangka panjangnya. Parpol yang terlalu
bergantung sekadar pada sosok, bukan sistem, rawan perpecahan di kemudian
hari.
Depersonalisasi dan regenerasi
Belajar dari berbagai peristiwa
internal parpol dewasa ini, perlu direkomendasikan dua hal. Pertama,
parpol-parpol seyogianya membuat tradisi politik demokratis. Ini artinya
aturan main tidak boleh dilabrak. Institusionalisasi politiklah anjuran
idealnya. Logikanya, organisasi apa pun, apalagi parpol, kalau tak terkelola
baik dan terlembaga, cepat atau lambat akan lemah dan membusuk.
Kedua, kearifan demokratik para
elite parpol. Mereka tidak saja dituntut sadar dalam ikhtiar membangun
institusi parpol, tetapi juga dalam regenerasi. Merujuk Blondel dan Thiebault
dalam The Personalisation of Leadership (2010), depersonalisasi parpol
sangat relevan. Depersonalisasi meletakkan konteks kepemimpinan ke ranah
kelembagaan. Pemimpin ialah bagian integral lembaga, dan bukan lembaga itu
sendiri. Ia terikat aturan main dan etika organisasi. Sosok sentral tidak
boleh kemaruk kekuasaan.
Setiap parpol di Indonesia
memang punya karakter masing-masing, di mana hal itu dipengaruhi oleh gaya
kepemimpinan dan tradisi kelembagaan mereka. Munculnya sosok-sosok sentral
yang berpengaruh pun hadir dari perspektif yang berbeda-beda. Megawati di
PDI-P, misalnya, merupakan sosok historis yang hadir sejak awal pendirian
partainya. Karisma historisnya itu memperoleh sokongan signifikan di ranah
pendukung tradisionalnya. Terpilih kembali Megawati tak lepas dari keberadaan
PDI-P sebagai partai berkuasa. Kendati demikian, PDI-P di bawah Megawati
tetap terus memperoleh sorotan dari sisi regenerasi, yang dalam batas-batas
tertentu tengah berlangsung.
Berbeda dengan Megawati,
kemunculan SBY di Partai Demokrat tidak demikian. SBY tidak tampil sebagai
pendiri partainya sejak awal. Hal ini bisa dipahami mengingat posisi SBY yang
bukan aktivis parpol sebagaimana Megawati ketika mendirikan PDI-P. SBY muncul
belakangan ketika segala sesuatunya dipandang memungkinkan. Ia kemudian menjadi
ikon Partai Demokrat sedemikian rupa sehingga partainya terpola secara klub
penggemar (fans club) SBY.
Dalam konteks ini, SBY adalah
politisi yang andal. Ia mampu mengapitalisasi partainya sedemikian rupa
sehingga ia mampu bertahan sebagai presiden dua periode.
Tidak seperti PDI-P, Partai
Demokrat anjlok drastis prestasi elektoralnya pada Pemilu 2014. Dalam konteks
inilah, dapat dipahami manakala kepemimpinan SBY dipertanyakan. Kritik
terhadap majunya kembali SBY sebagai kandidat ketua umum pun segara dapat
dipahami. Selain terkait konteks regenerasi, masa depan partai semestinya
menjadi pertimbangan. Daya pikat politik SBY masa kini telah berbeda dengan
situasi pada 2004 atau 2009. Belum tentu pasca-2019 Partai Demokrat lebih
baik prestasi elektoralnya.
Lagi pula, ikon SBY sebagai
"sang demokrat" bisa semakin kontradiktif apabila mobilisasi
dukungan kepada dirinya dilakukan dengan cara-cara yang cenderung mengekang
kebebasan dan otonomi pengambilan keputusan penentu suara. Partai Demokrat
hendaknya tidak pula terjebak pada karakter kepolitikan dinastik sebab bisa
kontraproduktif.
Tidak hanya dalam kasus PDI-P
dan Partai Demokrat, terhadap yang lain-lain pun kita perlu contoh pemimpin
politik yang mampu menggerakkan tradisi ke arah penguatan kelembagaan partai
dan demokrasi internal yang baik. Ini penting mengingat politik parpol adalah
miniatur politik bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar