Kota
Pintar
Bukan
Sekadar Tombol dan Teknologi Tinggi
Handi Sapta Mukti ; Praktisi
Manajemen Pemerhati Masalah Sosial & Lingkungan
|
KORAN SINDO, 22 Mei 2015
Smart
city atau kota pintar banyak dibahas akhir-akhir ini. Beberapa media dan
akademisi berupaya merumuskan kriteria kota pintar dan indeks kota pintar.
Beberapa
kota bahkan sudah melaksanakan program kota pintar, sebut saja Bandung dan
Bogor di Jawa Barat. Melalui wali kotanya, mereka mencanangkan program kota
pintar. Tentu ini hal yang sangat positif dan menggembirakan, khususnya bagi
dua warga kota tersebut. Harapan utama masyarakat warga kota saat mereka
tinggal di suatu kota adalah rasa bahagia.
Bahagia
tentu dalam arti luas yaitu bahagia lahir maupun batin. Bahagia bagi warga
kota adalah kenyamanan dan keamanan dalam beraktivitas dan bertempat tinggal.
Kenyamanan dalam beraktivitas bisa berupa kemudahan dalam bekerja, belajar,
berkomunikasi, bepergian, bermain, berolahraga, dan sebagainya. Kenyamanan
dalam bertempat tinggal bersama keluarga bisa berupa waktu yang berkualitas,
lingkungan yang bersih, aman dan kenyamanan dalam berinteraksi sosial.
Kota Pintar dan Kota di Indonesia
Jika
kenyamanan dan keamanan adalah yang diharapkan oleh warga sebuah kota, apakah
hal itu sudah sejalan dengan tujuan program kota pintar? Menurut Suhono
Harso, guru besar STEI Institut Teknologi Bandung, tentang kota pintar,
”Teknologi broadband adalah salah satu yang dibutuhkan untuk mewujudkan kota
cerdas selain transportasi umum, air, energi, dan lingkungan hidup.
Faktor
lainnya adalah kepemimpinan, komitmen, dan peran serta masyarakat, swasta,
dan universitas” (Jakarta: 2013).
Secara fisik kota pintar didefinisikan sebagai kota yang bukan saja sudah
mampu menyediakan, melainkan juga mencukupi kebutuhan warganya akan kebutuhan
dasar untuk bertempat tinggal dan beraktivitas.
Mencukupi
dalam hal ini tentu saja dalam kondisi di mana warga bisa dengan nyaman
menggunakan semua fasilitas dan sarana pendukung sebuah kota, baik air,
listrik, transportasi umum, sarana olahraga dan rekreasi, rumah sakit, pasar,
perbankan, dan sebagainya. Warga tidak perlu membayar mahal, berebut, berdesakan,
apalagi membahayakan untuk memperolehnya.
Lalu,
bagaimana kondisi kota- kota besar di Indonesia, apakah sudah memberikan
kenyamanan dan keamanan bagi warganya? Coba kita lihat apa yang terjadi di
Jakarta sebagai ibu kota yang dapat menjadi barometer dan kiblat dari contoh
kota ”modern” di Indonesia.
Di
Jakarta, warga membutuhkan waktu dua hingga tiga jam untuk tiba di kantor,
mereka berdesak-desakan di kendaraan umum, berjibaku dengan pencopet dan bagi
yang menggunakan kendaraan sendiri harus bersiap-siap terjebak dalam
kemacetan panjang dan menghadapi begal jalanan.
Pejalan
kaki pun harus ekstrahati-hati karena banyak trotoar dipergunakan untuk
berjualan, tempat parkir, bahkan menjadi ”jalan alternatif” bagi para
pengendara sepeda motor. Setiap hari warga menghamburkan energi dengan
sia-sia di jalan, membuang waktu produktif mereka, sehingga menyisakan
sedikit energi untuk berkarya di tempat kerja dan stres saat kembali ke
rumah.
Keadaan
tersebut mengakibatkan berkurangnya produktivitas, kualitas interaksi dalam
keluarga dan sosial, menumbuhkan sifat egois, dan merenggangnya hubungan anak
dan orang tua. Belum lagi kita bicara fasilitas kesehatan, pendidikan, dan
lainnya. Apakah sebuah kota dengan kondisi warganya yang demikian tersebut
dapat dikatakan sebagai kota pintar?
Kalau
bukan kota pintar, lalu apa namanya, bisa jadi kota tidak pintar, kurang
pintar, atau kota bodoh. Jika sebuah kota dikatakan bodoh, apakah warganya
juga bodoh? Mungkin saja tidak. Tetapi, paling tidak mereka hidup dalam
kebodohan karena mereka hidup di kota bodoh dan memang demikianlah faktanya.
Jika suatu kota bodoh, siapa yang membuat bodoh, warganya atau pemimpinnya?
Atau,
kedua-duanya.? Yang jelas pemimpinlah yang paling bertanggung jawab karena di
tangan pemimpin seharusnya kendali itu dipegang, bukan di tangan masyarakat
atau warga. Pemimpin yang harus mampu mengendalikan program dan arah
pembangunan sebuah kota menjadi kota pintar, yaitu kota yang mampu memberikan
kenyamanan dan keamanan bagi warganya serta siapa pun yang berkunjung ke kota
tersebut.
Tertinggal 20 Tahun di Belakang
Pada
sekitar 1990, saat saya untuk pertama kalinya berkunjung ke Singapura, saya
sudah bisa merasakan kenyamanan dan keamanan dalam beraktivitas di kota itu.
Saya bisa menggunakan transportasi umum yang mereka sebut mass rapid transit
(MRT) untuk melakukan berbagai aktivitas di sana.
Petunjuknya
sangat mudah dan jelas, demikian juga pengaturan arah dan rutenya yang mereka
bagi dalam dua jalur, merah dan biru. Keretanya pun sangat bersih dan nyaman.
Semua sangat memudahkan, bahkan bagi saya yang saat itu baru pertama kali
berkunjung ke kota tersebut. Berjalan kaki di kota ini pun terasa sangat
nyaman, trotoar untuk pejalan kaki selalu tersedia tanpa diganggu oleh
kehadiran pedagang atau kendaraan yang parkir di sembarang tempat.
Berjalan
kaki di malam hari pun terasa tidak menakutkan, penerangan jalan cukup
tersedia di semua sudut kota. Keadaan tersebut tidak berubah dari tahun ke
tahun dalam kunjungan saya berikutnya, malah semakin baik. Bangkok pada awal
2000-an juga sudah memiliki semacam MRT dan keadaan lalu lintas mereka yang
sebelumnya termasuk parah di Asia sudah mengalami kemajuan yang nyata
walaupun mereka masih belum bisa terbebas dari masalah banjir.
Demikian
pula halnya dengan Kuala Lumpur. Walaupun tidak sebaik Singapura, kondisi di
sana masih jauh lebih baik dari Jakarta. Jadi jika dibandingkan dengan
kota-kota ASEAN terdekat, kondisi Kota Jakarta masih sangat jauh di bawah
mereka dan itu sudah mereka capai pada era 10-20 tahun yang silam, sementara
Jakarta hingga detik ini masih bergumul dengan berbagai masalah infrastruktur
dasar perkotaan, kemacetan yang semakin parah, dan banjir yang tidak
berkesudahan.
Program
kota pintar memang sangat dibutuhkan, paling tidak gaung kota pintar
menyadarkan kita bahwa selama ini kita hidup dalam kebodohan karena sebagian
besar kota di Indonesia masih kurang pintar hingga menjerumuskan warganya
hidup dalam kebodohan. Kita tentu sangat mengapresiasi apa yang dilakukan
oleh Wali Kota Bandung dan Bogor dengan mencanangkan program kota pintar di
wilayahnya.
Namun,
yang perlu dicermati adalah kriteria kota pintar jangan sampai melupakan
prinsip dasar dan tujuan dari sebuah kota bagi warganya. Ray M Northam
(1979), ahli perkotaan dari Amerika Serikat (AS), menyampaikan ada tujuh hal
mendasar yang perlu diperhatikan dalam melakukan perencanaan sebuah kota
yaitu: 1) populasi; 2) perumahan; 3) ekonomi; 4) penggunaan lahan; 5)
transportasi; 6) ruang terbuka dan rekreasi; dan 7) fasilitas pemerintahan
dan komunitas.
Kota pintar
bukan sekadar menghadirkan teknologi tinggi ke kota seperti jaringan nirkabel
(Wi-Fi ), teknologi pita lebar (broadband ), kamera dan alat pengamat jarak
jauh (remote CCTV/ sensor kamera), itu hanyalah alat bantu dan fasilitas
pendukung. Hal yang lebih fundamental untuk terbentuknya kota pintar adalah
ketersediaan dan kecukupan infrastruktur, terutama infrastruktur dasar,
seperti yang disampaikan Ray di atas.
Membangun
kota pintar dengan hanya menghadirkan teknologi tinggi ibarat membangun
sebuah bangunan bertingkat yang canggih, namun tidak memiliki fondasi yang
kuat, akan sia-sia dan kurang bermanfaat. Kota pintar bukan sekadar
menghadirkan layar monitor dan tombol-tombol di ruang pimpinan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar