Kenangan
Membaca, Kenangan Berpikir
Bre Redana ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 03 Mei 2015
Beberapa kali menerima
undangan menjadi pembicara dalam kegiatan yang dimaksudkan untuk menggalakkan
minat membaca, termasuk kalau tak salah minggu depan di Bandung, saya justru
berfirasat: jangan-jangan membaca (buku) akan segera menjadi masa lalu kita?
Mengingat adanya kaitan penemuan huruf, bahasa, tulisan, buku, dan memori
dalam proses evolusi manusia selama berabad-abad, dengan berlalunya kebudayaan
membaca, adakah akan berlalu pula kebiasaan berpikir? Membaca dan berpikir,
menjadi tinggal kenangan?
Tanda-tandanya sudah
tampak kini. Dengan apa yang dikenal luas sekarang dengan sebutan Twitter,
orang tak perlu berpikir keras sebelum mengutarakan sesuatu. Cukup secara
spontan dan segera: nyeletuk. Yang berkuasa adalah ucapan yang paling banyak,
bukan truth, kasunyatan,
kesejatian, yang memang sering tak terucap. Tak ada suaranya, seperti angin.
Kita hanya melihat kehadirannya lewat daun yang bergerak. Mengutip sajak
Darmanto Jatman di masa lalu: ”...seperti lidah, di mulut tak terasa/seperti
jantung, di dada tak teraba.”
Dunia kini melulu
dikuasai keberisikan, bukan keheningan berpikir. Praktisnya: ngomong dulu
berpikir kemudian. Tanda tangan dulu, berpikir belakangan. Kerja, kerja,
kerja. Lha, berpikirnya mana....
Jadi ingat, kata-kata
para editor koran di masa lalu. Kepada reporter, mereka mengingatkan: ketika
kalian pulang ke kantor, tulisan harus sudah jadi.
Maksudnya bukan kami
disuruh menyerahkan kertas berisi tulisan yang telah beres begitu sampai
kantor, di zaman mesin ketik itu. Melainkan, proses eksplorasi dan pencarian
berita adalah proses gagasan. Saat naik bus kota atau mengendarai Vespa
pulang ke kantor usai tugas lapangan, hasil wawancara, pengamatan, dan
lain-lain telah kami olah dan sintesiskan dalam pikiran kami. Struktur
tulisan telah terbentuk di otak. Dengan kata lain, sebelum mengetik, tulisan
telah selesai. Kami cepat dan akurat, dalam zaman teknologi yang lelet,
lambat, tidak sebergegas sekarang.
Itu pula ironinya. Di
zaman dengan teknologi informasi yang memungkinkan orang melakukan segala
sesuatu serba cepat—bercinta pun dengan tergopoh-gopoh—berita justru tidak
selesai. Bukan saja tidak selesai sebelum ditulis, bahkan belum selesai
setelah terpublikasikan. Persis berbagai keputusan yang memiliki implikasi
serius terhadap kehidupan publik. Banyak keputusan minus pemikiran. Dalam
dunia politik, tak ada lagi pergulatan ideologi. Yang ada perebutan
kekuasaan. Kajian politik menyangkut ideologi dan pemikiran digantikan talk
show berisi gosip politik. Untung dulu tak jadi susah-susah kuliah ilmu
politik.
Terus terang, dengan
surutnya kebiasaan membaca buku, saya melulu melihat hal-hal yang bakal
hilang, belum menemukan apa yang bakal menjadi gantinya. Proses membaca buku
berbeda dengan proses membaca di layar laptop atau berbagai perangkat digital
canggih sekarang. Membaca melalui layar komputer, istilahnya hiperteks,
berbeda prosesnya di otak dibanding dengan membaca buku, dalam hal ini
disebut pembacaan secara linear.
Pada pembacaan
hiperteks, orang meloncat ke sana-kemari, tidak fokus ke satu hal. Belum lagi
kalau kita bicara cara kerja saraf-saraf sensorik tubuh. Dalam pembacaan
dengan teknologi digital, sistem sensor dan kognitif kita berubah karena
stimulus yang bersifat repetitif, intensif, interaktif, dan adiktif (membuat
kecanduan). Lihat sendiri: kalau pasangan Anda kecanduan peranti digital,
susah dia diajak ngomong. Sadarkan dia, bukan buru-buru cari ganti.
Menggalakkan kebiasaan
membaca (buku) kini menemukan signifikansi baru. Dia bukan hanya upaya
memberantas iliterasi, tetapi juga menyelamatkan otak. Kenangan Desember
lumayan, jadi ingat diri penyanyi Arie Kusmiran. Kalau membaca dan berpikir
tinggal kenangan, kita kehilangan diri.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar