Isra
Mikraj dan Spirit Toleransi NKRI
M Saifuddin Alia ; Pengurus IKAQ Menara Kudus;
Direktur Central for Islamic Education and Culture
Studies (CIIS) Grobogan
|
SUARA MERDEKA, 15 Mei 2015
Setiap
27 Rajab seluruh umat Islam selalu memeringati Isra Mikraj Nabi Muhammad saw.
Pesan utama yang terkandung dalam peristiwa Isra Mikraj adalah perintah
menjalankan shalat lima waktu.
Melaksanakan
shalat pada hakekatnya tidak hanya sekadar memberi manfaat pada si pelaku
saja, tetapi lebih dari itu juga memberi manfaat bagi orang lain, masyarakat,
bahkan bagi bangsa dan negara. Karena sesungguhnya shalat dapat menyelamatkan
manusia dari berbuat keji.
”Sesungguhnya salat itu mencegah perbuatan keji
dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar
keutamaannya. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan,” (Al
Ankabut: 45). Mengingat nilai yang terkandung dalam shalat itu bersifat
universal, maka implementasi dalam kehidupan nyata juga harus bersifat
universal pula, yaitu harus lintas agama, etnis dan golongan.
Merealisasikan
hal yang demikian ini tentunya sangatlah penting karena kian hari bangsa ini
dihadapkan pada persoalan toleransi yang secara kuantitas dan kualitasnya
semakin mengkhawatirkan. Di mana sekarang ini toleransi telah menjadi barang
mahal dan langka di negeri yang katanya majemuk ini.
Dalam
kondisi riil seperti itu seyogianya seluruh umat Islam berada di garda depan
untuk memelopori tumbuhnya toleransi, sebagaimana yang pernah dilakukan dan
didakwahkan Nabi Muhammad saw di Madinah. Bukan malah sebaliknya dalam
berperilaku dan berdakwah justru melenceng jauh dari ajaran agung Nabi
Muhammad yang selalu dalam kosmos toleransi.
Jika
cara berdakwah yang mengabaikan prinsip toleransi seperti yang dilakukan
sebagian umat Islam di Indonesia sekarang masih terus berlangsung, tidak
tertutup kemungkinan ke depan akan terjadi benturan antarumat beragama, etnis
dan golongan di bumi pertiwi ini. Dan bila hal itu sampai terjadi, maka tidak
saja dapat mengganggu serta menghambat pembangunan nasional, tetapi lebih
parah lagi akan dapat mengancam keutuhan NKRI.
Mulai
saat ini, mau tidak mau segenap umat Islam dalam berdakwah hendaknya selalu
mencontoh cara, strategi dan metode yang dipraktikkan Nabi Muhammad saw,
yaitu dengan bil hikmah wal mauidhah hasanah.
Di mana
dalam ranah praktis aplikasinya penuh dengan sikap toleransi, perdamaian,
humanis dan santun. Bukannya dengan jalan kekerasan dan anarkisme yang jelas
melenceng jauh dari subtansi tujuan shalat yang merupakan hasil Isra Mikraj
Muhammad saw.
Dalam
momentum peringatan Isra Mikraj kali ini, mari kita kaji dan renungkan
bersama bagaimana Nabi Muhammad saw saat memimpin sekaligus berdakwah di
Madinah. Dia telah melaksanakan toleransi yang luar biasa hebatnya. Sebagai
pemimpin negara dan agama, Nabi Muhammad saw selalu mengakomodasi seluruh
kepentingan rakyatnya tanpa mengedepankan kepentingan pribadi dan golongan
sedikit pun.
Sikap Simpatik
Justru
dengan sikap simpatik serta toleransi yang sungguh-sungguh serta totalitas,
agama Islam pada periode itu mengalami ekspansi dan kemajuan yang luar biasa.
Cara dan
strategi dakwah seperti itu pulalah yang membuat Walisongo sukses penyiarkan
agama Islam di Indonesia, khususnya di tanah Jawa. Mereka dalam berdakwah
totalitas mencontoh apa yang dipraktikkan Nabi Muhammad saw, yaitu dengan bil
hikmah wal mauidhah hasanah. Di mana cara dakwah semacam ini harus selalu
lekat dengan akhlaqul karimah, humanisme dan toleransi yang tinggi.
Jauh
dari praktik anarkisme dan teror. Namun justru dengan cara serta metode
inilah agama Islam dapat diterima dan berkembang pesat dalam waktu yang tidak
lama, bahkan hingga bisa sebagai agama mayoritas di Indonesia. Sikap
akomodatif, humanis dan toleransi itu hakikatnya merupakan inti dari ajaran
agama Islam dalam hal dakwah.
Terutama
ajaran yang terdapat dalam Surat Al-A’raf; ”Sesungguhnya Kami jadikan kamu
sekalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk berkenal-kenalan.”Ayat ini
jelas-jelas menunjukkan bahwa terciptanya kehidupan manusia dengan beragam bangsa
dan suku merupakan sunnatullah yang pasti akan selalu ada sampai kapan pun.
Karena keragaman dan plutralitas hidup manusia adalah realitas kehidupan di
bumi yang dikehendaki Allah Swt.
Di sisi
lain ayat itu juga mempunyai tujuan untuk menciptakan kesadaran kognisi
manusia agar saling mengenal satu sama lain dalam suatu proses dan dialektika
hidup bersama. Sebab hanya dengan modal pluralitas, toleransi dan kesadaran
manusia tersebutlah roda kehidupan dengan dinamika, dialektika dan
pemberdayaannya dapat berjalan terus.
Tetapi
sayang sering kita sebagai umat Islam dan warga bangsa Indonesia yang majemuk
ini belum mampu menangkap pesan Ilahiyah yang terdapat dalam Alquran tentang
pluralisme dan toleransi itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar