Imperialisme
Jasa
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
|
KOMPAS, 07 Mei 2015
Beberapa tahun
belakangan, saya harus menahan diri untuk mengekspresikan rasa kesal pada
satu hal ini: ongkos parkir. Sejak parkir umum yang semestinya menjadi
konsekuensi logis toko/pusat perbelanjaan/hotel/perkantoran/rumah sakit
sebagai pelayanan atau fasilitas lumrah bagi para konsumen atau tamunya,
diambil alih perusahan jasa perparkiran, hal yang semula gratis secara wajar
menjadi sangat mahal secara tidak wajar.
Beberapa perkantoran
atau pusat perbelanjaan, memasang tarif sekali masuk Rp 5.000 dan biaya Rp
4.000/jam, sehingga hanya untuk perundingan bisnis atau belanja sekitar 3
jam, kita harus membayar tak kurang dari Rp 17.000. Jumlah yang mungkin tak
seberapa bagi sebagian orang, tetapi secara akumulatif nilainya
mencengangkan. Hanya dengan lapak sekitar 6 meter persegi beralas konblok,
aspal, semen atau lainnya, para pengusaha jasa mendapat pemasukan tidak
kurang Rp 1,5 juta/bulan (dalam hitungan rata-rata hanya 12 jam sewa per
harinya). Pemasukan itu (atau Rp 18 juta/tahun), tentu setara sebuah rumah
kontrakan tipe 54/92 yang cukup mewah, atau kos/kontrakan/apartemen sangat
mewah, dengan luas tanah jauh lebih lapang, dengan bangunan bagus dan
fasilitas lain. Dengan perhitungan apa yang, perusahaan jasa parkir
mendapatkan penghasilan begitu menakjubkan, dengan modal sekadar palang dan
pos kecil dengan seorang petugas?
Tak lain semua itu
mungkin hanya karena satu bentuk perdagangan yang menggila tiga dekade
belakangan: jasa. Inilah bentuk perdagangan kedua, setelah manufaktur, yang
paling pesat pertumbuhannya, sekaligus paling telengas dalam mengisap dompet
konsumennya. Dalam esensinya yang menawarkan kenyamanan, kemegahan, rasa,
gengsi, dan hal-hal abstrak lain, bisnis jasa hampir tak punya ukuran atau
standar untuk harga. Semua berlangsung absurd, ditentukan setidaknya seberapa
jauh konsumen terilusi atau tertipu imaji atau simulacra ilusif yang
ditawarkan pedagang jasa.
Katakanlah, secangkir
kopi atau soto betawi yang dengan mudah kita temukan di berbagai kedai kaki
lima, tiba-tiba melonjak hingga lebih 2.000 persen ketika ia kita beli di
sebuah restoran atau mal yang megah dan ber-AC kuat. Begitu pun dengan jasa
yang ditambahkan (sebagai nilai tambah) pada barang-barang manufaktur,
seperti busana, peralatan rumah tangga, hingga gawai. Yang terlebih
menyakitkan ia terjadi dengan semena-mena pada industri jasa yang sangat
mendasar, seperti rumah sakit dan lembaga pendidikan, ketika sewa ruang kelas
1 atau VIP di sebuah rumah sakit, misalnya, lebih mahal dari tarif kamar
berkelas sama di hotel berbintang empat, tetapi dengan fitur dan fasilitas
yang jauh lebih minim.
Kemahalan yang sama
harus dibayar pasien (yang sudah menderita karena penyakitnya) untuk
kunjungan dokter yang sama, teknologi sama, waktu konsul yang sama dengan
beberapa kelas di bawahnya.
Represif
Jasa, kini benar-benar
tidak hanya memberi keuntungan nauzubillah bagi para pedagangnya, tetapi
secara kontradiktif memberi bukan melulu beban, tetapi semacam siksaan kepada
konsumennya yang lebih kerap tidak berdaya. Seperti kita di bandara, tempat
wisata, bar, resto, hotel, atau berbagai ruang eksklusif lainnya, harus
menemukan harga barang-barang biasa dengan harga yang luar biasa karena
berlipat-lipat nilainya. Semua itu terasa represif karena kita tidak mampu
menawar, melawan, dan terlindungi oleh pemerintah sebagai pihak yang
berwenang untuk itu. Kita seperti terimperialisasi oleh satu hal yang sangat
absurd, namun nyata dampak praktisnya: jasa.
Akan tetapi, dari
semua ilustrasi kecil itu, hal paling menyakitkan dan terasa menjajah
kesadaran kita adalah skema kredit atau leasing yang selama ini menjadi
tumpuan bahkan modus masyarakat mewujudkan harapan atau mimpi modern
(hedonistik)-nya. Tanpa dapat kita menawar sedikit pun, atau bahkan hampir
seperti fait accompli, kita harus menemukan ketentuan kredit/leasing itu, di
mana dijebak aturan utang yang sangat merugikan, lain kata sangat
menguntungkan pemberi kredit.
Sudah umum diketahui,
cicilan yang kita bayar untuk pembelian kredit rumah, kendaraan bermotor,
gawai, hingga perjalanan wisata bahkan umrah, hampir 90 persen untuk
pembayaran bunga pada setengah periode awal masa kreditnya. Sehingga ketika
kita ingin melunasi kredit di pertengahan masa, kita menemukan jumlah utang
pokok masih menggunung, lebih dari 80 persen. Betapa licin, cerdik, tetapi
juga culas dan memeras skema kredit yang tidak adil seperti ini. Betapa besar
jumlah keuntungan yang diraup secara tidak adil oleh lembaga keuangan pemberi
kredit yang mendapat pelunasan di tengah jalan. Betapa culasnya, ketika kita
sudah membayar hampir lunas bunga kredit ketika masa pelunasan masih cukup
panjang untuk diakhiri.
Bank, sebagai lembaga
keuangan pemberi kredit utama, termasuk bank pemerintah yang menggunakan uang
rakyat sebagai modalnya, menggunakan skema yang sama untuk bisnis jasa yang
mengerikan ini. Bahkan bank-bank pemerintah pun, seperti swasta tentunya,
menciptakan tarif yang mokal-mokal dengan memasang tarif untuk beberapa
transaksi, seperti cek saldo, transfer elektronik, bahkan sekadar untuk cek
saldo hingga setoran. Bayangkan, jika hanya untuk cek saldo kita ditagih Rp
6.500, maka bila hanya 25 persen dari 100 juta nasabah sebuah bank besar
melakukan cek saldo dalam sehari, bank mendapat pemasukan tak kurang dari Rp
162,5 miliar/hari.
Hanya dalam sehari,
hanya untuk cek saldo. Hitunglah per bulan atau tahun, juga untuk semua
bentuk transaksi. Hampir tanpa biaya signifikan dengan tarif itu yang harus
bank keluarkan, karena semua hanya menggunakan gelombang elektromagnetik yang
notabene milik publik. Apa yang sedang terjadi? Mengapa perdagangan atau
ekonomi (pos)modern berbasis teknologi ini begitu kuat menjerat, hingga
kesadaran terdalam kita. Lalu kita menerimanya sebagai satu hal yang given.
Mana lebih dahsyat imperialisme mutakhir dengan bentuknya yang sama di masa
lalu?
Dehumanisasi konsumen
Kapitalisme dengan
model terkejamnya, pasar bebas, memang harus diakui melakukan semacam represi
yang mendehumanisasi konsumen, menjadikan manusia hanya sebagai sapi perah
untuk memenuhi kebutuhan susu pundi-pundi triliunan rupiah maupun dollar dari
para pemilik modal besar, bahkan pemerintah pun mengikutinya dengan cara
telengas (Anda tahu, kan, telepon atau listrik Anda akan segera diputus hanya
keterlambatan pembayaran dalam hitungan hari?). Semua itu hanya menggunakan
perangkat paling ampuh dan absurd dari ekonomi kapitalistik ini: harga.
Khususnya di genre perdagangan mutakhirnya: jasa.
Jasa sebagai
perdagangan mutakhir mungkin bisa disebut sebagai level lanjutan dari
perdagangan berbasis pertanian (agrikultur) di masa pramodern dan industri
manufaktur di masa modern. Sejak masa lalu bisnis memang sudah ada, bahkan
untuk perbankan di Tiongkok sudah sejak paruh awal milenium kedua, dan dalam
pengertian modern (warkat antara lain) sejak usai Perang Salib abad ke-12,
ditemukan dan dijalankan para Ksatria Templar bagi para peziarah ke kota suci
Jerusalem.
Namun, sebagai jenis
perdagangan utama dunia, jasa baru mulai diakui secara formal sejak awal 80-an,
ketika Amerika Serikat (bersama negara-negara satelit ekonominya, seperti
Kanada, Korea Selatan, Jepang, Australia, dan Singapura) dengan intensif dan
teguh memaksakan jenis perdagangan itu ke dalam aturan perdagangan global
WTO. Sejak saat itu, nilai perdagangan jasa yang sangat minor sebelumnya, tak
lebih dari 10 persen ketimbang agrikultur dan manufaktur meningkat dengan
sangat cepat. Jika dua pendahulunya membutuhkan ribuan tahun dan ratusan
tahun, jasa hanya membutuhkan sedikit dekade.
Bisa dibayangkan di
wilayah di mana perdagangan tradisional masih dominan, seperti Sub-Sahara
Afrika, pada 2005 perdagangan jasa sudah mengambil porsi 47 persen dari
kapasitas ekonomi kawasan itu, sementara agrikultur hanya 16 persen dan
manufaktur 37 persen. Bahkan data WTO mutakhir menunjukkan angka
mencengangkan perdagangan jasa mengambil porsi lebih dari 50 persen total
perdagangan dunia, melibatkan sepertiga tenaga kerja profesional, dan
menguasai dua pertiga pendapatan global.
Kita semua mafhum, ke
mana keuntungan terbesar terkumpul, tidak lain pada para pemilik modal besar
yang menguasai mata-mata komoditas jasa, mulai dari hotel, resto,
penerbangan, turisme, pendidikan, transportasi, hiburan, hingga pelacuran,
alkohol, dan perjudian. Keuntungan berlipat itu berbanding terbalik dengan
kesejahteraan konsumen, khususnya rakyat kelas bawah, yang menderita
kemiskinan absolut karena terisap pendapatan minusnya untuk jasa-jasa yang
mereka juga—secara alamiah—ingin nikmati juga (tentu karena rayuan maut
advertensi dan gaya hidup kelas atas/menengah).
Sampai bila situasi
ini? Bisakah ia berakhir? Mohon ampun, saya akan menyatakan dengan tegas: ia
tak akan berakhir. Artinya? Jelas, pengisapan yang imperialistik ini akan
terus berlanjut, hingga rakyat kebanyakan—tidak hanya yang ada di Sorong atau
Tulungagung, tetapi juga Leningrad, Paris, dan New Delhi—benar-benar kempis
kantong ekonomi bahkan harapan kesejahteraannya. Hingga pada masa di mana,
kita, rakyat kebanyakan, tinggal menjadi budak-budak industri yang penghasilan
dari keringat, air mata bahkan darahnya habis dengan cepat hanya untuk
mengonsumsi hasil industri yang ia buat sendiri.
Maka, sebagian dari
kita bekerja jauh lebih keras, jauh lebih keras hingga lupa dengan tanggung
jawab keluarga atau sosial di sekitarnya, hanya untuk menambal
kekurangan-kekurangan pokok hidupnya, karena penghasilannya melalui apa yang
sebut false consciousness diisap
kenikmatan-kenikmatan jasa. Kita akan kerja lembur terus, akan cari sampingan
terus, dan bila semua kemungkinan penghasilan alternatif itu menyempit, kita
pun menengok alternatif lain, yang ilegal bahkan kriminal.
Tidak mengherankan,
bukan saja korupsi dan manipulasi merajalela, praktik dagang licik dan penuh
tipu terjadi, tetapi juga kejahatan—yang mematikan—terjadi hanya untuk uang
tak seberapa. Sebagian lagi melacurkan diri, karena tinggal milik itu yang
kita punya. Dan betapa mengiris hati, ketika remaja-remaja belasan tahun kini
menjual dirinya, lewat media-media sosial, dengan berbagai tawaran yang
mengiris-iris harga diri.
Apakah tidak ada yang
tersentuh dengan fenomena gila seperti ini? Di mana mereka kaum elite yang
mendapatkan limpahan berkah dan amanah dari kita, khalayak? Tidakkah mata dan
hati mereka tidak lagi menangis? Atau justru tenggelam sebagai bagian atau
cecunguk dari peradaban dagang seperti itu? Sadar atau tak sadar
mengimperialisasi rakyatnya sendiri, khalayak yang telah memberinya
kemuliaan? Di mana pemerintah? Padahal, di sementara lain, bangsa ini yang
sangat terkenal dengan kebudayaan, kesenian, dan kekuatan kreatifnya, malah
tidak mampu mengambil keuntungan dari bisnis jasa yang sebenarnya justru
menjadi kekuatannya? Saya tidak ingin lagi berdoa, untuk kesadaran
mereka—kaum elite—misalnya. Saya menuntut dengan keras: jangan biarkan,
bahkan sekali-sekali jangan pernah menjadi komprador untuk menghancurkan
bangsa ini dengan skema perdagangan seperti di atas. Menghancurkan masa depan
anak cucu kita. Menghancurkan peradaban kita yang mulia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar