Empati
bagi Nenek Asyani
Fachruddin Mangunjaya ; Wakil Ketua Pusat Pengajian Islam (PPI)
Universitas Nasional
|
KORAN TEMPO, 02 Mei 2015
Akhirnya pengadilan
menjatuhkan hukuman 1 tahun dan denda Rp 500 jutauntuk Asyani. Ia seorang
nenek yang didakwa mencuri kayu jati atas laporan Perum Perhutani Resor
Pemangkuan Hutan Jatibanteng, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bondowoso.Ini
ironi pengadilan untuk menegakkan hukum atas pemanfaatan sumber daya
alam—yang sangat dirasa ketidakadilannya dibanding kasus-kasus lain.
Misalnya, vonis terhadap kapal pencuri ikan Hai Fa.
Pengelolaan sumber
daya alam dan hutan sejak dulu sangat suram, karena selama ini selalu
berpihak pada kalangan pemilik modal demi pemasukan dan pundi-pundi
pemerintah. Dan sudah menjadi rahasia publik, perizinan atas hak pengelolaan
hasil hutan, pembukaan lahan kebun, yang luasnya ribuan bahkan jutaan
hektare, menjadi lahan "sogok-menyogok" dan korupsi yang akut.
Padahal amanah
undang-undang dasar kita secara makro jelas tercantum dalam Pasal 20, 21, dan
33 UUD 45, yang pada hakikatnya mendukung pemanfaatan sumber daya alam,
tanah, air, dan apa pun yang terkandung di dalamnya untuk kepentingan rakyat.
Lalu rakyat manakah yang dimaksudkan?
Pengelolaan sumber
daya hutan selama ini pun ternyata memang gagal mensejahterakan masyarakat
pinggiran hutan. Justru hasil hutan diekspor dan yang mendapatkan keuntungan
adalah kapitalis di kota-kota besar dan petinggi pemerintah pengelola
perizinan atas nama negara, yang bekerja di belakang meja. Sementara itu,
masih tercatat 63 persen dari 18,5 juta orang miskin berada di pinggiran
hutan.
Dan pada ujungnya
adalah kini, setelah kebijakan penebangan hutan, masyarakat mengalami
kerugian dan bencana sepanjang tahun. Akhir-akhir ini, menurut survei Meijaard
(2013), di Kalimantan ada 500 ribu orang menderita setiap tahun akibat
bencana banjir, karena hutan gundul. Sementara itu, di Jambi, suku Anak Dalam
harus menderita kelaparan karena sumber pencaharian mereka di hutan alam
telah tiada, akibat konversi hutan menjadi ladang sawit.
Pengelolaan sumber
daya hutan, termasuk kawasan lindung dan konservasi, di Indonesia banyak
disalahtafsirkan secara sangat kaku dan normatif. Padahal tujuan utama dan
substansi pengelolaan dan perlindungan adalah dalam upaya keadilan dan
kesejahteraan rakyat. Ironisnya, masyarakat yang berada di sekitar dan
menjadi penghuni asli kawasan itu malah menderita.
Dalam prinsip
sederhana, etika yang paling logis mengajarkan bahwa orang yang lebih dulu
dibantu adalah orang yang paling dekat dengan sumber daya tersebut. Sumber
daya alam seharusnya dapat diakses secara mudah. Di situlah fungsi penetapan
lahan penyangga dan pemanfaatan tradisional, di mana pemanfaatan langsung
secara terbatas dengan menggunakan alat sederhana dan tradisional seharusnya
dapat diperkenankan.
Dalam contoh sederhana
mengakomodasi pemanfaatan berkelanjutan, penulis sering meminjam contoh
keberpihakan dan kearifan Khalifah Umar Ibn Khattab yang memperkenankan masuk
penyabit rumput yang miskin di kawasan konservasi pada Zaman Khalifah. Bahwa
orang miskin haruslah dibantu untuk memanfaatkan kawasan, bahkan kawasan itu
seharusnya dilindungi, yang sekarang disebut dengan kawasan konservasi.
Saya kutip hadis dari
Buchari sebagai berikut: "Bahwa Umar bin Khattab mempekerjakan
pembantunya yang bernama Hani dihima (lahan konservasi). Umar berkata kepada
Hani: 'Bersikap ramahlah kepada orang
dan hindarilah doa orang yang teraniaya (karenamu), karena doa orang yang
teraniaya itu dikabulkan. Izinkanlah masuk orang-orang yang mencari rumput
dan air…sebab, kalau ternak mereka (para pencari rumput dan air) mati, mereka
datang kepadaku dengan anak-anak mereka menuntut: Hai Amirul Mukminin, apakah
engkau telantarkan mereka (dengan melarang mencari rumput dan air sehingga
ternak mati dan mereka kelaparan,red)? Kami hanya membutuhkan air dan padang
rumput, bukan emas dan perak.' Demi Allah, mereka menganggapku telah
menganiaya mereka, karena lahan (konservasi) itu adalah kampung mereka. Demi
Zat yang menguasai nyawaku, kalau bukan karena harta yang bisa dimanfaatkan
untuk jalan Allah, aku tidak akan mengkonservasi sejengkal tanah pun dari
kampung mereka."
Asyani mewakili pesan
Khalifah Umar tentang orang miskin yang seharusnya dibela dalam kehidupannya.
Ada keprihatinan tentang "kurangnya empati" para pegawai di
lapangan yang menahan dan menangkap Asyani. Kiranya, ujung tombak Kementerian
Kehutanan dan Lingkungan ini perlu mendapatkan pelatihan tentang empati bagi
masyarakat miskin di sekitar hutan kepada masyarakat miskin di sekitar hutan
yang dijaganya. Sebab, di situlah sesungguhnya keberhasilan pengelolaan hutan
dapat dimulai. Pengelolaan hutan
bukanlah pada hutannya, melainkan pada manusianya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar