Eksekusi
Hukuman Mati dan Reaksi Negara lain
Farouk Muhammad ; Wakil Ketua DPD R;
Guru Besar
di PTIK dan Universitas Indonesia
|
MEDIA INDONESIA, 05 Mei 2015
RABU dini hari (29/04), delapan terpidana mati
kasus narkoba telah dieksekusi di Nusakambangan, Jawa Tengah. Terpidana warga
Australia, Brasil, dan Nigeria dieksekusi oleh regu tembak setelah perintah
pelaksanaan hukuman mati dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung. Reaksi keras
langsung ditunjukkan oleh Pemerintah Australia dengan menarik duta besarnya
dari Jakarta. Tindakan pemerintah Australia ini serupa dengan Brasil dan
Belanda yang telah lebih dulu menarik duta besarnya dari Indonesia. Itu wujud
protes atas eksekusi mati warganya pada ‘gelombang pertama’. Tekanan
diplomatik di masa depan, tentu akan makin gencar seiring ngototnya
pemerintah melanjutkan eksekusi mati bagi pelaku kejahatan narkoba.
Konsepsi hukuman mati
Hukuman mati punya sejarah panjang. Didasarkan
pada praktik penghukuman kuno lex talionis. Mata di balas mata, gigi dibalas
gigi. Hukuman mati dianggap balasan yang setimpal atas kejinya kejahatan yang
dilakukan penjahat. Hukuman mati umumnya dianut oleh semua negara-negara di
dunia di masa awalnya.
Seiring dengan perkembangan waktu, hukuman
mati kemudian dianggap kejam dan tidak efektif. Kritik tersebut berkembang
seiring dengan tumbuhnya kesadaran hak asasi manusia (HAM). Hukuman mati
dianggap tidak berperikemanusiaan dan tidak tepat sasaran. Sudah semestinya
hukuman tidak ditujukan sebagai alat balas dendam, tetapi hukuman harus
bermanfaat memperbaiki pelaku.
Perbedaan titik tekan hukuman ditujukan
sebagai usaha memperbaiki pelaku dengan hukuman berorientasi pada akibat
kejahatan, telah menimbulkan perbedaan penyikapan antara negara-negara mengenai
hukuman mati. Negara-negara yang model penghukumannya berorientasi pada
perbaikan pelaku dan kesadaran HAM-nya lebih tinggi, maka hukuman mati
cenderung dihapus dalam sistem hukum pidananya.
Sikap yang berbeda akan terlihat jika suatu
negara memberi penekanan pada akibat kejahatan yang diperbuat oleh pelaku dan
mengonsepkan HAM sebagai hak yang bersifat relatif, negara tersebut cenderung
mempertahankan hukuman mati. Perbedaan pola penyikapan tersebut yang
menyebabkan hukuman mati menjadi berbeda perumusannya di antara banyak
negara-negara.Walaupun demikian, terdapat kecenderungan eksekusi yang `lebih
manusiawi' dalam pelak sanaan hukuman mati.
Hukuman mati pada umumnya pernah diterapkan
oleh semua negara di dunia. Termasuk Brasil, Belanda, maupun Australia.
Seiring perjalanan waktu, negara-negara tersebut secara bertahap menghapus
hukuman mati. Perubahan sikap ini tentu saja dipengaruhi dinamika sejarah,
pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, maupun seberapa kompleksnya persoalan
kejahatan yang dihadapi.
Di Brasil awalnya ancaman hukuman mati
ditujukan terhadap beberapa jenis kejahatan dalam kitab undang-undang
pidananya. Seiring perjalanan sejarah, hukuman mati sering kali dijadikan
senjata untuk menyingkirkan lawan-lawan politik oleh rezim despotik yang berkuasa
(Pereira, 2005). Trauma sejarah
inilah yang menjadi salah satu pemicu bagi Brasil untuk melakukan pembatasan
hukuman mati. Dimulai secara bertahap melalui pembatasan sesuai Pasal 84 (19)
Konstitusi 1988. Penghapusan ancaman hukuman mati dalam hukum positifnya
seiring dengan diratifi kasinya American Convention on Human Rights 1996.
Di Australia. Diperkirakan 80 orang dieksekusi
setiap tahunnya, pada abad ke-19. Memasuki abad ke-20, Australia meratifikasi
Second Optional Protocol konvensi internasional hak-hak sipil dan politik
(ICCPR). Konsekuensinya, Australia melakukan penghapusan hukuman mati dalam
sistem hukumnya.
Penerapan hukuman mati untuk Belanda, terakhir
kali dijatuhkan kepada Johan Nathan (1860). Pada 1983, hukuman mati secara
resmi dihapuskan di Belanda untuk semua kejahatan, termasuk kejahatan perang.
(Hessing, Keijser, dan Elffers, 2003).
Penghapusan hukuman
mati ini merupakan pengaruh dari Konvensi Eropa tentang HAM. Konvensi
tersebut mensyaratkan Belanda bila tergabung dalam Uni Eropa harus
menghapuskan hukuman mati dalam sistem hukumnya.
Cerita penghapusan hukuman mati oleh
Australia, Belanda, maupun Brasil tentu saja didasarkan pertimbangan yang
bersifat internal. Bersandar pada kepentingan dan kebutuhan subjektif setiap
negara, yakni tentunya dipengaruhi oleh kesejahteraan ekonomi, keadilan
sosial, maupun persoalan kejahatan yang dihadapi. Karena itu, menjadi keliru
apabila ketiga negara tersebut menghakimi sikap Indonesia untuk menerapkan
hukuman mati dari perspektif diri mereka sendiri. Hukuman mati merupakan
bagian dari upaya tegas untuk melindungi bangsa Indonesia dari bahaya
narkoba.
Legalitas hukuman mati
Penelitian BNN dan Puslitkes UI 2014 mengenai kejahatan narkoba,
mengungkapkan data yang cukup mencengangkan. Ada sekitar 4 juta orang yang merupakan
pelaku penyalahgunaan narkoba. jika dirincikan, ada sekitar 1,6 juta yang
mencoba-coba menggunakan. Angka 1,4 juta merupakan pemakai teratur dan 934
orang ialah pecandu. Korban meninggal diperkirakan 12.044 orang per tahun
atau 33 orang per hari.
Dengan melihat angka korban yang begitu besar,
menjadi tepat jika presiden dengan tegas menolak semua permohonan grasi
terpidana mati narkoba. Apalagi, terpidana dalam proses peradilan yang adil
dan terbuka terbukti merupakan para bandar, ditemukan dengan barang bukti
narkoba dalam jumlah yang cukup besar, dan mengindikasikan mereka terlibat
dalam organisasi mafia narkoba lintas negara. Karena itu, sikap tegas
pemerintah, khususnya Presiden Jokowi, harus dimaknai sebagai proses mendukung
proses penegakan hukum, yakni berperang untuk memberantas peredaran narkoba
untuk menghindari korban yang berjatuhan.
Sikap tiada kompromi dari presiden menjadi
pengingat bagi negara-negara sahabat untuk memperingatkan warganya agar tidak
mengedarkan narkoba ke Indonesia. Apalagi, dari data terakhir, sebanyak 43 warga
negara asing yang terancam hukuman mati karena dianggap melakukan kejahatan
serius, mengedarkan narkoba, dan menjadikan bangsa Indonesia korban untuk
mencari keuntungan pribadi.
Sikap tegas Presiden untuk menghukum mati
pengedar narkotika tidak saja didukung oleh semua rakyat. Landasan
keabsahannya juga konsisten dengan putusan Mahkamah Konstitusi ketika menguji
legalitas hukuman mati, yakni terlihat dalam Putusan MK No 2-3/PUU-V/2007
dalam rangka menguji Pasal 80 UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Legalitas hukuman mati ini kembali dipertegas oleh MK melalui Putusan MK No
15/PUU-X/2012 sebagai permohonan uji Pasal 365 ayat (4) KUHP. Inti amar
putusannya, yakni Mahkamah berpendapat bahwa hukuman mati dipandang tidak
bertentangan dengan konstitusi. HAM termasuk hak hidup yang dapat dibatasi
sebagaimana diatur dalam Pasal 28 J UUD 1945.
Ketegasan
Hukuman mati merupakan hasil dari rangkaian
proses penegakan hukum pidana. Mesin sistem peradilan yang sudah berjalan
tidak bisa dihentikan begitu saja. Apalagi, karena terkait dengan adanya
reaksi protes dari negara-negara lain. Ketegasan Presiden untuk melanjutkan
hukuman mati harus didukung. Sebagai bagian ikhtiar menegakkan hukum secara
adil dalam kerangka melindungi seluruh tumpah darah Indonesia. Di lain pihak, kita
juga tidak pernah mengingkari kepentingan di masa depan untuk memperketat
--bila disepakati oleh rakyat melalui perubahan UU--untuk menghapus hukuman
mati. Namun, semuanya itu
memerlukan proses pembuatan hukum yang membutuhkan waktu yang cukup lama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar